MATERI DISAMPAIKAN OLEH: MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PROSEDUR BERACARA DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR MATERI DISAMPAIKAN OLEH: HAKIM KONSTITUSI MARIA FARIDA INDRATI, S. KEGIATAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI ANGKATAN II MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA JAKARTA, 27 SEPTEMBER 2011
PASAL 24 UUD 1945 2 SEBELUM PERUBAHAN SETELAH PERUBAHAN (1) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. (2) Susunan dan kekuasaan badan kehakiman itu diatur dengan undang- undang. (1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. (3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang- undang. 2 2
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI MENURUT PASAL 24C UUD 1945 Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 : (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. (2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. 3 3
PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG (Pasal 4 PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang) (1) Permohonan pengujian UU meliputi pengujian formil dan/atau pengujian materiil. (2) Pengujian materiil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. (3) Pengujian formil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
PENGUJIAN UU TERHADAP UUD 1945 Pasal 50* Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 *Pasal ini dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 066/PUU-II/2004 mengenai Pengujian UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi & UU No. 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang & Industri terhadap UUD 1945 tanggal 13 Desember 2004. 5 5
LEGAL STANDING DAN POSITA PENGUJIAN UU Pasal 51 UU MK Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: perorangan warga negara Indonesia; kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; badan hukum publik atau privat; atau lembaga negara. Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa: pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 6 6
HAK KONSTITUSIONAL MK sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu: a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak- tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
PENGAJUAN PERMOHONAN 1. Ditulis dalam bahasa Indonesia. 2. Ditandatangani oleh pemohon/kuasanya. 3. Diajukan dalam 12 rangkap. 4. Jenis perkara. 5. Sistematika: a. Identitas dan legal standing; b. Posita; c. Petitum. 6. Disertai bukti pendukung. Khusus untuk perkara Perselisihan Hasil Pemilu diajukan paling lambat 3 X 24 jam sejak KPU mengumumkan hasil pemilu.
PENDAFTARAN PERMOHONAN 1. Pemeriksaan kelengkapan permohonan oleh panitera. - Belum lengkap : diberitahukan - 7 hari sejak diberitahu, wajib dilengkapi - Lengkap 2. Registrasi sesuai perkara. 3. 7 hari kerja sejak registrasi untuk perkara. a. Pengujian undang-undang: - Salinan permohonan disampaikan kepada Presiden dan DPR. - Permohonan diberitahukan kepada Mahkamah Agung. b. Sengketa kewenangan lembaga negara: - Salinan permohonan disampaikan kepada lembaga negara termohon. c. Pembubaran partai politik: - Salinan permohonan disampaikan kepada partai politik yang bersangkutan. d. Pendapat DPR: - Salinan permohonan disampaikan kepada Presiden. Khusus untuk perkara perselisihan hasil pemilu, paling lambat 3 hari kerja sejak registrasi Salinan Permohonan disampaikan kepada KPU.
PENJADWALAN SIDANG Dalam 14 hari kerja setelah registrasi ditetapkan Hari Sidang Pertama (kecuali perkara Perselisihan Hasil Pemilu). Para pihak diberitahu/dipanggil. Diumumkan kepada masyarakat.
Pemeriksaan Pendahuluan Dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Panel Hakim yang sekurang-kurangnya terdiri atas 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi. (Pasal 10 ayat (1) PMK Nomor 06/PMK/2005) Dilakukan dalam Sidang Pleno yang dihadiri oleh sekurang- kurangnya 7 (tujuh) orang Hakim Konstitusi. (Pasal 10 ayat (2) PMK Nomor 06/PMK/2005) 1. Sebelum pemeriksaan pokok perkara, memeriksa: - Kelengkapan syarat-syarat Permohonan. - Kejelasan materi Permohonan. 2. Memberi nasehat - Perbaikan materi Permohonan. 3. 14 hari harus sudah dilengkapi dan diperbaiki.
