HUKUM WARIS PERDATA DAN WASIAT Dr. Udin Narsudin, SH, SpN, M.Hum. (Notaris, PPAT, Kota Tangerang Selatan , Dosen) Pembekalan Ujian Pengangkatan Notaris Bagi Anggota Luar Biasa PENGURUS PUSAT IKATAN NOTARIS INDONESIA Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta Senin, 9 April 2018 HUKUM WARIS PERDATA DAN WASIAT
HUKUM WARIS PERDATA BARAT dan wasiat DR. UDIN NARSUDIN, SH., M.HUM., Spn.
Pewarisan Menurut Sistem Hukum Waris Barat (KUHPerdata) Pewarisan yang diatur dalam KUHPerdata baru dapat terjadi bila ada kematian dari pewaris dan mempunyai harta kekayaan untuk dialihkan kepada ahli warisnya. Pewarisan merupakan tindakan menggantikan kedudukan orang yang meninggal yang ada kaitan atau hubungannya dengan hak atas harta benda, demikian menyangkut hukum kekayaan (vermogensrechtelijke betrekkingen) orang itu.
Kematian seseorang menurut KUHPerdata mengakibatkan peralihan segala hak dan kewajiban pada seketika itu juga kepada ahli warisnya, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 833 ayat (1) KUHPerdata : “sekalian ahli waris dengan sendirinya demi hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak, dan segala piutang dari yang meninggal “.
Peralihan hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia kepada ahli warisnya disebut “saisine” yaitu ahli waris memperoleh segala hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia, tanpa memerlukan suatu tindakan tertentu, demikian pula bila ahli waris tersebut belum mengetahui tentang adanya warisan itu. Pada asasnya hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan saja yang dapat diwariskan. Warisan menurut hukum waris barat (KUHPerdata) meliputi seluruh harta benda beserta hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang.
Ahli waris menurut sistem KUHPerdata terbagi dalam 2 (dua) yaitu : 1. Ahli waris menurut undang-undang atau ahli waris ab intestato, yaitu ahli waris berdasarkan hubungan darah. 2. Ahli waris yang ditunjuk dalam surat wasiat (testamentair erfrecht) yaitu siapa saja yang disebutkan dalam testamentair dengan tidak mengurangi kekecualian yang diatur dalam pasal 895-912 KUHPerdata. Syarat untuk menjadi ahli waris ab intestato, dinyatakan dalam Pasal 832 KUHPerdata, yang mengandung konsekwensi bahwa pada asasnya keluarga semenda tidak mewaris, dan dapat mewaris adalah orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris.
Seseorang yang akan menerima sejumlah harta peninggalan harus memenuhi syarat- syarat sebagai berikut : A. Harus ada yang meninggal dunia (Pasal 830 KUHPerdata). B. Ahli waris atau para ahli waris harus ada pada saat pewaris meninggal dunia. Harus ada ini berarti tidak hanya sudah dilahirkan tapi cukup apabila sudah ada dalam rahim ibu. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 KUHPerdata yaitu : “anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan anak menghendakinya. Apabila anak tersebut meninggal pada saat dilahirkan, dianggap tidak pernah ada”. C. Seorang ahli waris harus cakap serta berhak mewaris, dalam arti tidak dinyatakan oleh undang-undang sebagai seseorang yang tidak patut mewaris karena kematian, atau tidak dianggap sebagai tidak cakap untuk menjadi ahli waris.
Pengalihan harta kekayaan dalam pewarisan dari pewaris kepada ahli waris dapat diterima dengan sikap : A. Setelah terpenuhinya syarat-syarat diatas, para ahli waris diberi kelonggaran oleh undang-undang untuk selanjutnya menentukan sikap terhadap suatu waris, ahli waris diberi hak untuk berpikir selama 4 (empat) bulan setelah itu harus menyatakan menerima warisan sepenuhnya.
B. Menerima dengan syarat atau menerima warisan secara beneficiar, yaitu bahwa tidak akan diwajibkan membayar hutang-hutang pewaris yang melebihi bagiannya dalam warisan itu. C. Menolak warisan sepenuhnya.
ada 3 sikap ahli waris, yaitu menolak, menerima dan menerima sebagian ada 3 sikap ahli waris, yaitu menolak, menerima dan menerima sebagian. Dalam hal menolak maka penolakan sebagai ahli waris untuk subjek hukum yang tunduk pada hukum perdata diatur dalam Pasal 1057 KUHPerdata, yaitu harus dilakukan dihadapan panitera Pengadilan Negeri, sampai kemudian ada Penetapan PN. Dalam prakteknya, beberapa pengadilan negeri memakai 2 macam pemahaman : 1. Notaris membuat surat keterangan waris dahulu (SKW), kemudian dengan SKW tersebut disampaikan kepada PN baru kemudian dibuatkan akta penolakan waris dari ahli waris yang menolak. Dalam hal demikian setelah terjadinya penolakan, notaris membuat SKW lagi yang menunjukpenolakan waris tersebut, yang berisikan nama-nama ahli waris yang tidak menolak.
2. Ahli waris yang menolak, melakukan penolakan didepan Panitera Pengadilan Negeri, yaitu sebelum dibuat SKW sehingga notaris mengeluarkan SKW yang berisikan nama- nama ahi waris yang tidak menolak. Bahwa apabila dilihat dari Putusan MARI Nomor 23 K/Sip/1973, disebutkan bahwa ahli waris yang menyatakan diri menolak harta warisan, dan penolakan itu telah dikeluarkan penetapan oleh PN, tidak dapat lagi menuntut harta peninggalan dari pewaris. Oleh karena itu maka disamping tidak dapat meminta pembagian waris, juga tidak dapat menuntut harta peninggalan yang dikuasai oleh pihak lain. Lebih lanjut tentu harus dilihat ketentuan Pasal 1058 KUHPerdata yang menyebutkan ahli waris yang menolak warisan, dianggap tidak pernah menjadi waris.
Seseorang yang dianggap tidak patut menjadi ahli waris dan karenanya dikecualikan dari pewarisan ditentukan dalam Pasal 838 KUHPerdata, yaitu : 1. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan membunuh atau mencoba membunuh yang meninggal. 2. Mereka yang dengan keputusan hakim pernah dipersalahkan karena secara fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap pewaris, ialah pengaduan telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara 5 (lima) tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat. 3. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah pewaris (yang meninggal) untuk membuat dan mencabut surat wasiatnya. 4. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat yang meninggal.
Dalam hukum waris barat, dikenal adanya penggantian waris (plaatsvervulling), yang terjadi apabila seorang ahli waris meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris. Penggantian tempat selalu dikaitkan dengan ahli waris yang meninggal terlebih dahulu dari pewaris. Pada dasarnya menurut KUHPerdata penggantian merupakan suatu hak yang diberikan kepada seorang ahli waris dalam menggantikan ahli waris lainnya untuk bertindak sebagai penggantinya dalam hak dan derajat yang sama dengan ahli waris yang diganti, jelasnya dalam hal ini yang digantikan adalah ahli waris yang mempunyai hak mewaris, akan tetapi meninggal mendahului pewaris
Seorang ahli waris dapat meminta atau menuntut haknya bila warisan yang menjadi bagiannya dikuasai oleh yang bukan ahli waris untuk mengembalikan harta tersebut. Setiap ahli waris mempunyai hak mutlak yang disebut legitieme portie. Bagian Mutlak adalah bagian dari suatu warisan yang tidak dapat dikurangi dengan suatu pemberian semasa hidup atau pemberian dengan testamen. Pewaris tidak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik sebagai pemberian antara yang masih hidup maupun selaku wasiat.
