JK lantas menanyai staf, “mengapa biaya honor penyanyi mahal sekali?” Tamu Negara di Istana JK bingung tak kepalang. Pasalnya, tiap kali ia menerima tamu negara, biayanya selalu hitungan ratusan juta rupiah. Ia pun mencoba menggeledah tiap item biaya yang dipakai untuk jamuan kenegaraan tersebut. Lalu, JK menemukan bahwa salah satu item yang paling mahal adalah honor para penyanyi yang menghibur para tamu negara. Honor mereka Rp 25 juta per orang. Jadi, kalau empat penyanyi untuk tiap acara jamuan, ada Rp 100 juta uang negara yang keluar untuk mungkin hanya satu jam acara. JK lantas menanyai staf, “mengapa biaya honor penyanyi mahal sekali?” “Mereka itu kan penyanyi top dan bayarannya memang begitu di pasaran, Pak,” jawab para staf JK. “Apakah para tamu asing mengetahui para penyannyi top itu” tanya JK lagi. “Tentu tidak, Pak, karena para penyanyi tersebut terkenal dan top hanya di Indonesia. Para tamu asing, tentu saja tidak mengenal para penyanyi tersebut,” jawab para staf JK lagi. “Apakah lagu-lagu Indonesia atau daerah yang dinyanyikan para artis kita itu, dipahami juga oleh para tamu negara kita?” cacar JK lagi. “Kemungkinan besar para tamu negara kita itu, tidak mengenal lagu-lagu yang dinyanyikan itu Pak,” jawab staf. Dengan jawaban staf tersebut, JK pun berkesimpulan, buat apa menggunakan penyanyi top di hadapan para tamu negara jika para tamu negara sendiri tidak mengenal para penyanyi dan lagu yang dibawakannya. Solusinya, sangat sederhana. Tidak perlu memakai penyanyi top di istana sebab bayarannya terlampau mahal dan uang negara sangat terbatas. Maka, istana Wapres pun menampilkan artis yang bayarannya bisa dilakukan oleh kantor Wapres. Bagi JK, yang penting, tamu kita suguhi lagu-lagu Indonesia atau daerah dan para penyanyi tersebut bisa membawakannya. “Toh, para tamu kita tidak akan memprotes mengapa mereka tidak dihibur oleh penyanyi yang paling mahal bayarannya di Indonesia. Ini semua dilakukan semata-mata hanya karena menghemat biaya negara,” ujar JK. Ihwal prinsip efisiensi dan logis ini, JK memang, oleh sejumlah orang dibilang pelit. Segalanya dikalkulasi. Dan ia sendiri, tidak hirau dengan predikat itu sebab secara pribadi, ia terlampau rajin memberi donasi sosial dan memberi bantuan pribadi pada orang yang membutuhkan uluran tangannya, diminta atau tidak. Sebuah kisah lagi, tentang kecrerewetan JK menelusiri harga yang dibayar oleh negara. Tatkala ia baru pindah ke rumah dinas Wapres di Jalan Diponegoro, Jakarta, staf mengajukan anggaran perpindahan, meliputi pengecatan rumah dan pembelian sofa. JK amat terkejut. Biaya yang diajukan untuk disetujui melebihi satu miliar rupiah. Naluri dagang JK pun sontak timbul. Sebagaimana biasanya, pulpen dan kertas kecil yang selalu dikantonginya dalam keadaan apa pun, kembali digunakan untuk menghitung angka-angka. Ia pun berkesimpulan, ini pasti terjadi penggelembungan biaya. Ia menemukan, harga sofa yang tertera dalam proposal adalah Rp 120 juta. Tidak masuk akal baginya karena sofa yang dimaksud sangat sederhana. JK minta istrinya mengecek ke toko. Ternyata, harga sofa yang dimaksud hanya sekitar Rp 30 juta. Luas rumah dihitungnya juga, lalu jenis cat yang dipakai plus ongkos buruh. Hasilnya, proposal tersebut mengada-ada. JK langsung memanggil stafnya. “Anda pilih dibayar berdasarkan proposal ini, atau Anda pilih masuk penjara?” tanya JK Hasilnya, proposal tersebut direvisi dan uang negara diselamatkan beberapa ratus juta rupiah. “Ini contoh yang sangat sederhana,” kata JK.