PEMERIKSAAN PERSIDANGAN Terbuka untuk umum. Memeriksa permohonan dan alat bukti. Para pihak hadir menghadapi sidang guna memberikan keterangan. Lembaga negara dapat diminta keterangan, Lembaga negara dimaksud dalam jangka waktu 7 hari wajib memberi keterangan yang diminta. Saksi dan/atau ahli memberi keterangan. Pihak-pihak dapat diwakili kuasa, didampingi kuasa dan orang lain. Pemeriksaan permohonan pengujian UU terhadap UUD 1945 dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum, kecuali Rapat Permusyawaratan Hakim. (Pasal 2 PMK Nomor 06/PMK/2005)
PEMERIKSAAN PERSIDANGAN (2) (Pasal 13 ayat (1) PMK Nomor 06/PMK/2005) Pemeriksaan pokok permohonan; Pemeriksaan alat-alat bukti tertulis; Mendengarkan keterangan Presiden/Pemerintah; Mendengarkan keterangan DPR dan/atau DPD; Mendengarkan keterangan saksi; Mendengarkan keterangan ahli; Mendengarkan keterangan Pihak Terkait; Pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan, dan/atau peristiwa yang bersesuaian dengan alat-alat bukti lain yang dapat dijadikan petunjuk; Pemeriksaan alat-alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
POSISI PEMBENTUK UNDANG-UNDANG Pasal 54 UU Nomor 24 Tahun 2003: Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden. MK tidak mengadili pembentuk UU. Kedudukan pembentuk UU sebagai Pihak Terkait untuk memberikan keterangan (lisan maupun tertulis). Dapat diwakili oleh wakil atau pun kuasa dari lembaga negara tersebut. Presiden dapat memberikan kuasa subsitusi kepada Menteri Hukum dan HAM beserta para menteri, dan/atau pejabat setingkat menteri yang terkait dengan pokok perkara. DPR diwakili oleh Pimpinan DPR yang dapat memberi kuasa kepada pimpinan dan/atau anggota komisi yang membidangi hukum, komisi terkait dan/atau anggota DPR yang ditunjuk.
Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) a. RPH diikuti oleh seluruh hakim konstitusi dengan kuorum minimal tujuh orang hakim, Panitera, PP, dan petugas lain yang dibutuhkan; b. RPH dipimpin oleh Ketua, dalam hal Ketua berhalangan RPH dipimpin oleh Wakil Ketua, dalam hal Ketua dan Wakil berhalangan, RPH dipimpin oleh hakim yang tertua usianya; c. RPH bersifat tertutup; d. Agenda RPH: mendengar dan membahas laporan Panel; membahas perkembangan Sidang Panel/Pleno; membahas/mendiskusikan dan mengambil putusan; menunjuk drafter Putusan; membahas drafter Putusan yang disiapkan oleh Drafter; lain-lain agenda baik yang terkait perkara (justisial) maupun nonjustisial, seperti laporan Panitera, laporan Sekjen, dsb. e. Setiap RPH dibuat catatan oleh Panitera yang dibantu PP Perkara dalam buku catatan rapat dan/atau Berita Acara Rapat.
PIHAK TERKAIT (1) (Pasal 14 PMK Nomor 06/PMK/2005) Pihak terkait adalah pihak yang berkepentingan langsung atau tidak langsung dengan pokok permohonan. Pihak Terkait yang berkepentingan langsung adalah pihak yang hak dan/atau kewenangannya terpengaruh oleh pokok permohonan. Dapat diberikan hak-hak yang sama dengan Pemohon dalam persidangan dalam hal keterangan dan alat bukti yang diajukannya belum cukup terwakili dalam keterangan dan alat bukti yang diajukan oleh Presiden/Pemerintah, DPR, dan/atau DPD. Harus mengajukan permohonan kepada Mahkamah melalui Panitera. Apabila disetujui ditetapkan dengan Ketetapan Ketua Mahkamah. Apabila tidak disetujui, pemberitahuan tertulis disampaikan kepada yang bersangkutan oleh Panitera atas perintah Ketua Mahkamah Konstitusi. Salinan Ketetapan disampaikan kepada Pihak Terkait. Pemeriksaan dilakukan dengan mendengar keterangan yang berkaitan dengan pokok permohonan. [Pasal 23 ayat (1) PMK Nomor 06/PMK/2005] Diberikan kesempatan untuk: a. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis; b. mengajukan pertanyaan kepada ahli dan/atau saksi; c. mengajukan ahli dan/atau saksi sepanjang berkaitan dengan hal-hal yang dinilai belum terwajili dalam keterangan ahli dan/atau saksi yang telah didengar keterangannya dalam persidangan; d. menyampaikan kesimpulan akhir secara lisan dan/atau tertulis. [Pasal 23 ayat (2) PMK Nomor 06/PMK/2005]
PIHAK TERKAIT (2) Pihak Terkait yang berkepentingan tidak langsung: Pihak yang karena kedudukan, tugas pokok, dan fungsinya perlu didengar keterangan; atau Pihak yang perlu didengar keterangannya sebagai ad informandum, yaitu pihak yang hak dan/atau kewenangannya tidak secara langsung terpengaruh oleh pokok permohonan tetapi karena kepeduliannya yang tinggi terhadap permohonan dimaksud. [Pasal 14 ayat (4) PMK Nomor 06/PMK/2005]
CARA PENGAMBILAN KEPUTUSAN MK (Pasal 45 UU No. 24/2003) 1. Secara musyawarah untuk mufakat dalam sidang pleno hakim konstitusi yang dipimpin oleh ketua sidang. 2. Setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap permohonan. 3. Dalam hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi tidak menghasilkan putusan, musyawarah ditunda sampai musyawarah sidang pleno hakim konstitusi berikutnya. 4. Dalam hal musyawarah tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak. 5. Bila tidak dapat dicapai suara terbanyak, suara terakhir ketua sidang pleno hakim konstitusi menentukan.