Bagian Mutlak ini diberikan kepada ahli waris dalam garis lurus, yaitu ada garis lurus kebawah yaitu anak-anak dan keturunannya, serta garis lurus ke atas yaitu orang tua dan semua leluhurnya. Bagian Mutlak (legitieme portie) bagi para ahli waris dalam garis lurus kebawah dimuat dalam Pasal 914 KUHPerdata, yaitu: Jika hanya ada seorang anak (sah) saja, maka bagian itu adalah ½ (setengah) dari bagian menurut hukum waris tanpa testamen. Jika ada 2 (dua) orang anak, bagian itu sebesar 2/3 (dua pertiga) bagian masing-masing menurut hukum waris tanpa testamen. Jika ada 3 (tiga) orang anak, bagian itu sebesar ¾ (tiga perempat) bagian masing-masing menurut hukum waris tanpa testamen.
Pasal 1066 KUHPerdata menetapkan adanya hak dan ahli waris untuk menuntut diadakannya suatu pemisahan harta warisan, namun dapat pula diadakan persetujuan para ahli waris untuk selama waktu tertentu tidak melakukan pemisahan, yaitu untuk jangka waktu 5 (lima) tahun. Pewarisan terjadi secara langsung pada saat ada yang meninggal tetapi dalam mendapatkan warisannya perlu suatu proses yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang untuk membuat suatu surat keterangan kematian dan harus membayar ganti rugi dan bunga sebagai pengeluaran dalam melakukan pendaftaran penyegelan dari barang peninggalan, untuk keperluan pemisahan dan pembagian bagi para ahli waris yang tercantum dalam akta keterangan ahli waris.
Apa syarat seseorang dapat menuntut bagian mutlaknya (legitime portie)? Dalam hal ahli waris ternyata tidak setuju dan merasa pembagian waris tersebut tidak adil dan melanggar LP nya, maka ahli waris dapat mengajukan tuntutan. Dalam hal ahli waris ingin mengajukan tuntutan terhadap LP nya, maka ahli waris harus memenuhi syarat sebagai berikut : 1. Orang tersebut harus merupakan keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas dan ke bawah. Mereka inilah yang disebut: “Legitimaris”. Jadi, yang dalam hal ini kedudukan suami/isteri adalah berbeda dengan anak-anak dan orang tua pewaris. Meskipun sesudah tahun 1923 Pasal 852a KUHPerdata menyamakan kedudukan suami/isteri dengan anak (sehingga suami/isteri mendapat bagian yang sama besarnya dengan anak), akan tetapi suami/isteri tersebut bukanlah Legitimaris. Demikian pula saudara kandung dari pewaris, bukan merupakan Legitimaris. Oleh karena itu isteri/suami dan saudara kandung tidak memiliki legitime portie atau disebut non legitimaris (tidak memiliki bagian mutlak).
2. Orang tersebut harus ahli waris menurut UU (ab intestato). Melihat syarat tersebut tidak semua keluarga sedarah dalam garis lurus memiliki hak atas bagian mutlak. Yang memiliki hanyalah mereka yang juga waris menurut UU (ab instestato). 3. Mereka tersebut, walaupun tanpa memperhatikan wasiat pewaris, merupakan ahli waris secara UU (ab intestato).
Di dalam KUHPerdata dikenal ada 4 (empat) golongan ahli waris yang bergiliran berhak atas harta warisan, dengan pengertian apabila ada ahli waris golongan pertama, maka ahli waris golongan-golongan lainnya tidak berhak, sebaliknya apabila ahli waris golongan pertama tidak ada maka ahli waris golongan kedua yang berhak dan demikian seterusnya. Untuk jelasnya disebutkan ke empat golongan ahli waris yaitu: Ahli waris golongan I; terdiri dari suami atau isteri yang hidup terlama, dan anak dan atau keturunannya dengan syarat perderajatan yang lebih dekatlah yang berhak mewaris terlebih dahulu. Ahli waris golongan I ini diatur berdasarkan dengan Pasal 832 ayat (1), 852 dan 852a KUHPerdata.
Ahli waris golongan II; terdiri dari orang tua pewaris yaitu, bapak dan ibu; saudara-saudara dan atau keturunannya sampai batas yang diperkenankan oleh undang-undang batasan tersebut telah dijelaskan di dalam Pasal 861 KUHPerdata yakni sampai pada derajat keenam kecuali dalam hal terjadinya pewarisan karena penggantian tempat (Pasal 844 KUHPerdata) Ahli waris golongan ini diatur sesuai dengan ketentuan Pasal 854, 855, 856 dan 857 KUHPerdata.
Pada ahli waris golongan kedua ini terjadi penyalahan atau penyimpangan dari asas de naaste in het bloed erf het goed (keluarga yang terdekat dengan pewarislah yang berhak mewarisi harta pewaris), sebab dalam golongan kedua, dimana ayah dan ibu yang merupakan keluarga sedarah dalam garis lurus derajat pertama secara bersama-sama dijadikan satu golongan dengan saudara-saudara pewaris yang merupakan keluarga sedarah dalam garis kesamping derajat kedua sehingga mereka tampil mewaris secara bersama-sama. Akan tetapi meskipun di dalam meletakkan ayah dan ibu dalam satu golongan dengan saudara-saudara pewaris, dan prinsip hubungan sedarah terdekat disimpangi, namun didalam menentukan bagian masing-masing (golongan kedua) oleh pembuat undang-undang asas de naaste in het bloed erf hed goed tetap diperhatikan sehingga ayah dan ibu tetap diberikan prioritas.
Ahli waris golongan III; terdiri dari kakek dan atau nenek dalam garis bapak dan seterusnya ke atas, serta kakek maupun nenek dalam garis ibu dan seterusnya ke atas. Kelompok ahli waris ini diatur berdasarkan Pasal 853 KUHPerdata. Pada golongan Ketiga ini terjadi apa yang dinamakan pembelahan (kloving) yang sesungguhnya antara garis ayah dan garis ibu, pada golongan ketiga ini, tidak dikenal dengan pewarisan penggantian tempat, sebagaimana disebutkan secara tegas didalam Pasal 843 KUHPerdata bahwa, “Tiadalah pergantian terhadap keluarga sedarah dalam garis menyimpang ke atas. Keluarga yang terdekat dalam kedua garis, menyampingkan segala keluarga dalam perderajatan yang lebih jauh”.
Ahli waris golongan IV; terdiri atas keluarga sedarah dalam garis ke samping yang lebih jauh (paman dan bibi dari garis ayah dan keturunannya, paman dan bibi dari garis ibu dan keturunannya dalam batas yang ditentukan). Batasan tersebut adalah terdapat di dalam Pasal 661 KUHPerdata yakni, sampai derajat ke enam kecuali dalam hal adanya penggantian tempat. Penggantian tempat dalam golongan keempat ini terjadi tidak secara otomatis, kecuali dengan persyaratan-persyaratan tertentu yang harus di penuhi (Pasal 845 KUHPerdata).
Menurut ketentuan undang-undang bahwa setiap terjadinya pewarisan harus memenuhi 3 (tiga) persyaratan yaitu : 1. Adanya orang yang meninggal dunia (erflater) Untuk terjadinya pewarisan, maka syarat pertama yang harus dipenuhi adalah pewaris harus sudah meninggal dunia. Didalam pasal 830 KUHPerdata disebutkan bahwa, “pewarisan hanya berlangsung karena kematian”. Tentang matinya pewaris, kemungkinan kematian tersebut diketahui secara sungguh-sungguh (mati hakiki), artinya bisa dibuktikan dengan pancaindra bahwa benar-benar telah mati, misalnya ada yang menyaksikan, bahkan ikut menguburkannya. J. Satrio, Op. Cit, hlm 8.
Atau juga mungkin matinya pewaris tersebut tidak diketahui secara pasti, artinya tidak diketahui secara sungguh menurut kenyataan yang dapat dibuktikan bahwa sudah mati, namun kematian pewaris tersebut dinyatakan mati demi hukum yang dinyatakan oleh pengadilan dengan putusannya “barangkali meninggal dunia”. Tentang pernyataan putusan “barangkali meninggal dunia” oleh pengadilan beserta akibat- akibatnya tercantum dalam Pasal 467 sampai dengan 492 KUHPerdata.
