Tindak pidana Penangkapan Ikan dengan Penggunaan Trawl / Pukat Harimau

Slides:



Advertisements
Presentasi serupa
PERATURAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2009.
Advertisements

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999
PERATURAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010.
KETENTUAN PIDANA DI BIDANG KETENAGALISTRIKAN
PENGERTIAN Otonomi daerah dapat diartikan sebagai kewenangan yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan.
STRUKTUR PEMERINTAHAN DAERAH
Penghapusan Piutang Negara
Struktur Penyelenggara Pemerintahan Daerah : Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Aspek Kerahasiaan dalam kegiatan Perusahaan
ILLEGAL FISHING.
KEHUTA NAN KETENTUAN UMUM UNDANG- UNDANG REPUBLIK INDONESIA
Bank dan Lembaga keuangan 1 PTA 2015/2016
BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN LAIN
LATAR BELAKANG Negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya (fundamental human rights). Membangun.
KETENTUAN TENTANG POLITIK UANG dalam UU No. 10 Tahun 2016
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2016
DINAS KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
Peran Ombudsman RI dalam pengawasan penyelenggaraan Pelayanan Publik di Indonesia (sesuai UU No. 37/2008 ttg Ombudsman RI dan UU No. 25/2009 ttg Pelayanan.
STRATA BANGUNAN BERTINGKAT
PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA SELATAN BADAN PENDIDIKAN DAN LATIHAN MATERI DASAR HUKUM PENYIDIKAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN DIKLAT TEKNIS PENGAWASAN.
PROVINSI KEPULAUAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH Dr
PERLINDUNGAN KONSUMEN
OPTIMALISASI POTENSI EKONOMI DAERAH OLEH : DEDY ARFIYANTO , SE.MM
Bab XII Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Drs. AGUS ANDRIANTO, S.H. PERAN POLDA DALAM PENEGAKKAN HUKUM
Direktorat Pelayanan Komunikasi Masyarakat 2016
Kepala Biro Hukum dan Organisasi KEMENTERIN KELAUTAN DAN PERIKANAN
OTONOMI DAERAH Definisi otonomi daerah  kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.
Asas, Fungsi dan Tujuan Bank
PERATURAN, PERENCANAAN PEMBANGUNAN, DAN KERJASAMA
PENYIDIKAN.
KERJA SAMA DI BIDANG AGRARIA/PERTANAHAN DAN TATA RUANG
KEPALA DAERAH & WAKIL KEPALA DAERAH DR. Ni’matul Huda, SH, MHum
KEDUDUKAN dan RUANG LINGKUP
Penegakan Hukum Persaingan Usaha
HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG LINGKUNGAN HIDUP NO 23 TAHUN 1997 Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung R.I 2008.
PELAKSANAAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM RELASI HUKUM DAN KEKUASAAN SERTA DALAM MENGHADAPI ISU-ISU GLOBAL Kelompok 10 Anesta Ebri Dewanty
Etty R. Agoes Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung
OTONOMI BIDANG PERTANAHAN
ASAS PENGELOLAAN KONSERVASI
Perlindungan dan Pengelolaan LH UU RI No. 32 Tahun 2009
HUKUM ACARA SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA
UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2010
MANAJEMEN SAMPAH DAN SANKSI
PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN
Perlindungan Konsumen
Kelompok VIII Venna Melinda Putri Pertiwi
wilayah negara kesatuan republik indonesia
PEMBERIAN HAK ATAS TANAH
PENANGGULANGAN BENCANA DI INDONESIA
KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA
Mahkamah Konstitusi. Rifqi Ridlo Phahlevy.
Peraturan undang-udang TENTANG PERIKANAN
Hak dan Kewajiban Warga Negara
SISTEM PEMERINTAHAN DESA Cahyono, M.Pd. FKIP UNPAS Cahyono, M.Pd. FKIP UNPAS.
Bagian 4 Hukum dan Undang-Undang Kepariwisataan
SOSIALISASI PERMENDAGRI 65 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN
MSDM – Handout 13 Serikat Pekerja dan Hubungan Industrial.
KEDAULATAN NEGARA VERSUS KEKEBALAN DIPLOMATIK AMINUDDIN ILMAR.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP APARATUR PEMERINTAH DAERAH DARI JERATAN PIDANA MELALUI PENERAPAN PERATURAN PEMERINTAH NO 48 TAHUN 2016 Drs. TRI YUWONO, M.Si.
KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DI JAWA TENGAH
KEDUDUKAN & RUANG LINGKUP
KEMENTERIAN KESEHATAN
DASAR HUKUM REKLAMASI RAWA
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH.
KEBIJAKAN PENGATURAN PENGELOLAAN SDA
TATA CARA PENANGANAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHATIDAK SEHAT PERATURAN KOMISI NO 1 TAHUN 2010 PERATURAN KOMISI NO 1 TAHUN 2010 PERATURAN KOMISI.
Perlindungan Hukum Terhadap Profesi Guru
KEMENTERIAN KESEHATAN
Transcript presentasi:

Tindak pidana Penangkapan Ikan dengan Penggunaan Trawl / Pukat Harimau

Pendahuluan Wilayah perairan Indonesia yang sangat luas selain memberikan harapan dan manfaat yang besar, tapi juga membawa konsekuensi dan beberapa permasalahan, antara lain banyaknya sea lane of communication, tidak dipatuhinya hukum nasional maupun internasional yang berlaku di WPP RI. Seperti menangkap ikan dengan penggunaan trawl atau pukat harimau yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur.

Lanjutan>>>>>> Oleh karena itu peran hukum khususnya hukum pidana sangat di butuhkan untuk menjadi media kontrol dan pencegahan terhadap tidakan-tindakan penangkapan ikan yang menggunakan alat penangkapan yang tidak sesuai standar ketentuan perundang-undangan. Karena jika para pengelolah dan pemanfaatan sumber daya laut secara langsung tidak mengindahkan alat penangkapan yang di perbolehkan dan yang di larang akan dapat menganggu stabilitas pengelolaan dan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya.

Rumusan masalah Dalam makalah yang kami sajikan kami akan memeperkecil ruang lingkup permasalahan dengan merumuskan rumusan masalah sebagai berikut : Kronologi Kasus Penggunaan Trawl / Pukat Harimau Bagaimana ketentuan pidana dan sistem pertanggungjawan pidana bagi orang yang menangkap ikan dengan mengunakan alat yang tidak sesuai standar ketentuan perundang-undangan? Kesimpulan dan Saran

Tujuan Penulisan Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Laut dan Perikanan. Untuk menambah wawasan tentang kasus-kasus ilegall fishing yang banyak terjadi di Indonesia yang terlupakan oleh pemerintah kita. Agar mahasiswa lebih mengetahui bagaimana upaya hukum yang harus dilakukan untuk kasus ilegall fishing ini.

Metode Penulisan Demi kelengkapan makalah ini, penulisan menggunakan metode library research yaitu dengan mengumpulkan data dari berbagai sumber. Metode library research yaitu suatu metode dengan membaca telaah pustaka tentang hal-hal yang berkaitan dengan kasus Penggunaan Trawl atau Pukat Harimau ( Ilegall Fishing ). Selain itu penulis juga memperoleh data dari internet.

Kronologi Kasus Penggunaan trawl (pukat harimau) sudah hampir menjadi kelaziman baru di laut Aceh. Pelakunya ada tiga pihak, yakni nelayan luar negeri, nelayan luar daerah, dan nelayan Aceh sendiri. Masalah pelanggaran terjadi berlapis-lapis. Di samping penggunaan trawl memang jelas dilarang melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1980, sebagian kapal yang ditangkap juga tidak memiliki izin dan melakukan penangkapan ikan secara ilegal. Dalam UU Perikanan Nomor 31 Tahun 2004, diatur tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan yang tak ramah lingkungan dan merusak. Ancamannya mencapai Rp2 miliar. Selain itu, dalam konteks Aceh, pengelolaan perikanan dengan prinsip berkelanjutan juga diatur dalam UU Pemerintah Aceh Nomor 11 Tahun 2006.

