Longgarnya Regulasi Rokok Masuknya raksasa industri rokok dunia ke negeri ini bukanlah hal yang patut dibanggakan. Ini justru mencemaskan karena menunjukkan betapa longgarnya regulasi rokok di Indonesia. Keuntungan ekonomi yang diperoleh negara tidaklah sebanding dengan besarnya bahaya yang mengancam masyarakat akibat merajalelanya peredaran rokok.Aturan yang lunak dan pangsa pasar rokok yang luas di negara kita merupakan alasan utama British American Tobacco mengambil alih Bentoel baru-baru ini. Begitu pula ketika Philip Morris International mencaplok PT H.M. Sampoerna empat tahun yang lalu. Mereka melakukan langkah strategis itu untuk melebarkan pangsa pasar rokoknya yang kian sempit di Eropa dan Amerika ke kawasan Asia. Kenyataan ini sungguh ironis jika disandingkan dengan gencarnya gerakan antirokok di berbagai negara. Di Amerika Serikat, Presiden Barack Obama baru saja menyetujui Undang-Undang Anti-Rokok, yang memberikan kewenangan penuh kepada The Food and Drug Administration (FDA) untuk menurunkan kadar nikotin dalam rokok. FDA juga kini dapat mengatur ketat tayangan iklan dan pemasaran rokok di sana. Cina dan India juga sudah mengendalikan tembakau. Meski produksi tembakau dan rokok mereka beberapa kali lebih besar ketimbang Indonesia, kedua negara itu sudah meratifikasi Konvensi Pengendalian Tembakau (FCTC) yang telah ditandatangani oleh 168 negara. Bersama Zimbabwe, Indonesia dikategorikan paling permisif terhadap iklan rokok di televisi. Regulasi rokok yang longgar di negeri ini bahkan disetarakan dengan kondisi Thailand dua dekade silam. Tak mengherankan jika para raksasa industri rokok dunia kini lebih tertarik “menyerbu” Indonesia ketimbang Cina dan India. Untuk memperbaiki ketertinggalan itulah, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat perlu segera meratifikasi Konvensi Anti-Rokok. DPR mesti pula memprioritaskan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengendalian Dampak Tembakau. Pertimbangannya jelas, selain merugikan kesehatan masyarakat, kebiasaan merokok merongrong ekonomi rakyat. Lebih dari dua pertiga perokok berasal dari kalangan rakyat miskin, yang menghabiskan sekitar 12 persen dari pendapatan mereka untuk rokok. Pengeluaran itu bahkan sembilan kali lebih tinggi dari biaya pendidikan. Pengetatan regulasi rokok memang mendatangkan konsekuensi tidak kecil bagi pemerintah. Penerimaan cukai rokok, yang selama ini masih jadi andalan penerimaan negara dan daerah penghasil rokok, bisa tergerus drastis. Belum lagi soal besarnya tenaga kerja di sektor ini. Untuk menambal bolong pendapatan itu, tarif cukai bisa terus dinaikkan bertahap, dengan harapan jumlah perokok pun kian susut. Pemerintah juga perlu menyusun langkah sistematis untuk mengalihkan tenaga kerja di industri rokok dengan menciptakan lapangan kerja baru yang bisa mendatangkan pendapatan lebih tinggi. Peluang itu ada karena pendapatan buruh pabrik rokok selama ini lebih rendah dibanding buruh di industri lainnya. Pendapatan petani tembakau pun hanya setengah dari perolehan petani tebu. Sumber: tempointeraktif.com, Kamis, 25 Juni 2009.