Kematian seorang pewaris (erflater) menurut KUHPerdata mengakibatkan terjadinya peralihan segala hak dan kewajiban seketika itu juga kepada ahli warisnya. Ketentuan ini secara tegas dinyatakan di dalam Pasal 833 ayat (1), 955, dan 1100 KUHPerdata yang pada intinya bahwa, sekalian ahli waris baik menurut undang-undang maupun berdasarkan dengan surat wasiat memperoleh hak milik atas barang.
2. Adanya Harta Peninggalan (erfenes) Kematian seorang pewaris (erflater) menurut KUHPerdata mengakibatkan terjadinya peralihan segala hak dan kewajiban seketika itu juga kepada ahli warisnya. Ketentuan ini secara tegas dinyatakan di dalam Pasal 833 ayat (1), 955, dan 1100 KUHPerdata yang pada intinya bahwa, sekalian ahli waris baik menurut undang-undang maupun berdasarkan dengan surat wasiat memperoleh hak milik atas barang, segala hak dan segala piutang, juga memikul beban berupa kewajiban untuk membayar utang, hibah wasiat dan lain-lain seimbang dengan yang diterima masing-masing dari warisan.
3. Adanya Ahli Waris (erfgenaam) Sebagai syarat ketiga dari pewarisan yaitu, adanya orang yang masih hidup sebagai ahli waris (erfgenaam) akan memperoleh harta warisan (aktiva dan pasiva) pada saat pewaris meninggal dunia. Ini berarti orang yang menurut undang-undang atau menurut surat wasiat atau testament berhak mendapatkan harta warisan dari harta kekayaan orang yang meninggal dunia. Menurut Pitlo bahwa ahli waris (erfgenaam) adalah mereka yang menempati kedudukan hukum harta kekayaan pewaris, baik untuk seluruhnya maupun untuk bagian yang seimbang.
Ada ketentuan dari Pasal 832 ayat (2) KUHPerdata bahwa sekiranya semua golongan ahli waris (I, II, III dan IV) tidak ada, maka segala harta peninggalan (harta warisan) dari yang meninggal jatuh menjadi milik Negara setelah ada keputusan pengadilan sebagaimana bunyi ketentuan Pasal 833 ayat (3) KUHPerdata. Kecuali dengan itu, Negara wajib melunasi segala kewajiban atau beban sebagai utang yang meninggal dunia (pewaris) sekedar harta peninggalan jika mencukupi untuk itu (Pasal 832 ayat (2) KUHPerdata). Dengan demikian, sesuai dengan Pasal 832 ayat (2) KUHPerdata, maka Negara tidak secara otomatis demi hukum mengoper hak dan kewajiban pewaris menjadi milik Negara (vervallen de goerden aan de lande), kecuali setelah ada keputusan hakim pengadilan. Jadi Negara di dalam kedudukannya sebagai penerima harta kekayaan dari pewaris tidak memiliki hak saisine.
asas Hukum Kewarisan menurut KUHPerdata 1. Asas Kematian Asas ini mengandung pengertian bahwa pewarisan hanya berlangsung atau terjadi karena adanya kematian, mengandung suatu asas pokok Hukum Kewarisan yaitu terhadap harta warisan baru terbuka (jatuh meluang) kalau pewaris sudah meninggal dunia dan setelah syarat-syarat lainnya dipenuhi.
Asas kematian ini ditemukan peraturan hukumnya pada Pasal 830 KUHPerdata bahwa “Pewarisan hanya berlangsung karena kematian”. Kemudian pada Pasal 1063 KUHPerdata menegaskan bahwa : “Sekalipun dalam suatu perjanjian perkawinan, tak dapatlah seseorang melepaskan haknya atas warisan seorang masih hidup, begitu pun tak dapatlah menjual hak-hak yang kemudian hari akan diperolehnya atas warisan yang seperti ini”.
pada asas kematian mengandung 3 (tiga) hal penting sebagai peringatan yaitu: -Tidak ada pewarisan kalau tidak ada kematian; -Bahwa seseorang tidak diperbolehkan untuk memperjanjikan akan melepaskan haknya atas harta warisan keluarganya yang masih hidup (calon pewarisnya); -Demikian pula seseorang tidak diperkenankan menjual hak-haknya yang kemudian hari akan diperoleh (sekarang belum diperolehnya) dari suatu pewarisan sekalipun misalnya telah diperjanjikan dalam perjanjian kawin.
2. Asas Berdasarkan Hubungan Darah Dan Hubungan Perkawinan Asas hubungan darah dan hubungan perkawinan tercermin didalam ketentuan Pasal 832 ayat (1) dan 852a KUHPerdata. Menurut Pasal 832 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan bahwa: Menurut undang-undang yang berhak untuk menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin, dan suami atau isteri yang hidup terlama, semua menurut peraturan tertera di bawah ini.
pada asasnya, menurut undang-undang, untuk dapat mewaris orang harus mempunyai hubungan darah dan hubungan perkawinan dengan pewaris. Hubungan darah tersebut dapat sah atau luar kawin, baik melalui garis bapak maupun melalui garis ibu. Hubungan darah yang sah adalah hubungan darah yang ditimbulkan sebagai akibat dari suatu perkawinan yang sah, sedangkan hubungan darah yang tak sah atau luar kawin timbul sebagai akibat hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan disertai dengan pengakuan anak secara sah. Idem, hlm. 29.
Hubungan darah luar kawin atau hubungan darah tak sah menurut J Hubungan darah luar kawin atau hubungan darah tak sah menurut J. Satrio adalah, hubungan yang dianggap muncul sebagai akibat hubungan biologis antara ayah biologis dengan ibu yang melahirkan anak luar kawin tersebut disertai dengan pengakuan yang sah terhadap anak luar kawin yang bersangkutan. Kata “dianggap” di dalam pengertian di atas muncul sebagai akibat hubungan biologis antara ayah biologisnya dan ibunya, karena siapa sebenarnya ayah biologis anak tersebut tidak ada yang mengetahui kecuali oleh ibunya sendiri. Pada asasnya anak luar kawin yang dapat diakui secara sah adalah anak luar kawin dalam arti sempit yaitu, anak luar kawin yang bukan anak zinah maupun anak sumbang dengan perkecualiannya pada Pasal 283 jo 273 KUHPerdata.
Di samping kelompok keluarga sedarah, undang-undang mengenal pula asas hubungan perkawinan, dalam pengertian hubungan suami isteri yang hidup terlama (Pasal 832 ayat (1) dan 852a KUHPerdata). Maksud dari kata-kata “yang hidup terlama” adalah suami atau isteri yang hidup lebih lama daripada suami/isteri yang mati, maksudnya adalah duda atau janda, yang masih hidup.
3. Asas Perderajatan Asas perderajatan adalah suatu asas yang menetapkan bahwa ahli waris yang derajatnya lebih dekat dengan pewaris menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya dengan pewaris, keluarga yang lebih dekat derajatnya dengan pewaris menutup keluarga yang lebih jauh. Pada Pasal 853 ayat (2) KUHPerdata menyebutkan, “Waris yang terdekat derajatnya dalam garis lurus ke atas, mendapat setengah dari bagian dalam garisnya, dengan mengesampingkan segala waris lainnya”. Sedang kalau perderajatannya sama maka mereka ahli waris berbagi rata. Pasal 853 ayat (3) KUHPerdata menyatakan, “Semua keluarga sedarah dalam garis lurus keatas derajat yang sama mendapat bagian mereka kepala demi kepala.
semua anggota keluarga sedarah dengan pewaris tidak pasti mewaris, akan tetapi baru mempunyai kedudukan “kemungkinan untuk mewaris”, sebab anggota keluarga sedarah yang benar-benar dapat mewaris masih harus diseleksi melalui asas de naaste het bloed erf het. Untuk mengukur jauh dekatnya hubungan antara pewaris dengan anggota keluarganya, maka dipakai ukuran yaitu, hubungan perderajatan, artinya menghitung hubungan antara pewaris dengan para ahli waris melalui leluhur (nenek moyang) yang sama menurunkan ke dua orang tersebut. Ali Affandi mengemukakan bahwa untuk mengetahui bagaimana hubungan kekeluargaan antara 2 (dua) orang, maka perlu diselidiki siapakah yang menurunkan 2 (dua) orang tersebut, sehingga terdapat seorang saja (sepasang suami isteri yang menjadi leluhurnya). Kalau sudah ketemu leluhur tersebut kemudian ditarik garis yang menghubungkan ke dua orang tersebut melalui leluhurnya tadi.