Intinya, penggunaan trawl adalah merusak Intinya, penggunaan trawl adalah merusak. Namun demikian, penggunaan trawl marak. Ada apa? Pelaku menyadari bahwa itu melanggar hukum (baik hukum tertulis maupun hukum tak tertulis), namun ada dalih ekonomi. Sebagian nelayan kita yang juga mengklaim sebagai nelayan tradisional, menggunakan trawl sebagai jalan terakhir karena “tak ada pilihan lain”. Di kawasan Aceh Barat, ada sekitar 200 unit trawl yang digunakan nelayan sebagai alat tangkap yang mulai marak digunakan pascamusibah tsunami. Mereka sangat menyadari bahwa penggunaan trawl akan berdampak pada kerusakan flora dan fauna laut. Masalah trawl tak hanya di Aceh Barat. Pukat trawl beroperasi pada jarak 100 meter dari pantai di perairan Kecamatan Samudera, Aceh Utara. Akhirnya ribuan nelayan dari 16 gampong memilih tak melaut karena maraknya operasional boat yang menggunakan pukat harimau (masyarakat menyebut pukat katrol) di daerah tangkapan nelayan tradisional. Jika nelayan tradisional memaksakan melaut, bukan hanya tak mendapatkan rezeki, tetapi jaring pun ikut tersapu oleh pukat katrol. Pengelola pukat katrol, nelayan punya jaringan yang kuat dengan berbagai kalangan sehingga mereka leluasa beroperasi. Selama ini dinas sering mengeluarkan pernyataan pukat katrol haram, tapi tindakannya tidak ada.

Aktivitas pukat trawl juga mengganggu nelayan tradisional di Kecamatan Singkil Utara, Singkil, Kuala Baru, dan Pulau Banyak Kabupaten Aceh Singkil. Mereka mengeluh karena pukat harimau beroperasi di wilayah nelayan tradisional. Berkali-kali organisasi masyarakat Hukom Adat Laot telah menyatakan “perang” terhadap pukat trawl. Ada lima alasan Panglima Laot Aceh menolak trawl, yakni: Pertama, trawl merusak ekosistem laut. Hal ini diklaim berkaitan dengan pendapatan nelayan tradisional yang berkurang, karena ikan-ikan dikuras dengan cara membabi-buta. Kedua, aktivitas trawl melanggar hukum di Indonesia. Ketiga, aktivitas trawl juga merusak rumpon-rumpon nelayan tradisional Aceh yang dipasang di laut. Keempat, nelayan tradisional Aceh takut mendekat ke kapal trawl karena pemilik trawl itu sangat brutal. Kelima, pengawasan terhadap trawl seperti tidak berjalan sebagaimana mestinya, padahal ini penting dalam hal menghindari sengketa antara trawl dengan nelayan tradisional.

Lanjutan>> Penolakan terhadap trawl ternyata sudah muncul sejak tahun 1982. Menurut Sanusi M. Syaref (2003), waktu itu, nelayan diorganisir oleh Panglima Laot Pasie Teunom Aceh Jaya, Pawang Syahrul Husin dan berhasil menangkap satu kapal trawl dari Thailand yang awaknya membawa pistol LE. Mereka dibawa ke Polres Meulaboh dan ditahan. Sepanjang 1982-1984 sudah mulai ada perhatian terhadap beroperasinya kapal trawl. Kemudian pada tahun 1992, perlawanan kemudian dilakukan dengan melempari bom Molotov oleh nelayan tradisional. Pada 1998, gelombang trawl semakin menjadi-jadi dan nelayan yang menyerbu berhasil menangkap satu kapal trawl. Dalam pertemuan Dewan Meusapat Lembaga Hukum Adat Laot (Panglima Laot Se-Aceh) pada 8-10 Juni 2002 di Banda Aceh, Panglima Laot se-Aceh menyatakan penolakan terhadap rencana pencabutan Keppres Nomor 39 Tahun 1980 karena dinilai dapat membahayakan kehidupan biota laut dan terumbu karang. Mereka mendesak DPRD dan Pemda Nanggroe Aceh Darussalam menyusun peraturan daerah pelarangan trawl di Aceh. Panglima Laot juga mendesak Pemda Aceh untuk menjaga laut dan potensi sumberdaya kelautan dari penjarahan kapal asing di Aceh Barat, Aceh Selatan, Simeulue dan Aceh Singkil.

Sejumlah nelayan di Aceh Singkil, juga mengeluh karena mengganasnya operasi trawl telah merusak alat tangkap mereka, sekaligus diklaim merusak daerah tangkapan mereka yang akan mempengaruhi tingkat pendapatan nelayan tradisional. Aktivitas pukat trawl, beroperasi di zona tangkap nelayan tradisional. Mengenai hal ini, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Aceh Singkil telah membuat pengaduan kepada Pemerintah, tapi belum ada tanggapan. Bahkan terkesan operasi trawl tanpa ada larangan dari pihak manapun (Serambi Indonesia, 22/02/2008). Sebelumnya, nelayan Aceh Singkil melihat sekawanan (sekitar 25) kapal pukat trawl yang diduga dari Sibolga Sumatera Utara dioperasikan di perairan Singkil. Di perairan Aceh Timur, trawl juga menjadi salah satu yang menggelisahkan nelayan di sana. Hal yang sama dialami nelayan di kawasan Aceh Barat Daya. Nelayan luar daerah dan negara asing, khususnya dari Sibolga dan Thailand, dilaporkan telah menguras ikan di kawasan perairan Aceh Barat Daya. Sementara nelayan setempat hanya bisa pasrah lantaran peralatan tangkap yang digunakan kalah bersaing dengan nelayan luar. Kapal luar tersebut tidak mengalami hambatan siang malam beroperasi kurang dari empat mil dari garis pantai.

