Boleh Mandi di Sini Walaupun tugas rutin saya sejak Bapak menjabat sebagai wakil presiden adalah mengurus administrasi di Sekretariat dan mengurus perpustakaan, tetapi ada kalanya saya diajak serta oleh Bapak ke luar daerah, untuk meninjau pembangunan daerah. Salah satu diantaranya adalah ke Sumatra Utara dan Aceh, selama 24 hari, kalau tidak salah pada tahun 1954. Ketika itu saya mendapat tugas tiga macam: mengurus pakaian kotor, mengurus koper, dan mengurus sepatu. Selain saya, dibawa juga pelayan beliau, Sugeng, yang tugasnya mengurus makanan Bapak sehari-hari. Dari Jakarta kami berangkat naik pesawat Convair Garuda, dan di tengah jalan beliau bertanya kepada Pak Wangsa dan saya, “Berapa jam perjalanan sampai ke Medan ini?” Pak Wangsa menjawab, “Tiga jam”. Di lapangan terbang Polonia kami dijemput oleh gubernur dan pejabat lain. Kemudian rombongan wakil presiden itu dibawa ke Gubernuran untuk bermalam di sana. Keesokan harinya kami berangkat lagi ke Aceh. Selama perjalanan itu, Bapak sangat memperhatikan keadaan saya serta anggota rombongan yang lainnya. Kalau pada malam harinya Bapak pulang ke Gubernuran dari acara pidato di suatu tempat, maka yang lebih dahulu ditanyakan adalah saya. “Mana Thalib? Tidur di mana dia?” Bapak tidak mau kalau saya terlantar tidurnya di perjalanan itu. Demikian besar perhatian beliau kepada saya. Ada juga kejadian lucu selama di perjalanan. Di Kutaraja (Banda Aceh sekarang), saya perlu mandi dengan cepat supaya dapat melayani Bapak. Sayangnya kamar mandi untuk saya jauh letaknya, sedangkan di dekat saya ada kamar mandi yang di pintunya tertulis: Khusus untuk wakil presiden dan gubernur. Di depan pintu ada seorang penjaga yang melarang saya mandi. Saya mengatakan bahwa saya bukan orang Aceh tetapi anggota rombongan wakil presiden. Oleh karena itu saya diperbolehkan mandi. Sedang asyik mandi, Bapak tiba di rumah dan akan ke kamar mandi. Beliau bertanya kepada penjaga, “Siapa ada di dalam? Bukankah ada tulisan ini kamar mandi saya dan gubernur?” Penjaga mengatakan, “Maaf Pak, tadi ada orang yang mengatakan bahwa dia anggota rombongan Bapak, maka saya izinkan mandi di sini.” Bapak bertanya lagi, “Siapa orangnya?” Kata penjaga, “Entahlah, tetapi dia tinggi-tinggi.” Baru selesai mengatakan demikian, saya membuka pintu kamar mandi, keluar hanya dengan sarung, singlet, dan handuk di pundak. Bapak langsung berkata, “Oh, kau Thalib. Mengapa mandi di tempat saya?” Langsung saya menjawab, “Maaf Pak, kamar mandi untuk saya jauh, saya takut tidak keburu melayani Bapak.” Bapak Hatta mengangguk-angguk lalu berkata kepada penjaga, “Kalau dia boleh mandi di sini.” Munthalib, Pribadi Manusia Hatta, Seri 4, Yayasan Hatta, Juli 2002