4. Asas Individual Asas ini dapat dilihat ketentuan hukumnya melalui Pasal 852 KUHPerdata. Sesuai dengan namanya asas individual, maka ahli waris tampil menjadi ahli waris secara individu- individu (perseorangan), bukan kelompok ahli waris. Menurut asas ini, jika antara ahli waris dengan pewaris mempunyai pertalian darah dalam derajat ke satu, maka ahli waris mewaris “kepala demi kepala”, mereka mewaris karena haknya atau karena kedudukannya sendiri (uit eigen hoofed), dan apabila berkedudukan sebagai ahli waris pengganti (bijplaatsvervulling) maka mereka mewaris secara “pancang demi pancang” (Pasal 852 ayat (2) KUHPerdata).
Ahli waris yang mewaris berdasarkan “haknya sendiri” adalah ahli waris yang terpanggil untuk mewaris karena kedudukannya sendiri berdasarkan hubungan darah antara ahli waris dengan pewaris. Didalam Pasal 852 ayat (2) KUHPerdata dikatakan, “mewaris karena dirinya sendiri”. Sedang ahli waris karena “penggantian tempat”, adalah ahli waris yang muncul sebagai pengganti tempat orang lain yang seandainya tidak mati terlebih dahulu dari pewaris, maka “orang lain” itu sedianya akan mewaris.
Di dalam Pasal 852 ayat (2) KUHPerdata dikatakan, “mereka bertindak sebagai pengganti”. Penggantian memberikan hak kepada seorang yang mengganti (sebagai ahli waris pengganti) untuk bertindak dalam derajat dan dalam segala hak orang yang diganti (Pasal 841 KUHPerdata). Dengan melihat penjelasan yang ada ini, maka dapat disimpulkan bahwa Pasal 852 ayat (2) KUHPerdata menggambarkan dua macam pewarisan yang mungkin terjadi (pada ahli waris golongan I),
-Pewarisan karena haknya sendiri, terjadi karena hubungan antara pewaris dengan ahli waris adalah hubungan langsung, dan karena ahli waris terpanggil untuk mewaris karena haknya sendiri. -Pewarisan karena penggantian tempat (Plaatsvervulling), terjadi karena dimana hubungan antara pewaris dan ahli waris adalah hubungan yang tidak langsung, artinya hubungan yang diantarai oleh orang lain, dan ahli waris terpanggil untuk mewaris karena menggantikan kedudukan dari orang lain yang seharusnya mewaris, akan tetapi ternyata meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris.
Dengan asas individual ini, maka setiap ahli waris dapat menuntut diadakannya pemisahan harta warisan yang belum terbagi (Pasal 1066 ayat (2) KUHPerdata). Dengan asas individual ini, harta warisan dibagi-bagi pemiliknya kepada para ahli waris, bahkan jika ada kepentingan yang menghendaki untuk diadakannya pembagian warisan, maka sebagai konsekwensi dari asas individual di dalam hukum kewarisan menurut KUHPerdata ini, anak yang masih dalam kandungan ibunya pun patut diperhitungkan selaku ahli waris dengan ketentuan mereka itu lahir dalam keadaan hidup (Pasal 2 KUHPerdata).
5. Asas Bilateral Asas bilateral diketemukan ketentuan hukumnya didalam Pasal 832 ayat (1) KUHPerdata. Asas bilateral ini mengandung pengertian bahwa seseorang tidak hanya mewaris dari bapak saja, akan tetapi juga mewaris dari ibu, demikian juga saudara laki-laki mewaris dari saudara laki-lakinya dan juga pada saudara perempuannya, masing- masing mempunyai hak karena dirinya sendiri, ataukah bertindak sebagai ahli waris pengganti. Dengan berpedoman juga pada Pasal 832 ayat (1) dan Pasal 852 KUHPerdata, menetapkan bahwa antara suami dan istri memiliki kedudukan yang sama dalam mewaris.
6. Asas Bahwa Segala Hak Dan Kewajiban Pewaris Beralih Kepada Ahli Waris. Asas ini sesungguhnya secara langsung tercermin pada pengertian Hukum Kewarisan sebagai peraturan yang mengatur perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada yang masih hidup selaku ahli waris. Asas ini sesuai dengan pepatah Perancis yang berbunyi, “le mort saisit le vif” yang artinya kurang lebih bahwa “yang meninggal dunia berpegang pada yang masih hidup”. Jadi yang meninggal seolah- olah mempunyai kekuasaan untuk menguasai orang masih hidup, padahal yang sebenarnya adalah orang mati dapat digantikan kedudukannya oleh yang masih hidup dalam hal kepemilikan hartanya. Kedudukan orang yang meninggal dunia terhadap orang yang masih hidup sebagai ahli waris, dikatakan oleh A. Pitlo bahwa “diri yang meninggal dunia sebagai subjek hukum berarti peristiwa orang yang meninggal dipandang sebagai pemberian kesempatan pada yang masih hidup untuk memiliki semua barangnya”.
Apa yang berpindah dari pewaris kepada ahli waris Apa yang berpindah dari pewaris kepada ahli waris. Yang berpindah adalah segala hak (aktiva) dan segala kewajibannya (pasiva) yang bernilai uang (Pasal 833 ayat (1) dan Pasal 1100 KUHPerdata). Pasal 833 ayat (1) KUHPerdata membicarakan tentang hak (aktiva) yaitu, “sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak dan segala piutang yang meninggal”. Sedang pada Pasal 1100 KUHPerdata membicarakan mengenai kewajiban atau beban (pasiva), yaitu para ahli waris yang telah menerima suatu warisan diwajibkan dalam hal pembayaran utang, hibah wasiat dan lain-lain beban, memikul bagian yang seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan. Perolehan hak milik atas barang, dan segala piutang maupun kewajiban di dalam memikul beban dari masing-masing ahli waris dilakukan secara perseorangan, dan masing-masing menurut jumlah besarnya bagiannya.
Asas “segala hak dan kewajiban pewaris beralih kepada ahli warisnya” ini, adalah sebagai konsekwensi dari posisi Hukum Kewarisan menurut KUHPerdata yang berada di tengah-tengah Hukum Kebendaan (Buku II Bab XII s/d XVIII), yang berarti pula bahwa hak-hak mewaris merupakan bagian dari hak-hak kebendaan. Bahkan dengan tegas Sajuti Thalib dalam tulisannya “Pemikiran Kearah Rancangan Undang-Undang Hukum Islam Dan KUHPerdata” menyebutkan bahwa, Hukum Kewarisan berdasarkan KUHPerdata itu sangat berbau hak milik mutlak meskipun sebenarnya sangat sulit diungkap jiwa hak milik mutlak yang dimaksud itu tetapi demikianlah adanya, segala sesuatunya lebih ditekankan pada keadilan karena hak milik benda yang hendak diterimanya sebagai warisan itu sangat menonjol.