Pada tanggal 14 Juli 2007 dini hari, wartawan Harian Aceh bersama seorang nelayan memantau langsung sejumlah pukat harimau dari jarak sekitar 200 meter di lepas pantai di pantai selatan. Ada empat pukat harimau yang dipantau secara sembunyi-sembunyi ketika alat itu sedang dioperasikan. (Harian Aceh, 16/07/07). Di Aceh Barat, nelayan tradisional di Meulaboh menjelaskan aksi penangkapan besar-besaran dilakukan di perairan Aceh Barat oleh kapal luar Aceh. Boat luar sangat meresahkan, sementara penertiban sangat jarang dilakukan. Pukat harimau mengganas di perairan Kabupaten Aceh Singkil. Akibatnya, nelayan tradisional di Kecamatan Singkil Utara, Singkil, Kuala Baru, dan Pulau Banyak mengeluh karena pukat harimau telah merusak alat tangkap yang mereka miliki. Aktivitas pukat harimau, bukan hanya di lautan dalam, tapi pukat juga beroperasi di zona tangkap nelayan tradisional, sehingga hal ini betul-betul sangat merugikan masyarakat nelayan. Menurut Rosmah Hasmy, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Aceh Singkil yang juga seorang anggota DPRD Aceh Singkil, menyebutkan bebasnya pukat harimau beroperasi di perairan Aceh Singkil diduga ada keterlibatan oknum aparat, karena sampai saat ini pukat harimau tersebut terus bebas beroperasi di perairan Aceh Singkil tanpa ada larangan dari pihak manapun.

Pada pertemuan seluruh Panglima Laot pantai barat (Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, dan Simeulue), April 2008, Lembaga Adat Laot menegaskan kembali penolakannya terhadap trawl. Pukat trawl bisa merusak ekosistem sumberdaya kelautan, juga dikaitkan dengan kondisi di Aceh, di mana pukat trawl sangat berperan dalam menghancurkan ekosistem sumberdaya laut Aceh. Sebenarnya Pemkab Nagan Raya pernah meminta seluruh nelayan di wilayah itu segera menghapus penggunaan alat tangkapan ikan yang menggunakan jaring trawl atau cara lain yang bisa merusak ekosistem di laut. Pengelolaan secara baik harus dilakukan untuk memanfaatkan sumberdaya kelautan dan perikanan sehingga ekosistem laut akan selalu terpelihara dengan baik. Jika menggunakan alat tangkapan ikan yang tak ramah lingkungan atau alat tangkap yang dilarang, maka hal itu akan merusak segala apek kehidupan yang ada dilautan luas. Selain itu, lingkungan juga akan rusak sehingga akan berakibat fatal bagi manusia dan akan terjadinya bencana karena dampak dari penggunaan alat tangkap itu akan merusak lingkungan. Nelayan tradisional di Aceh merupakan salah satu komponen penting dalam usaha pengelolaan perikanan di Aceh. Sumberdaya perikanan dilakukan pengelolaan dengan tujuan tercapainya manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat, terutama nelayan (Pasal 12 ayat (1)). Hal ini juga dimaksudkan sebagai usaha percepatan pembangunan di daerah.

Harapan tersebut, senada dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menentukan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut secara tegas diinginkan bahwa pelaksanaan penguasaan negara atas sumber daya kelautan dan perikanan diarahkan pada tercapainya manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.   Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diserahi kewenangan melakukan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan dengan menempatkan kemakmuran rakyat sebagai arah dan tujuan yang hendak dicapai, terutama kemakmuran masyarakat nelayan di daerahnya. Dalam pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan tersebut harus mampu diwujudkan keadilan dan pemerataan, termasuk memperbaiki kehidupan nelayan tradisional (kecil) dan petani ikan kecil serta pemajuan desa-desa pantai. Kegiatan pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan (Pasal 2). Salah satu tujuan penting dari pengelolaan perikanan adalah meningkatkan taraf hidup nelayan kecil (Pasal 3).