PEMBUKTIAN Pembuktian dibebankan kepada Pemohon. Alat bukti ialah: (Pasal 18 ayat (1) PMK Nomor 06/PMK/2005) Alat bukti ialah: a. Surat atau tulisan; b. Keterangan saksi; c. Keterangan ahli; d. Keterangan para pihak; e. Petunjuk; dan f. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. (Pasal 36 ayat (1) UU MK)
ISI PUTUSAN Putusan harus memuat sekurang-kurangnya : a. kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”; b. identitas pemohon; c. ringkasan permohonon yang telah diperbaiki; d. Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan; e. Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan; f. Amar putusan; g. pendapat berbeda dari Hakim Konstitusi; dan i. hari dan tanggal putusan, nama dan tanda tangan Hakim Konstitusi, serta Panitera. (Pasal 48 ayat (2) UU MK dan Pasal 33 PMK Nomor 06/PMK/2005)
AMAR PUTUSAN (1) Pasal 56 Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dan Pasal 51, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan. Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam hal pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan. Dalam hal undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak. 21 21
AMAR PUTUSAN (2) Pasal 57 Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan. 22 22
Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Mahkamah Agung. Pasal 59 Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Mahkamah Agung. 23 23
Pasal 39 PMK Nomor 06/PMK/2005 Putusan mempunyai kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam Sidang Pleno yang terbuka untuk umum.
Pasal 58 Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 25 25
GAMBARAN UMUM PROSES BERACARA DI MAHKAMAH KONSTITUSI Ps. 29 ayat (2), Ps. 31 ayat (2) Ps. 32 ayat (1) Ps. 32 ayat (2) PENGAJUAN PERKARA 12 RANGKAP DISERTAI BUKTI PEMERIKSAAN SYARAT ADMINISTRASI BELUM LENGKAP DIBERITAHUKAN DILENGKAPI DLM 7 HARI KERJA Ps. 32 ayat (3) REGISTRASI BRPK TELAH LENGKAP PEMENUHAN KELENGKAPAN DALAM 7 HARI KERJA Ps. 32 ayat (2) Ps. 34 ayat (2) PENJADWALAN 14 HARI KERJA SETELAH REGISTRASI PEMBERITAHUAN KEPADA PEMOHON Ps. 34 ayat (1)
PERMOHONAN DAPAT DI TARIK KEMBALI SELAMA PROSES Ps. 34 ayat (2), Ps. 34 ayat (3) PENGUMUMAN KEPADA MASYARAKAT Ps. 35 ayat (1) PERMOHONAN DAPAT DI TARIK KEMBALI SELAMA PROSES Ps. 39 ayat (1) Ps. 39 ayat (2) TIDAK LENGKAP/JELAS DIBERITAHUKAN DILENGKAPI 14 HARI PEMERIKSAAN PENDAHULUAN KELENGKAPAN KEJELASAN PERMOHONAN PEMOHON MELENGKAPI ATAU MEMPERBAIKI DALAM 14 HARI TELAH LENGKAP DAN JELAS
RAPAT PLENO TERTUTUP RAPAT PLENO TERTUTUP PEMERIKSAAN PERBAIKAN DAN KELENGKAPAN PERMOHONAN RAPAT PLENO TERTUTUP LAPORAN DAN PEMBAHASAN TINDAK LANJUT PEMERIKSAAN PERSIDANGAN PLENO TERBUKA UMUM KEWENANGAN MK KEDUDUKAN HUKUM POKOK PERMOHONAN PEMBUKTIAN Ps. 13 ayat (1) PMK No. 06/PMK/2005 Ps. 45 ayat (5) RAPAT PLENO TERTUTUP PENGAMBILAN PUTUSAN Ps. 49 SIDANG TERBUKA UMUM PENGUCAPAN PUTUSAN PENYAMPAIAN SALINAN PUTUSAN KEPADA PIHAK Ps. 28 ayat (5), Ps. 47
PERMOHONAN PENGUJIAN KEMBALI (NEBIS IN IDEM) Pasal 60 UU No. 24 Tahun 2003 Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. Pasal 42 PMK No. 06/PMK/2005 (1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. (2) Terlepas dari ketentuan ayat (1) di atas, permohonan pengujian UU terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang sama dengan perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda. 29 29