Mewaris sebagai hak, maka para ahli waris berhak memperjuangkannya dengan jalan mengajukan gugatan yang dapat mereka tujukan kepada : sesama ahli waris; kepada orang yang tanpa hak menguasai benda-benda warisan; dan terhadap pihak-pihak yang secara licik menyebabkan hilangnya kekuasaan ahli waris terhadap benda-benda yang sebenarnya merupakan bagian dari harta warisan (Pasal 834 KUHPerdata). Hak untuk mengajukan gugatan guna memperoleh hak waris tersebut, di dalam kepustakaan dikenal dengan istilah hereditatis petitio.
Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan di atas ini, dapat disimpulkan bahwa : -Menurut undang-undang bahwa, Hukum Kewarisan menurut KUHPerdata berlaku ketentuan yaitu apabila seseorang meninggal dunia maka pada saat itu, maka segala hak dan kewajibannya beralih kepada para ahli warisnya; -Ahli waris menempati kedudukan yang meninggal dunia dalam hak yang menyangkut harta kekayaan; -Ahli waris memperoleh hak secara mewaris demi hukum tanpa perlu dengan levering; -Tiap-tiap ahli waris berhak menuntut setiap barang atau uang yang termasuk harta peninggalan untuk diserahkan kepadanya kalau dikuasai oleh orang lain; -Hak-hak mewaris merupakan bagian dari hukum kebendaan.
7. Asas Pembatasan Kewenangan Pewaris Melalui Pelembagaan Legitieme Portie. Pembatasan kewenangan bagi pewaris di dalam asas ini adalah pembatasan kewenangan bagi pewaris di dalam menentukan peruntukkan atas harta peninggalannya menurut kehendaknya sendiri. Pada prinsipnya pewaris bebas untuk memberikan harta peninggalannya kepada siapapun juga, baik kepada yang bertalian darah maupun tidak ada hubungan apa-apa. Akan tetapi oleh pembentuk undang- undang menganggap beberapa ahli waris yang dekat hubungannya dengan ahli waris adalah tidak etis apabila tidak mendapat sesuatu harta peninggalan dari pewaris, karena itu dibentuklah apa yang dinamakan legitieme portie. Penerima legitieme portie disebut dengan legitiemaris.
Legitieme portie atau bagian mutlak adalah bagian dari waris yang tidak dapat dikurangi dengan suatu pemberian semasa hidup atau pemberian dengan surat wasiat atau testamen. Legitieme portie atau bagian mutlak, disebutnya mutlak karena bagian ini sepenuhnya harus diberikan kepada Legitiemaris, tidak boleh dikurangi oleh pewaris dengan jalan apapun, termasuk tidak boleh dibebani dengan syarat apapun. Pembatasan kewenangan pewaris melembagakan legitieme portie menurut ketentuan undang-undang bertujuan agar supaya para ahli waris mendapatkan perlindungan hukum dari perbuatan pewaris yang merugikan hak warisnya kerena adanya surat wasiat atau testamen yang dibuat pewaris untuk kepentingan orang lain.
Dengan adanya ketentuan undang-undang mengenai legitieme portie, maka pembuat undang-undang memberikan jaminan, bahwa kecuali atas persetujuan legitiemaris sendiri, ahli waris tertentu (legitiemaris) itu tidak dapat disingkirkan sama sekali oleh pewaris dari pewarisannya. Di dalam Pasal 913 KUHPerdata menggunakan kata-kata “bagian mutlak atau legitieme portie adalah bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada ahli waris”. Pada kata “harus” disini harus diartikan bahwa tanpa persetujuan legitiemaris yang bersangkutan tidak dapat disingkirkan sama sekali.
Legitieme portie merupakan suatu hak dan hak ini dapat diberikan kepada legitiemaris kalau yang bersangkutan menggunakan haknya, yaitu kalau menggunakan legitieme portie-nya. Hak menuntut tersebut dapat diberikan kepada masing-masing legitiemaris untuk sebesar bagian mutlak yang mereka mesti dapat. Karena itu, logis kalau setiap bagian mutlak itu tidak boleh diletakkan beban apapun atasnya. Begitu pentingnya bagian mutlak itu (legitieme portie) untuk tidak boleh dilanggar, maka berdasarkan ketentuan Pasal 1019 KUHPerdata dengan tegas mengingatkan bahwa, “asal saja legitieme portie tidak dilanggar maka pewaris dapat secara bebas menentukan lain harta bendanya”.
Hak menuntut seseorang legitiemaris dapat saja ditujukan baik terhadap sesama ahli waris, maupun terhadap pihak ketiga, baik terhadap ketetapan di dalam surat wasiat atau testament (erfstelling) maupun ketetapan di dalam hibah wasiat (legaat). Jadi semua pemberian, baik semasa pewaris hidup seperti hibah maupun yang terjadi sesudah pewaris meninggal dunia berupa wasiat atau testamen yang merugikan hak dari bagian mutlak legitiemaris itu, dapat dituntut oleh para legitiemaris sampai hak bagian mutlak tersebut terpenuhi (Pasal 920, 927, 967 KUHPerdata).
8. Asas Pergantian Tempat (Plaatsvervulling) Pergantian tempat atau plaatsvervulling adalah penggantian ahli waris, artinya memberi hak dan kesempatan kepada ahli waris pengganti untuk mengganti kedudukan ahli waris yang lebih duluan meninggal dari pada pewaris untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam segala hak yang digantikannya (Pasal 841 KUHPerdata). Pergantian tempat memberi hak kepada seseorang yang mengganti, untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam segala hak orang yang diganti. Karena itu, pergantian tempat sebagai asas harus memenuhi persyaratan, dan persyaratan tersebut dapat dilihat dari sudut ahli waris yang diganti, dan dari sudut ahli waris pengganti. Ismuha, Penggantian Tempat Dalam Hukum Waris Menurut KUH Perdata, Hukum Adat, dan Hukum Islam, Cet. 1, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, hlm. 69.
Apabila persyaratan itu dilihat dari sudut ahli waris yang diganti harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: A. Sudah meninggal, dan meninggalnya lebih dahulu dari pada pewaris; B. Ahli waris yang diganti itu semasa hidupnya tidak termasuk ahli waris yang tidak patut menerima harta warisan atau onwardig (Pasal 838, dan 912 KUHPerdata), dan tidak menolak harta warisan (Pasal 1057, dan 1058 KUHPerdata).
Bila persyaratan dilihat dari sudut ahli waris pengganti, maka harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: A. Yang berhak bertindak sebagai ahli waris pengganti hanyalah keturunan yang sah dari orang yang digantikan kedudukannya; B. Harus ada dan masih hidup, tidak onwardig, dan tidak menolak harta warisan. Pergantian tempat atau plaatsvervulling penjabaran hukumnya ditemukan di dalam Pasal 842, 844 dan 845 KUHPerdata, dengan Pasal-pasal ini menunjukan bahwa KUHPerdata menganut asas pergantian tempat. Akan tetapi dilihat dari ketentuan pasal di atas, oleh pembuat undang-undang membagi pergantian tempat (plaatsvervulling) menjadi 2 (dua) cara yaitu; pertama pergantian tempat yang dapat terjadi secara otomatis, (Pasal 842 dan 844 KUHPerdata), dan kedua pergantian tempat yang terjadi tidak secara otomatis (Pasal 845 KUHPerdata).
Sesuai ketentuan pasal 842 ayat (1) KUHPerdata bahwa, “Pergantian dalam garis lurus ke bawah yang sah, berlangsung terus dan tidak ada akhirnya”. Dengan menggunakan kalimat, “pergantian dalam garis lurus ke bawah yang sah” di dalam pasal ini, menunjuk pada pergantian tempat yang terjadi kepada keturunan ahli waris yang sah golongan pertama. Kemudian kalimat “berlangsung terus dengan tidak ada akhirnya” berarti pergantian tempat pada keturunan ahli waris golongan pertama ini selamanya diperbolehkan (Pasal 842 ayat (2) KUHPerdata), baik dalam hal bilamana beberapa anak yang meninggal (pewaris) mewaris bersama-sama dengan keturunan seorang anak yang telah meninggal dunia lebih dahulu (cucu pewaris), maupun sekalian keturunan mereka mewaris bersama-sama, satu sama lain dalam pertalian keluarga yang berbeda-beda derajatnya.