Dalam UU Perikanan juga ditekankan tentang pengelolaan perikanan yang optimal, berkelanjutan, dan terjamin kelestarian sumberdaya ikan, dengan mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal, dan memperhatikan peran serta masyarakat (Pasal 6).   Dalam konteks pengelolaan, sebagaimana Pasal 7 UU Perikanan, Menteri menetapkan jenis, jumlah, ukuran alat penangkapan ikan; jenis, jumlah, ukuran, dan  penempatan alat bantu penangkapan ikan; dan daerah,  jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan; di mana setiap orang wajib memenuhi ketentuan tersebut. Di Indonesia dengan tegas dilarang penggunaan alat penangkapan ikan yang dilarang (Pasal 9 huruf (c)).

Menurut Penjelasan Pasal 9 UU Perikanan, disebutkan: ”Pelarangan penggunaan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan diperlukan untuk menghindari adanya penangkapan ikan dengan menggunakan peralatan yang dapat merugikan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya. Hal itu dilakukan mengingat wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sangat rentan terhadap penggunaan alat penangkapan  ikan yang tidak sesuai dengan ciri khas alam, serta kenyataan terdapatnya berbagai jenis sumber daya ikan di Indonesia yang sangat bervariasi, menghindari  tertangkapnya jenis ikan yang  bukan menjadi target penangkapan.”

Sejak Tahun 1980, Pemerintah mengeluarkan Keppres Nomor 39 Tahun 1980 tentang Pelarangan Trawl. Keluarnya Keppres ini dengan sendirinya “mengharamkan” penggunaan pukat trawl di Indonesia. Dalam Keppres tersebut diatur mengenai penghapusan kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan jaring trawl secara bertahap, yakni terhitung 1 Juli 1980 sampai 1 Juli 1981, kapal perikanan yang mempergunakan jaring trawl dikurangi jumlahnya. Dalam Keppres juga diatur bahwa ketentuan mengenai perincian jaring trawl dan penghapusan/pengurangan kapal trawl diatur dengan Keputusan Menteri Pertanian.   Istilah “menggunakan” pukat trawl ini, oleh Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1988, dimaksudkan sebagai tindak pidana yang mencakup perbuatan “membawa”, “menguasai (membawa, menyimpan, menggunakan)”, serta “memperdagangkan” jaring trawl. Sebagaimana disebutkan Keppres Nomor 39 Tahun 1980 bahwa pengaturan tentang jalur penangkapan ikan diatur dengan Keputusan Menteri Pertanian. Ada dua Keputusan Menteri Pertanian dalam hal ini, yakni Keputusan Menteri Pertanian Nomor 694 Tahun 1980, dan Keputusan Menteri Nomor 392 TahuN 1999 –sebagai pengganti Keputusan Nomor 694 Tahun 1980.   Dalam SK Menteri Pertanian Nomor 503/KPTS/UM/7/1980 mendefinisikan trawl sebagai jenis jaring yang berbentuk kantong yang ditarik oleh sebuah kapal bermotor dan menggunakan sebuah alat pembuka mulut jaring yang disebut gawang (beam) atau sepasang alat pembuka (otter board) dan jaring yang ditarik oleh dua kapal bermotor. Jenis jaring trawl dikenal dengan nama pukat harimau, pukat tarik, tangkul tarik, jaring tarik, jaring tarik ikan, pukat Apollo, serta pukat langgai.

Penangkapan kapal dan alat penangkapan pada masing-masing Jalur Penangkapan diatur sebagai berikut: Jalur Penangkapan I tertutup bagi: Kapal Penangkapan ikan bermesin dalam (inboard) berukuran di atas 5 GT atau kapal penangkap ikan bermesin dalam yang berkekuatan di atas 10 Daya Kuda (DK); Semua jenis jaring trawl (beam trawl, otter trawl dan pair (bull) trawl); Jaring (pukat) cincin/kolor/langgar dan sejenisnya (purse seine); Jaring (pukat) lingkar (encircling gill net) dan jaring (pukat) hanyut tongkol (drift gill net); Jaring (pukat) payang/dogol/cantrang/lampara/banting di atas 120 meter panjang rentangan dari ujung sayap/kaki yang satu keujung yang lain.

