Pernikahan Putri Sulung Kira-kira dalam permulaan bulan Juni 1973, menjelang akan dilangsungkannya pernikahan putri pertama Bung Hatta Meutia Farida Hatta dengan Dr. Sri Edi Swasono (adik laki-laki istri saya), diadakan pertemuan-pertemuan antara keluarga Bung Hatta dengan keluarga Ibunda Istri saya. Ini dalam rangka mengadakan persiapan-persiapan yang diperlukan sehubungan dengan akan diadakannya perayaan pernikahan pada tanggal 14 Juli 1973. Dalam pertemuan-pertemuan tersebut, Bung Hatta selalu menanyakan dan mendengarkan dengan teliti pendapat-pendapat dan usulan-usulan dari para anggota Panitia, yang akan diberi tugas dan tanggungjawab ikut serta dalam penyelenggaraan upacara perayaan pernikahan tersebut. Sebagaimana dimaklumi, jalannya upacara kebesaran Minangkabau yang sudah jarang dijumpai sekarang ini, yang bernama babako-babaki, mewakili akad nikah putri pertama Bung Hatta, Meutia Farida Hatta dengan Sri Edi Swasono pada tanggal 14 Juli 1073 siang hari. Upacara itu berlangsung dengan lancar, tertib dan meriah, berkat adanya persiapan-persiapan yang matang itu. Adat babako-babaki menggambarkan rombongan wakil ninik-mamak cendekiawan, alim-ulama, pemuda dan masyarakat Minangkabau, menghantarkan persembahan berupa kerbau, pakaian seperangkat, beras sekarung dan sirih di cerana kepada mempelai wanita. Upacara adat tersebut dilangsungkan di Jalan Diponegoro di depan rumah tempat kediaman keluarga Bung Hatta. Sebetulnya Bung Hatta ingin mengadakan pesta pernikahan untuk putrinya dengan sederhana saja. Tetapi masyarakat dan handai taulan hendak mempergunakan kesempatan itu untuk menunjukkan penghargaan dan cinta-kasih mereka yang bersemarak. Sebagai ekonom yang terkenal rasional, tentunya Bung Hatta lebih suka sekitarnya uang yang akan dipergunakan untuk upacara adat dan pesta yang meriah itu, diperuntuhkan bagi tujuan-tujuan yang lebih bersifat sosial dan lebih bermanfaat bagi pembangunan. Tetapi di dalam masyarakat Indonesia yang terdiri berbagai suku dan berbagai ragam kebudayaan yang masih kuat berakar, maka pertimbangan-pertimbangan orang-seorang yang rasional sering tidak dapat bertahan di tengah-tengah keinginan kolektivita. Semenjak pernikahan Adinda Sri-Edi Swasono dengan Muetia Farida Hatta, maka hubungan kami dengan keluarga Bung Hatta bertambah akrab. Pada peringatan-peringatan hari ulang tahun Bung Hatta, Ibu Rahmi Hatta dan putri-putrinya dan pada hari-hari raya Lebaran, kami selalu meluangkan waktu untuk ikut menghadirinya. Suatu kenangan manis yang tidak kami lupakan ialah sewaktu saya dan istri saya ikut menghadiri peringantan hari ulang tahun Bung Hatta yang ke-73, yang dihadiri pula oleh teman-teman terdekat Bung Hatta, antara lain Mononutu, Dr. T.B. Simatupang, Mr. Karim, Prof. Dr. Sumitro Djojphadikusumo, Dr. Hasjim Ning dan lain-lain. Pada peringatan tersebut disajikan juga nyanyian-nyanyian yang disuarakan oleh penyanyi Dianad beserta istri dan Surti Suwardi, diiringi dengan piano oleh B.J. Supardi. Pada waktu Bung Hatta ditanya olrh hadirin, ingin mendengarkan lagu apa, maka dengan spontan Bung Hatta menjawab: ” Halo-halo Bandung!” Lagu “Halo-halo Bandung” itu dibawakan oleh Surti Suwandi dan kemudian diikuti oleh hadirin. Begitu selesai diperdengarkan lagu itu maka bergemalah tepuk tangan hadirin dengan ketawa yang berderai. Pada kesempatan itu Sdr. Muthahar menyumbangkan nyanyian lagu ciptaannya sendiri, “Syukur”. Suasana meriah dan mengesankan. Soemaryo Hadiwignyo, Pribadi Manusia Hatta, Seri 3, Yayasan Hatta, Juli 2002