Kemudian pergantian tempat secara otomatis berdasarkan Pasal 844 KUHPerdata terjadi pada keturunan ahli waris golongan kedua. Pasal 844 KUHPerdata menyebutkan bahwa dalam garis menyimpang pergantian diperbolehkan atas keuntungan sekalian anak dan keturunan saudara laki-laki dan perempuan yang telah meninggal terlebih dahulu, baik mereka mewaris bersama-sama dengan paman atau bibi mereka, maupun warisan itu setelah meninggalnya semua keturunan mereka, yang mana satu sama lain bertalian keluarga dalam perderajatan yang tidak sama.
Kemudian pada pergantian tempat yang terjadi tidak secara otomatis berdasarkan dengan ketentuan Pasal 848 KUHPerdata, hanya akan terjadi bilamana memenuhi 2 (dua) persyaratan sebagai berikut: 1.Ada keluarga sedarah dalam garis menyimpang, yang merupakan de naaste in het bloed; 2. Ada keturunan dari saudara laki-laki atau keturunan anak saudara perempuan dari orang yang merupakan de naaste in het bloed. Pergantian tempat yang tidak secara otomatis ini, terjadi dalam garis menyimpang, disini dimaksudkan pasti bukan anak-anak saudara (ahli waris golongan II), karena mereka telah diatur dalam Pasal 844 KUHPerdata. Sehingga satu-satunya kemungkinan adalah, pergantian tempat dalam garis menyimpang yang lebih jauh, yaitu untuk anak- anak atau keturunan paman atau bibi pewaris. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pergantian tempat semacam ini, hanya dapat terjadi pada anak keturunan ahli waris golongan IV.
Bila dicermati, asas pergantian tempat ini mencerminkan motivasi kemanusiaan guna memenuhi rasa keadilan dan perikemanusiaan, karena tidak patutlah adanya menghukum seseorang untuk tidak menerima warisan yang semestinya harus diperoleh orang tuanya (ahli waris yang diganti) hanya karena faktor kebetulan orang tuanya itu lebih dahulu meninggal dunia dari kakek atau nenek. Apalagi jika faktanya, pada saat kakek atau nenek meninggal dunia dimana anak-anaknya sudah kaya dan telah mapan kehidupannya, sebaliknya cucu karena lebih cepat ditinggal yatim oleh orang tuanya menjadi melarat dan miskin, maka apakah patut melenyapkan haknya untuk memperoleh apa yang semestinya menjadi bagian orang tuanya.
9. Asas Pelembagaan Hibah Wasiat Dan Testamen Pasal 874 KUHPerdata menetapkan bahwa ”segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang-undang, sekadar terhadap hal itu dengan surat wasiat tidak telah diambil suatu ketetapan yang sah”. Dengan ketentuan pasal di atas ini, tersimpul suatu asas penting Hukum Kewarisan yaitu, ketetapan pewarisan berdasarkan undang-undang (ab intestato), baru berlaku kalau pewaris tidak atau telah meninggal suatu ketetapan yang menyimpang mengenai harta peninggalannya, ketetapan mana harus dituangkan dalam bentuk surat wasiat
Di dalam ketentuan undang-undang, pembuat undang-undang membedakan surat wasiat (erfstelling) dengan hibah wasiat (legaat). Surat wasiat diatur di dalam Pasal 954, 955 dan 956 KUHPerdata, sedang hibah wasiat diatur dalam Pasal 957 KUHPerdata dan seterusnya kebawah. Hibah wasiat atau legaat merupakan pemberian hak kepada seseorang atas dasar wasiat khusus, berupa; hak atas satu atau beberapa benda tertentu; hak atas benda bergerak dan tidak bergerak; dan hak pakai (hak vruchtgebruik) atas sebagian atau seluruh harta warisan.
Orang yang mendapat pemberian melalui hibah wasiat (legaat) ini disebut dengan ahli waris di bawah titel khusus (957 KUHPerdata), artinya orang yang menerima wasiat yang bendanya ditentukan, dan orang yang mendapat legaat disebut legitaris. Maksud ahli waris di bawah titel khusus yaitu, seseorang hanya menerima hak atau jenis barang tertentu dari pewaris, akan tetapi tidak bertanggung jawab atas utang-utang pewaris. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, seseorang penerima legaat tidak punya hak atas harta pewaris kecuali yang dihibahkan secara wasiat saja.
Pewarisan dengan surat wasiat atau testamen (erfstelling) adalah suatu pemberian (harta warisan) dengan tidak di tentukan bendanya secara tertentu (Pasal 954 KUHPerdata). Orang yang mendapatkan harta warisan berdasarkan surat wasiat atau testamen merupakan ahli waris di bawah titel umum (Pasal 955 KUH Perdata). Maksud sebagai ahli waris di bawah titel umum adalah ahli waris yang kedudukannya sama dengan ahli waris berdasarkan undang-undang, dimana segala hak milik atas barang, piutang, maupun kewajiban atau beban pewaris kepada pihak ketiga beralih kepada ahli waris dengan surat wasiat atau testamen tersebut (Pasal 955 KUHPerdata). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ahli waris dengan surat wasiat atau testamen menimbulkan akibat hukum terhadap terjadinya peralihan hak dan kewajiban (aktiva dan pasiva) dari pewaris kepada ahli waris.
Pada prinsipnya, pembentuk undang-undang mengadakan Hukum Kewarisan berdasarkan surat wasiat atau testamen berpangkal pada pikiran bahwa harta kekayaan seseorang itu pada hakekatnya adalah hasil dari jerih payahnya selama hidup, karena itu adalah wajar adanya jika mereka pun diberikan kebebasan didalam menentukan kepada siapa hartanya itu dapat diberikan atau yang disukai selama tidak merugikan ahli waris yang berkedudukan sebagai ahli waris yang harus mendapatkan bagian mutlak (legitieme portie).
WASIAT
Surat wasiat berisikan keinginan atau kehendak terakhir pewaris sebelum meninggal dunia. Ungkapan keinginan atau kehendak terakhir pewaris mempunyai dua arti yakni, arti materil dan arti formil. Arti materil bahwa keinginan terakhir dari pewaris tersebut menunjuk pada pemberian pada waktu meninggal, sedangkan arti formil menunjukan arti bahwa, suratwasiat itu merupakan akta yang harus memenuhi bentuk yang disyaratkan menurut peraturan perundang-undangan. Kalimat “surat wasiat sebagai suatu akta”, sebagaimana di dalam Pasal 875 KUHPerdata, hal ini menunjukan bahwa suatu surat wasiat bentuknya tertulis, maka di dalam cara membuatnya memerlukan campur tangan pejabat resmi pembuat akta Wasiat yaitu notaris.
Surat wasiat atau testamen berisi pernyataan kehendak bagi almarhum, ini berarti bahwa surat wasiat atau testamen itu merupakan suatu perbuatan hukum sepihak yaitu, berupa tindakan atau pernyataan kehendak satu orang saja sudah cukup untuk timbulnya akibat hukum yang dikehendaki. Suatu surat wasiat atau testamen baru mempunyai efek (baru berlaku) setelah pewaris meninggal dunia, itu sebabnya surat wasiatdisebut berisi pernyataan terakhir almarhum. Kata “dapat dicabut kembali” mengandung konsekwensi bahwa suratwasiat atau testamen itu pembuat wasiat dapat meninjau kembali terhadap apa yang menjadi keinginannya itu, termasuk misalnya untuk menetapkan apakah tindakan hukum seperti itu harus dibuat dalam bentuk surat wasiat atau cukup dalam bentuk lain. Dengan memperhatikan hal-hal di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu surat wasiat atau testamen harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: a) Suatu surat wasiat atau testamen adalah berbentuk akta (tertulis); b) Suatu surat wasiat adalah berisi pernyataan kehendak yang merupakan tindakan sepihak (perbuatan hukum sepihak); c) Suatu surat wasiat atau testamen baru berlaku apabila sipembuat telah meninggal dunia; d) Suatu surat wasiat atau testamen dapat dicabut kembali.