Jalur Penangkapan II tertutup bagi: Kapal penangkap ikan bermesin dalam (inboard) berukuran di atas 25 GT atau kapal penangkap ikan bermesin dalam yang berkekuatan di atas 50 DK; Jaring trawl dasar berpanel (otterboard) yang panjang tali ris atas/bawahnya di atas 12 meter; Jaring trawl melayang (mid-water trawl atau pelagio trawl) dan pair (bull) trawl (jaring trawl yang ditarik dengan dua kapal); Jaring (pukat) cincin/kolor/langgar dan sejenisnya yang panjangnya diatas 300 meter.

Jalur Penangkapan III tertutup bagi: Kapal penangkap ikan bermesin dalam (inboard) berukuran di atas 100 GT atau kapal penangkap ikan bermesin dalam yang berukuran di atas 200 DK; Jaring trawl dasar dan melayang berpanel (otterboard) yang panjang tali ris atas/bawahnya diatas 20 meter; Pair (bull) trawl; Jaring (pukat) cincin/kolor/langgar dan sejenisnya yang panjangnya diatas 600 meter.

Jalur Penangkapan IV terbuka bagi: Semua jenis kapal dan alat penangkapan yang sah, terkecuali pair (bull) trawl hanya boleh beroperasi di perairan Samudra Indonesia. Semua jaring yang ukuran matanya kurang dari 25 mm dan purse seine cakalang (tuna) yang ukuran matanya kurang dari 60 mm dilarang untuk dipergunakan disemua Jalur Penangkapan. Sementara, di perairan Selat Madura dan Selat Bali tertutup bagi penggunaan beam trawl, otter trawl, bull (pair) trawl untuk penangkapan ikan dasar atau pelagis.   Dikecualikan dari ketentuan termaksud pada amar di atas ialah: "Kapal-kapal bermotor penangkap ikan yang melakukan kegiatan dalam rangka tugas-tugas Direktorat Jenderal Perikanan, Dinas-dinas Perikanan Daerah dan Badan-badan Ilmiah lainnya dengan persetujuan Direktorat Jenderal Perikanan dalam melaksanakan latihan penangkapan, penelitian/eksploitasi khusus untuk menunjang pembangunan perikanan".

Pengaturan tentang jalur penangkapan ikan, pada dasarnya adalah cermin dari keberpihakan terhadap nelayan tradisional. Hal ini kemudian bertambah dengan larangan trawl. Bila menelusuri sejarah pengaturan trawl, maka jelas ada alasan utama yang menyebabkan trawl dilarang: Mendorong peningkatan kesejahteraan nelayan tradisional; Menghindari sengketa-sengketa dalam pengelolaan perikanan. Dalam hal ini, pelarangan pukat trawl adalah landasan filosofis tertinggi dalam rangka mewujudkan keadilan sebenarnya bagi nelayan. Konsep kesejahteraan di sini adalah mencakup materil dan immateril. Konsep kesejahteraan dalam makna luas, sesuai konsep negara kesejahteraan sebagaimana Pasal 33 UUD 1945.

Upaya Hukum Walaupun sudah jelas melanggar UU, pada kenyataannya penyelesaian kasus juga sulit. Dalam kasus penangkapan 20 unit trawl asal Kuala Bubon dan Suak Timah di perairan Suak Seumaseh Kecamatan Samatiga, Aceh Barat, misalnya, Polres Aceh Barat dan Satpol Air harus meminta petunjuk dari pimpinan untuk proses penyelesaiannya. Sebanyak 20 unit boat yang menggunakan alat tangkap trawl yang biasa disebut pukat harimau ditangkap pada, kemudian diserahkan pada pihak penegak hukum. Masyarakat berharap dengan adanya penangkapan ini ke depan tidak ada nelayan yang menggunakan trawl di Aceh Barat, sebab selama ini penggunaan trawl sangat marak dan melanggar UU.