Tanggung Jawab dan Akuntabilitas Pasal 14 UU 24/2003 Masyarakat mempunyai akses untuk mendapatkan putusan Mahkamah Konstitusi. Alamat website Mahkamah Konstitusi: www.mahkamahkonstitusi.go.id 30 30
UNDANG-UNDANG YANG DIBATALKAN SELURUHNYA UU No. 16 Th. 2003 tentang Penetapan Perpu No. 2 Th. 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No. 1 Th. 2002 tentang Pemberantasan tindak Pidana terorisme Pada Peristiwa Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002 menjadi UU UU No. 20 Th. 2002 tentang Ketenagalistrikan UU No. 27 Th. 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi UU No. 45 Th. 1999 tentang Pembentukan Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kebupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong UU No. 9 Th. 2009 tentang Badan Hukum Penndidikan
PUTUSAN MK DALAM PERKARA JUDICIAL REVIEW (1) Pengesampingan pasal sampai pembatalan pasal pembatasan Pengujian UU (004/PUU-I/2003 & 066/PUU-II/2004) Pemulihan Hak Politik Eks PKI (011-017/PUU-I/2003) KPUD tidak bertanggungjawab kepada DPRD (072-073/PUU-II/2004) Membuka Calon Perseorangan Pemilukada (072-073/PUU-II/2004 & 5/PUU-V/2007) “Konstitusional Bersayarat” Syarat Pejabat Publik tidak dipidana 5 Tahun (14-17/PUU-V/2007 & 15/PUU-VI/2008 & 4/PUU-VII/2009) Presidential Threshold adalah kebijakan hukum terbuka (51-52-59/PUU-VI/2008) Syarat Domisili Anggota DPD implisit dalam Konstitusi (10/PUU-VI/2008) Perlakukan berbeda atas Parpol yang tidakj memenuhi Electoral Threshold Diskriminatif (12/PUU-VI/2008)
PUTUSAN MK DALAM PERKARA JUDICIAL REVIEW (2) Calon Legislatif Terpilih berdasarkan Suara Terbanyak (22-24/PUU-VI/2008) Pengunduran Siri Sementara Peserta Pemilukada Incumbent (17/PUU-VI/2008) Tidak Masuk DPT, Pemilih Dapat Gunakan KTP dan Paspor (102/PUU-VII/2009) Tata Cara Penghitungan Suara Tahap Kedua Pemilu Legislatif (110-111-112-113/PUU-VII/2009) Peluang Anggota DPD menjadi Ketua MPR (117/PUU-VII/2009) Pengangkatan Panwaslu oleh Bawaslu (11/PUU-VIII/2010) Penggunaan Medote E-Voting Konstitutional (147/PUU-VII/2009) Pelanggaran yang dapat membatalkan Hasil Pemilu (75/PUU-VIII/2010) Syarat Mundur dari Parpol Bagi Anggota KPU dan DKPP (81/PUU-IX/2011)
PUTUSAN MK DALAM PERKARA JUDICIAL REVIEW (3) Semua Parpol harus Ikuti Verifikasi (15/PUU-IX/2011) Verifikasi Parpol paling lambat 2,5 th sebelum pemilu (35/PUU-IX/2011) Memperkuat Fungsi Legislasi DPD (92/PUU-X/2012) Bukan Pelanggaran HAM Berat, Pemberlakukan Surut UU Terorisme Bom Bali tidak dibenarkan (013/PUU-I/2003) Kompetisi dan Unbundling dalam Ketenagalistrikan Melanggar Hak Menguasai Negara (001-021-022/PUU-I/2003) Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc Berlaku Surut adalah Konstitusional (065/PUU-II/2004) Pemda juga Wajib Mengembangkan Jaminan Sosial (007/PUU-III/2005) Anggaran Pendidikan 20% tidak Boleh Ditunda-tunda (011/PUU-III/2005 & 26/PUU-IV/2006 & 24/PUU-V/2007 & 13/PUU-VI/2008) Posisi Negara terhadap Air dan Pemenuhan Hak Atas Air (058-059-060-063/PUU-II/2004 & 008/PUU-III/2005)