Segala ketetapan dengan surat wasiat atau testamen sebagaimana yang disebutkan dalam ketentuan bentuk Pasal 876 KUHPerdata terdiri dari 2 (dua) macam cara yaitu, pertama dengan alas hak umum yaitu, memberikan wasiat dengan tidak ditentukan bendanya secara tertentu, dan wasiat semacam ini lazim disebut dengan erfstelling misalnya, A mewasiatkan ½ dari harta bendanya pada X ; kedua dengan alas hak khusus yaitu, memberikan wasiat yang bendanya ditentukan jenisnya, dan wasiat semacam ini disebut legaat misalnya, A mewasiatkan sebuah rumah di Jalan Anggrek Hitam Nomor 1 BSD kepada X.
Pasal 875 KUHPerdata menyebutkan bahwa suatu ketentuan dalamwasiat mempunyai 2 sifat : 1. berlaku sesudah pewaris meninggal ; 2. senantiasa dapat dicabut semasa pewaris masih hidup. Bahwa yang paling lazim dalam suatu wasiat berisi apa yang dinamakan erfstelling yaitu penunjukkan seorang atau beberapa orang menjadi ahli waris yang akan mendapat seluruh bagian wasiat.
Untuk membuat wasiat harus diperhatikan syarat-syarat sahnya wasiat : a. orang yang memberi wasiat (pewasiat) sudah dewasa, mempunyai pikiran sehat, benar- benar berhak atas harta benda yang diwasiatkan. Disamping itu pewasiat tidak berada dibawah pengaruh yang tidak menguntungkan seperti tertipu, terpaksa dan keadaan- keadaan lain yang sejenis. b. orang yang menerima wasiat (penerima) wasiat harus ada pada saatwasiat tersebut dilakukan, atau penerima wasiat sudah/masih ada pada saat pemberi wasiat meninggal dunia. c. ketentuan jumlah yang boleh diwasiatkan. d. pernyataan yang jelas.
Menurut jenisnya wasiat dibedakan atas 3 (tiga) macam, yaitu wasiatopenbaar, wasiat olografis, dan wasiat tertutup atau rahasia. Ketiga jenis wasiat ini dalam pembuatannya berbeda. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan tentang cara pembuatan jenis wasiat, sebagai berikut : 1. Surat Wasiat Openbaar/umum dibuat oleh seorang notaris. Orang yang akan meninggalkan warisan tersebut menghadap kepada notaris dan menyatakan kehendaknya yang dicatat dalam akta (akta wasiat). Salinan dari akta tersebut diserahkan kepada pembuatnya.
Setelah pembuatwasiat meninggal dunia, maka ahli warisnya membawa surat wasiat kepada Balai Harta Peninggalan dan oleh BHP dibawah lembaran akta yang masih kosong dibuat suatu klausul yang berbunyi : “telah didaftarkan di kantor BHP tanggal.....Nomor.....yang membuat SuratWasiat ini telah meninggal dunia di...... Tempat tinggal terakhir...... Pada tanggal..... Atas Nama BHP, Sekretaris BHP”.
2. Surat Wasiat Olografis, harus ditulis tangan orang yang meninggalkan warisan itu sendiri dan ditanda-tangani oleh pewasiat itu pula. Kemudian surat itu diserahkan sendiri kepada salah seorang notaris untuk disimpan. Penyerahan tersebut harus pula dihadiri oleh dua orang saksi. Sebagai bukti bahwa notaris telah menerima surat tersebut, dibuatlah akta penyimpanan atau akta van depot. Penyerahan pada notaris dapat dilakukan secara terbuka atau tertutup. Mengenai wasiat yang diserahkan secara tertutup, ditetapkan bahwa apabila pewasiat meninggal dunia,wasiat itu harus diserahkan oleh Notaris kepada BHP, yang akan membuka wasiat itu. Wasiat olografis mempunyai kekuatan yang sama dengan wasiat umum, wasiat olografis tersebut terhitung sejak tanggal akta penyimpanan. Mengenai penyerahan wasiat olografis tersebut kepada BHP akan dituangkan kesuatu Berita Acara yang ditanda-tangani oleh BHP.
Apa yang dimaksud dengan wasiat Olografis Apa yang dimaksud dengan wasiat Olografis ? Wasiat olografis menurut Pasal 932 harus seluruhnya ditulis dan ditanda-tangani oleh pewaris. Surat wasiat tersebut harus diserahkan kepada notaris dengan 2 (dua) orang saksi dalam keadaan terbuka atau tertutup (dilak) untuk disimpan. Bilamana diserahkan dalam keadaan tertutup pewaris dengan dihadiri oleh notaris dan saksi-saksi harus menyatakan pada sampulnya dan menegaskan dengan membubuhi tanda-tangannya bahwa sampul itu berisi wasiat
Bilamana diserahkan dalam keadaan terbuka formalitas ini tidak perlu Bilamana diserahkan dalam keadaan terbuka formalitas ini tidak perlu. Setelah diserahkan untuk disimpan, notaris harus membuat akta yang ditanda-tangani oleh pewaris, notaris dan 2 orang saksi. Bilamana surat wasiat diserahkan secara tertutup maka akta penyimpanan dibuat dibagian bawah surat wasiat itu. Bilamana surat wasiat diserahkan secara terbuka maka akta penyimpanan dibuat sendiri yaitu diatas kertas yang terpisah.
Surat wasiat olografis yang disimpan menurut ketentuan-ketentuan dalam Pasal 932 adalah sama kuatnya dengan surat wasiat yang diselenggarakan dengan akta umum dan dianggap dibuat pada hari pembuatan akta penyimpanan dan dianggap benar seluruhnya ditulis dan ditanda-tangan sendiri oleh pewaris, kecuali kemudian terbukti sebaliknya. Wasiat olografis sewaktu waktu bisa dicabut (Pasal 934) dengan meminta kembali surat wasiat itu, asal guna tanggung jawab notaris dari permintaan kembali itu dibuat suatu akta otentik.
3. Wasiat tertutup atau rahasia yang harus ditanda-tangani sendiri oleh pewasiat akan tetapi penulisannya dibantu oleh orang lain, setelah ditanda-tangani wasiat tersebut dimasukkan kedalam suatu amplop dan diserahkan kepada notaris dan dihadiri oleh empat orang saksi kemudian notaris membuat akta Van Superscriptie yang diperbuat di atas kertas itu sendiri/di atas sampulnya. Akta Van Superscriptie ditanda-tangani oleh pewasiat dengan empat orang saksi dan notaris. Suatu surat wasiatrahasia harus selalu ditutup dan disegel.
Dalam Pasal 940 dan 941 KUHPerdata ditetapkan hal-hal yang harus dituruti dalam pembuatan surat wasiat tertutup atau rahasia : a. Pewaris menulis ketetapannya sendiri atau oleh orang lain dan kemudian. Tidak perlu dibubuhi tanggal oleh karena sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 933 KUHPerdata tanggal surat wasiat yang demikian adalah tanggal penyerahan kepada notaris. b.Kertas yang memuat surat wasiat atau sampulnya harus ditutup dan dilak. c.Surat wasiat yang ditutup dan dilak kemudian oleh pewaris diserahkan kepada notaris dihadiri 4 orang saksi.