Di samping itu, jalan penyelesaian lain pun dilakukan Di samping itu, jalan penyelesaian lain pun dilakukan. Berulangkali digelar pertemuan namun tidak ada titik temu. Hal ini menyangkut dengan tuntutan denda. Kedua pihak masih bersitegang dengan komitmen masing-masing. Yakni, pihak yang menangkap meminta supaya dibayar denda, dan alat tangkap trawl diserahkan kepada polisi karena penggunaan trawl sebagaimana pengakuan nelayan tidak dibenarkan. Sebaliknya, pihak pemilik boat warga Suak Timah dan Kuala Bubon menginginkan dibebaskan dan membayar denda sekedarnya, sebab setelah penahanan boat itu tidak bisa mengais rezeki. Dia mengatakan langkah itu diserahkan ke Muspida guna menghindari hal yang tidak diinginkan. Sebab, dikhawatirkan dapat menimbulkan saling pukul, apalagi mengingat boat-boat itu masih ditahan nelayan di Suak Seumaseh. Akhirnya kesepakatan dicapai dengan penyelesaian secara damai. Boat yang ditangkap itu dilepas dengan denda Rp 500 ribu. Uang denda tersebut disumbangkan untuk membangun Masjid Suak Seumaseh. Sedangkan trawl diamankan Muspika Samatiga sebagai barang bukti. Boat sudah dilepaskan dan mereka sepakat bahwa ke depan tidak dibenarkan lagi menggunakan trawl dalam menangkap ikan.

Pertemuan terakhir tersebut juga melahirkan tujuh kesepakatan Pertemuan terakhir tersebut juga melahirkan tujuh kesepakatan. Di antaranya, perselisihan antarkedua kelompok nelayan diselesaikan secara damai. Selain itu, nelayan dan kepala DKP setempat mendesak DPRK untuk memroses dan memfasilitasi pengantian alat tangkap dari trawl ke jenis lain yang dibenarkan. Disepakati pula bahwa sejak 5 Januari 2009 tidak dibenarkan lagi penggunaan pukat trawl di perairan Aceh Barat. Sehari berselang, sejumlah perwakilan nelayan mendatangi DPRK setempat. Mereka menuntut Pemkab dan dewan membantu alat tangkap untuk mereka sebagai penganti trawl. Sebab, pascapenangkapan trawl pada Minggu (4/1) telah disepakati bahwa alat tangkap akan dibantu sebagai penganti trawl. Mereka mengaku alat tangkap yang mereka gunakan tidak dibenarkan lagi. Dan pascatidak dibenarkan gunakan lagi, nelayan sangat mengeluh dan berharap alat tangkap penganti dapat segera dibantu. Polres sendiri segera akan membentuk tim terpadu guna menertibkan semua pukat harimau (trawl) pada nelayan. Hal ini sudah pernah dinyatakan juga oleh Pemkab Aceh Barat, bahwa akan dibentuk Tim Terpadu untuk melakukan razia terhadap penggunaan trawl (pukat harimau).

Tim ini merupakan gabungan dari sejumlah instasi terkait baik dari Pemkab, polisi, TNI serta lembaga lain akan melakukan menyita trawl. Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Barat dalam proses persiapan pengadaan/lelang 350 alat tangkap yang ramah lingkungan untuk nelayan yang selama ini menggunakan trawl. Dalam proses penyaluran akan dilakukan sistem tukar. Pukat trawl ditarik untuk dimusnakan dan langsung diberikan alat tangkap ramah lingkungan. Dalam kasus di Langsa, penyelesaian kasus yang terjadi dalam hal penggunaan alat tangkap, adalah mendudukkan pihak-pihak yang berwenang seperti Dinas Kelautan dan Perikanan, Syahbandar, Airud, Panglima Laot, dan nelayan membicarakan solusinya. Berbagai pihak yang bersangkutan kemudian turun ke lapangan untuk membuktikan laporan itu secara langsung yang disampaikan dengan pengakuan. Kasus tersebut terjadi pada tanggal 21 Januari 2008, sekelompok nelayan di Seuriget (wilayah Ujong Perling) menangkap kapal pukat langge. Pukat itu memiliki rantai, papan, dan ukuran mata jaring yang setengah inci, dengan trawl dua inci. Pukat ini sudah pernah disepakati nelayan di sana pada 28 Desember 2007 dilarang beroperasi di kawasan Perairan Kuala Langsa.  

Masalah yang didapati antar nelayan cenderung mudah diselesaikan Masalah yang didapati antar nelayan cenderung mudah diselesaikan. Akan tetapi mengenai masalah nelayan dari luar, mengalami masalah tersendiri. Ada dua kelompok yang selama ini dirasakan nelayan, yakni kelompok kapal yang legal, merea memiliki surat izin dari lembaga terkait untuk mengambil ikan di perairan Aceh, namun kelompok ini tidak memperhatikan batasan-batasan otonomi adat laot. Kelompok lainnya adalah yang selama ini menjarah ikan secara illegal, baik yang menggunakan trawl maupun yang masuk dengan illegal. Ada kapal juga yang memperoleh izin menggunakan kapal trawl.  Khusus kasus di Aceh Tamiang, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh Tamiang, Drh Sofyan mengimbau agar nelayan di daerah itu tidak melakukan tindak kekerasan dalam menangani persoalan boat katrol (pukat harimau) milik nelayan Sumtera Utara yang beroperasi di daerah itu. Menurutnya, kalau memang ada boat katrol yang mengganggu perairan Aceh Tamiang, segera melaporkan kepada pihak terkait. Namun seorang warga nelayan menyampaikan bahwa keberadaan boat katrol sudah sangat mengganas di perairan Aceh Tamiang. Akibatnya nelayan tradisional kehabisan akal memperoleh ikan di laut. Kondisi itu mendorong para nelayan setempat melakukan pembakaran boat katrol yang kedapatan sedang menangkap ikan di perairan laut Aceh Tamiang.

