CIVIC EDUCATION, CITIZENSHIP EDUCATION, SOCIAL STUDIES Oleh: Prof. Dr. Dasim Budimansyah, M.Si. Guru Besar Jurusan PKn dan Sekolah Pascasarjana UPI
Civic education; CITIZENSHIP EDUCATION Cogan (1994:4): “Civic Education: “...the kinds of course work taking place within the context of the formalized schooling structure”. Citizenship Education:”...the more inclusive term and encompasses both these in-school experiences as well as out-school or ‘non-formal/in-formal’ learning which takes place in the family, the religious organization, community organization, the media etc, which help to shape the totaliity of the citizen”.
SOCIAL STUDIES Social Studies is an integration of social sciences and humanities for the purpose of instruction in citizenship education. We emphasize ‘integration’, for social studies is the only field which deliberately attempts to draw upon, in an integrated fashion, the data of the social sciences and the insights of humanities. We emphasize ‘citizenship’, for social studies, despite the difference in orientation, outlook, purpose, and method of teaching, is almost universally perceived as preparation for citizenship in a democracy” (Barr, Bart and Shermis (1978:18).
Hubungan CE/Ct-E dengan Social Studies CE/Ct-E merupakan bagian dari Social Studies. CE/Ct-E sebagai esensi atau inti dari Social Studies Social Studies without citizenship education as its core is lake yards of thread without a spool-all tangle and confusion” (Mehlinger, 1977).
DIPEROLEHNYA KEBEBASAN Diperolehnya kebebasan oleh individu berarti hilangnya ketiga tali-tali itu yang berganti dengan: Kekhawatiran (anxiety) Ketidakberdayaan (powerless) Kemenyendirian (aloneless) Keterombang-ambingan (uprootedness) Keraguan (doubt) Kesemuanya bermuara pada permusuhan (hostility).
PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN PADA LEVEL MASYARAKAT Juga menentukan proses individuation, yang dlm msy Barat merupakan hasil perjuangan kebebasan. Seperti pd level individu, kebebasan itu juga berupa putusnya tali-tali terhadap segala macam kekuasaan: gereja, negara, dan eksploitasi ekonomi.
BAGAIMANA AKIBATNYA? Seperti pada level individu, kebebasan atau putusnya tali-tali itu disertai pula dengan: Kegelisahan (anxiety) Kehilangan kekuatan (powerless) Kemenyendirian (aloneless) Tidak mengakar (uprootedness) Keragu-raguan (doubt) Permusuhan (hostility)
ESCAPE FROM FREEDOM (Eric Fromm, 1997) Fromm menyimpulkan bahwa disamping orang membutuhkan kebebasan (freedom), ia juga memerlukan ketergantungan (dedendensi atau submissiveness). Akibat kebutuhan submissiveness itu tdk terpenuhi, maka kebebasan menjadi tdk bermakna lagi. Maka timbulah mekanisme melarikan diri dari kebebasan atau escape from freedom.
BENTUK DARI ESCAPE FROM FREEDOM melukai diri sendiri (masochism) Melukai orang lain (sadism) Melenyapkan objek atau saingan (destructiveness) Mengekor secara serempak (automaton)
MASYARAKAT BARU DENGAN MORALITAS BARU Revolusi Prancis : liberte, egalite, fraternite Tampaknya hanya kebebasan yg diperoleh, sedang persamaan masih jauh tertinggal. Ini disebabkan karena moral persaudaraan (fraternite) hampir tidak mengalami kemajuan yg berarti dalam peradaban modern.
TERJADI DALAM REFORMASI KITA Semua golongan mabuk kebebasan, sementara semanngat persaudaraan sebagai bangsa semakin terpuruk. akibatnya persamaan dan keadilan sulit untuk diwujudkan.
ROBERT BELLAH (1999) Menekankan pentingnya kebangkitan moral baru yg mampu melandasi pranata sosial dan menghasilkan hubungan sosial yg lebih baik antara msy dan negara dan antara warganegara sendiri. Ia mengatakan bahwa semua kejadian yg telah merendahkan martabat manusia adalah hasil dari pilihan-pilihan kita (social chioces) yg dibakukan dlm pranata sosial. Unt merombaknya perlu dilakukan pilihan-pilihan yg baru, ini membutuhkan suatu sistem nilai.
AMITAI ETZIONI (1993) Perlu menambahkan pada nilai keakuan (individualisme) dengan nilai kekitaan (yang bersifat komunitarian). Dengan kata lain hrs ada keseimbangan antara hak (yg berorientasi pada keakuan) dan kewajiban (yg berorientasi pada hak orang banyak). Pemikiran ini relevan unt mengoreksi gejala “strong sense of entitlement”, yaitu cenderung menuntut hak (bila perlu secara paksa dan kekerasan) tetapi segan menerima kewajiban bagi kepentingan umum.
SIKAP MORAL KOMUNITARIAN Kita hrs mampu menyiptakan suatu moralitas baru yg tdk mengganggu kehidupan pribadi orang (sikap anti puritanisme). Kita harus mempertahankan suatu “hukum dan keteraturan” tanpa harus jatuh pada suatu “negara polisi” dengan merancang secara hati-hati kewenangan dan kekuasaan pemerintah. Kita harus menyelamatkan kehidupan keluarga tanpa harus membatasi hak anggotanya secara diskriminatif (misalnya memaksakan peran domestik pada perempuan). Sekolah harus mampu memberikan pendidikan moral, tanpa mengindoktrinasi anak muda. Kita hrs memperkuat kehidupan komunitas tanpa menjadi orang fanatik dan saling bermusuhan terhadap komunitas lain.
SIKAP MORAL KOMUNITARIAN Kita hrs meningkatkan tanggung jawab sosial bukan sebagai suatu pembatasan hak-hak kita, tetapi justru sebagai perimbangan dari hak-hak yg kita peroleh. Semakin besar hak yang diterima, semakin besar pula kewajiban yg perlu ditanggung. Perjuangan kepentingan pribadi harus diimbangi dengan komitmen pada komunitas, tanpa harus menjadi tumbal bagi kelompok. Oleh karena itu kerakusan individu yg tanpa batas hrs diganti dengan “kepentingan pribadi” yg bermanfaat secara sosial dan memperoleh peluang yg disahkan oleh masyarakat. Kewibawaan pemerintah harus dijaga tanpa menghilangkan kesempatan bagi semua warga menyampaikan pendapat dan kepentingannya.