PUTUSAN MK DALAM PERKARA JUDICIAL REVIEW (4) Diskriminasi TKI Berdasar Tingkat Pendidikan (019-020/PUU-III/2005) PMH Materiil tidak memberikan perlindungan dan kepastian hukum (03/PUU-IV/2006) KY tidak berwenang mengawasi Hakim Konstitusi (005/PUU-IV/2006) Kompensasi dan Rehabilitasi tidak dapat digantungkan pada pemberian Amnesti (006/PUU-IV/2006) Standar Ganda Sistem Peradilan Tipikor (012-016-019/PUU-IV/2006) Pasal Penghinaan Presiden 134, 136 dan 137 KUHP menghambat Hak berpendapat dan Berekspresi (013/PUU-IV/2006 & 022/PUU-IV/2006) Pasal Kebencian terhadap Pemerintah 154 dan 155 KHUP bertentangan dengan Negara Indonesia Merdeka (6/PUU-V/2007) Pidana Mati Tidak Melanggar Hak Hidup dan Kewajiban Internasional (3/PUU-V/2007 & 2/PUU-V/2007) Pasal 160 KUHP menghasut di muka umum sebagai delik materiil (7/PUU-VII/2009)
PUTUSAN MK DALAM PERKARA JUDICIAL REVIEW (5) Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan (18/PUU-V/2007) Kemudahan Penanaman Modal tanpa Kontrol Negara Melanggar Hak Menguasai Negara (21-22/PUU-V/2007) Sensor Film hrs menjunjung tinggi Demokrasi & HAM (29/PUU-V/2007) Pemberhantian Pimpinan KPK secara tetap inkonstitusional (133/PUU-VII/2009) MK berwenang Menguji Perpu (138/PUU-VII/2009) UU Pornografi tidak melarang Pelaku Seni (10-17-23/PUU-VII/2009) UU BHP inkonstitusional (11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009) UU Pencegahan Penodaan Agama Tidak Membatasi Kebebasan Beragama (140/PUU-VII/2009) Masa Jabatan Jaksa Agung Konstitusional Bersyarat (49/PUU-VII/2010)
PUTUSAN MK DALAM PERKARA JUDICIAL REVIEW (6) Larangan Barang Cetakan melalui Due Process of Law (6, 13, 20/PUU-VIII/2010) Meluruskan Syarat Menyatakan Pendapat DPR (23-26/PUU-VIII/2010) Penyadapan hanya boleh diatur oleh UU (5/PUU-VIII/2010) Masa Jabatan Pimpinan KPK Pengganti sama 4 tahun (5/PUU-IX/2011) Bidan dan Perawat dapat bertindak dalam keadaan darurat (12/PUU-VIII/2010) Larangan Pemakaian Ombudsman inkonstitusional (62/PUU-VIII/2010) Pembatalan Delik Pidana UU Perkebunan (55/PUU-VIII/2010) Larangan Ultra Petita Inkonstitusional (48-49/PUU-IX/2011) Perlindungan Hak Pekerja Outsourcing (27/PUU-IX/2011) Anak di Luar Perkawinan punya Hubungan Keperdataan dengan ayahnya (46/PUU-VIII/2010)
PUTUSAN MK DALAM PERKARA JUDICIAL REVIEW (7) Putusan yang Melindungi Penambang Rakyat (25, 30, 32/PUU-VIII/2010) Wakil Menteri Bukan Jabatan Karir (79/PUU-IX/2011) Hak Pekerja daftarkan diri sebagai Peserta Program Jaminan Sosial (70/PUU-IX/2011 & 82/PUU-X/2012) Piutang Bank BUMN bukan Piutang Negara (77/PUU-IX/2011) Penyelidikan Kepala Daerah tidak perlu izin Presiden (73/PUU-IX/2011) BP Migas Inkonstitusional (36/PUU-X/2012) Putusan Pidana tanpa Perintah Penahanan Sah (69/PUU-X/2012) Kenaikan BBM Bersubsidi menyesuaikan Harga ICP (43, 45, 46/PUU-X/2012 & 42 dan 58/PUU-X/2012) Alokasi APBN Korban Lapindo bentuk tanggungjawab negara (53/PUU-X/2012)
PUTUSAN MK DALAM PERKARA JUDICIAL REVIEW (8) RSBI bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional (5/PUU-X/2012) Terlambat Pencatatan kelahiran tidak perlu penetapan Pengadilan (18/PUU-XI/2013) Hutan Adat bukan Hutan Negara (35/PUU-X/2012)
SEKIAN DAN TERIMA KASIH