Ditpolair NAD terus meningkatkan kewaspadaan dengan mendirikan sejumlah pos pengaman di sepanjang pantai Aceh. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi pelanggaran laut seperti penggunaan pukat trawl yang terjadi belum lama ini di Meulaboh. Mereka telah mendirikan pos-pos pengaman di sejumlah tempat strategis seperti di Ulee Lheu, Krueng Cut, termasuk di tempat-tempat setrategis di seluruh perairan Aceh, yakni Pantai Utara, Timur, Barat dan Selatan. Setiap pos ditempati oleh sepuluh personel polair yang bekerjasama dengan personel polres setempat.

Kesimpulan Penggunaan trawl adalah merusak. Namun demikian, penggunaan trawl marak. Ada apa? Pelaku menyadari bahwa itu melanggar hukum (baik hukum tertulis maupun hukum tak tertulis), namun ada dalih ekonomi. Sebagian nelayan kita yang juga mengklaim sebagai nelayan tradisional, menggunakan trawl sebagai jalan terakhir. Di kawasan Aceh Barat, ada sekitar 200 unit trawl yang digunakan nelayan sebagai alat tangkap yang mulai marak digunakan pascamusibah tsunami.

Ada lima alasan Panglima Laot Aceh menolak trawl, yakni: Trawl merusak ekosistem laut. Hal ini diklaim berkaitan dengan pendapatan nelayan tradisional yang berkurang, karena ikan-ikan dikuras dengan cara membabi-buta. Aktivitas trawl melanggar hukum di Indonesia. Aktivitas trawl juga merusak rumpon-rumpon nelayan tradisional Aceh yang dipasang di laut. Nelayan tradisional Aceh takut mendekat ke kapal trawl karena pemilik trawl itu sangat brutal. Pengawasan terhadap trawl seperti tidak berjalan sebagaimana mestinya, padahal ini penting dalam hal menghindari sengketa antara trawl dengan nelayan tradisional.

Walaupun sudah jelas melanggar UU, pada kenyataannya penyelesaian kasus juga sulit. Dalam kasus penangkapan 20 unit trawl asal Kuala Bubon dan Suak Timah di perairan Suak Seumaseh Kecamatan Samatiga, Aceh Barat, misalnya, Polres Aceh Barat dan Satpol Air harus meminta petunjuk dari pimpinan untuk proses penyelesaiannya. Sebanyak 20 unit boat yang menggunakan alat tangkap trawl yang biasa disebut pukat harimau ditangkap, kemudian diserahkan pada pihak penegak hukum.

Saran Seharusnya pemerintah lebih memperhatikan masalah yang selama ini di kesampingkan oleh pemerintah yaitu masalah eksploitasi perikanan,pemerintah pada saat ini hanya fokus pada masalah korupsi saja, supaya tidak terjadi lagi ilegall fishing terutama dalam hal cara pengambilan ikan yang akan memyebabkan rusaknya sumber daya ikan dan rusaknya terumbu karang serta tercemar nya air laut oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Namun dalam kasus ilegall fishing itu susah untuk di bawa ke Pengadilan Perikanan, selain itu juga karena terbatasnya jumlah Pengadilan Perikanan di Indonesia yang hanya terdapat satu yaitu di Medan. Kasus ini banyak selesai di tempat saja, maksudnya hanya membayar denda yang tidak begitu besar yang tidak sebanding dengan jumlah ikan yang di tangkap. Salah satu barang bukti yakni jumlah ikan tidak akan dpat bertahan lama,sehingga sulit untuk dibuktikan di pengadilan makanya sebagian besar hanya menyelesaikan kasus itu di tempat saja dengan membayar denda.

SEKIAN dan TERIMA KASIH 