Pewaris harus menerangkan bahwa kertas itu memuat kemauannya terakhir, ditulis dan ditanda-tangani sendiri atau ditulis oleh orang lain dan ditanda-tangani sendiri. Mengenai pernyataan ini notaris membuat akta yang disebut superskripsi. Akta ini harus ditanda-tangani oleh pewaris, notaris dan para saksi. Semua formalitas yang dilakukan dihadapan notaris dan para saksi harus dipenuhi tanpa selingan.
Prosedur pembuatannya : -Pewaris membuat atau menyuruh orang lain membuat wasiatnya dalam bentuk tertulis dn kemudian membubuhkan tanda-tangannya. Jadi, orang yang tidak dapat menulis, namun dapan mennda-tangani dapat juga membuat wasiat jenis ini, begitu pula orang yang tidak dapat membaca. -Kertas yang digunakan untuk menuliskan wasiat atau digunakan sebagai sampul bagisurat wasiat harus tertutup dan tersegel. -Surat wasiat itu disampaikan kepada notaris dengan dihadiri 4 orang saksi. Pewaris kemudian menyatakan bahwa surat itu berisi wasiatnya. Pewaris/pewasiat juga harus menyatakan bahwa wasiat itu ditulis sendiri dan ditanda-tanganinya sendiri atau bahwa wasiat itu ditulis oleh orang lain tetapi ditanda-tanganinya sendiri.
Pernyataan itu dituangkan oleh notaris dalam akta SUPERSKRIPSI (Pengalamatan) yang ditulis pada surat wasiat ataupun sampul suratwasiat. Akta itu harus ditandatangani oleh notaris pewaris dan para saksi. Jika pewaris tidak mampu atau berhalangan membubuhkan tanda-tangannya pada akta SUPERSKRIPSI itu, maka sebab dari halangan itu harus disebutkan dan dicatatkan dalam akta itu.
Semua warga Negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan (equality before the law). Dalam prakteknya konteks kewenangan notaris menjalankan jabatannya tentu aplikasi ketentuan tersebut sangat jelas, meskipun dengan berbagai hal yang merupakan hasil pemahaman dan penafsiran berbagai perundang-undangan yang berlaku. Diantaranya adalah berkaitan dengan Kewenangan Notaris dalam Pembuatan Wasiat oleh seorang tuna wicara, tunarungu, tuna netra dan tuna aksara (buta huruf) : 1. seorang tuna wicara dapat membuat surat wasiat dalam bentuk wasiatolografis, asalkan kehendaknya tersebut ditulis, diberi tanggal dan ditanda-tangani oleh ybs sendiri (Pasal 941 KUHPerdata).
2. seorang tuna rungu, dapat membuat wasiat dalam bentuk wasiatumum (openbare akte), wasiat olografis maupun wasiat rahasia). 3. seorang tuna netra atau buta huruf dapat membuat wasiat umum (openbare akte) dan wasiat rahasia, asalkan ybs dapat membubuhkan tanda-tangan atau cap jempol.
Bolehkah harta warisan dari pewaris yang telah menunjuk Pelaksana Wasiat (Executeur Testamentair) dibagikan tanpa melibatkan Pelaksana Wasiat? Menurut Pasal 875 KUHPerdata disebutkan : “Suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan olehnya itu dapat dicabut kembali”. Akta wasiat berisikan keinginan atau kehendak terakhir si pewaris sebelum meninggal dunia. Dalam suatu Akta Wasiat Umum sering ditemui kata-kata : “Saya angkat sebagai pelaksana wasiat saya ini…dst.
Kepadanya saya berikan semua hak, wewenang dan kekuasaan yang menurut undang- undang diberikan kepada pelaksana wasiat…dst”. Pelaksana Wasiat yaitu seseorang atau lebih yang ditunjuk oleh pewaris yang mempunyai tugas dan kewajiban mengusahakan pelaksanaan kehendak terakhirnya. Berdasarkan Pasal 1005 KUHPerdata pengangkatan Pelaksana Wasiat dilakukan dengan surat wasiat, kodisil atau akta Notaris khusus. Tugas utama Pelaksana Wasiat wasiat adalah melaksanakan wasiat pewaris dan dalam hal perselisihan mengajukan tuntutan ke pengadilan untuk mempertahankan berlakunya surat wasiat demikian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1011 KUHPerdata.
Sementara kewajiban Pelaksana Wasiat adalah : 1 Sementara kewajiban Pelaksana Wasiat adalah : 1. Mengusahakan pencatatan harta (boedelbeschriving) yang dihadiri para ahli waris dan jika mereka tidak atau tidak semua hadir, sedikitnya mereka yang bertempat tinggal di Indonesia telah diundang secara eksplosit (bisa dilihat dalam Pasal 1010 KUHPerdata), dibuat berita acara pencatatan harta yang tidak harus dibuat dalam bentuk akta notarial, asalkan semua ahli waris setuju; dan 2. Mengusahakan agar warisan disegel apabila ada ahli waris dibawah umur itu dibawah pengampuan yang tidak dan wakil hukumnya (wali atau pengampu) atau jika ada ahli waris yang tidak hadir tanpa wakilnya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1009 KUHPerdata.
Pelaksana wasiat adalah wakil dari para ahli waris, bukan dari warisannya, karena itu bukan badan hukum. Wewenang Pelaksana Wasiat diperoleh dari Pewaris, walaupun tidak ada perjanjian pemberian kuasa. Kedudukan Pelaksana Wasiat bersifat pribadi karena dipilih mengingat kapasitasnya. Kedudukannya tidak diwariskan, tetapi para ahli warisnya (dari Pelaksana Wasiat) wajib memberikan pertanggung jawaban untuk perbuatan Pelaksana Wasiat. Seorang Pelaksana Wasiat berhenti karena tugasnya telah selesai, kematian (pekerjaannya tidak dapat diwariskan kepada ahli warisnya sebagaimana ditentukan Pasal 1015 KUHPerdata), tidak cakap, dan dipecat.
Pasal 1011 KUHperdata merupakan ketentuan yang menegaskan kewajiban utama/pokok yang oleh undang-undang ditugaskan kepada Pelaksana Wasiat, yaitu mereka mengusahakan agar wasiat pewaris dilaksanakan sebagaimana mestinya. Terkait hal tersebut terdapat Putusan MARI tenggal 17 Desember 1997, Nomor 3324 K/Pdt/1992 kaidah hukumnya : Harta warisan dari seorang pewaris dengan menunjuk pelksana wasiat (executeur tertamentair), hanya dan mesti dibuktikan dengan pencatatan atau perincian yang dibaut oleh pelaksana wasiat dihadapan para ahli warisnya sesuai ketentuan dalam pasal 1007 KIHPerdata.
LARANGAN wasiat bertimbal balik 1 LARANGAN wasiat bertimbal balik 1.ada larangan untuk mengadakan surat wasiat bersama atau timbal balik (diatur dlam Pasal 930 KUHPerdata) ; 2.Syarat-syarat untuk menjadi saksi menurut ketentuan Pasal 944 KUHPerdata, para saksi harus telah dewasa dan penduduk Indonesia, mereka harus mengerti akan bahasa dalam surat wasiat atau dalam akta superskripsi atau akta penyimpanannya.
Yang tidak boleh menjadi saksi : -adalah para ahli waris atau penerima hibah wasiat dan semua keluarga sedarah dan keluarga semenda mereka sampai dengan derajat ke-empat; -anak-anak, cucu-cucu dan para istri dari anak-anak atau cucu-cucu notaris ; -pembantu rumah tangga notaris. Akibat tidak diturutinya formalitas-formalitas yang ditentukan : -menurut ketentuan Pasal 953 KUHPerdata segala acara yang disyaratkan dalam pembuatan wasiat harus dipenuhi atas ancama kebatalan. -batalnya surat wasiat bilamana surat wasiat musnah atau tidak dapat dibaca lagi, isinya dapat dibuktikan dengan segala macam pembuktian.
HATUR NUHUN………