HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA MOH. SALEH FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NAROTAMA 2012
SISTEM HUKUM DUNIA 1. Civil Law System 2. Common Law System 3. Sistem Hukum Adat 4. Sistem Hukum Islam 5. Sistem Hukum Komunis atau Sosialis
SISTEM HUKUM YANG BERLAKU DI INDONESIA 1. Sistem Hukum Adat 2. Sistem Hukum Islam 3. Sistem Hukum Barat RUANG LINGKUP PEMBAHASAN a. Hukum Adat, Hukum Islam & Hukum Barat b. Hubungan Hukum Islam dg Hukum Adat c. Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia d. Hk Islam dan Pembinaan Hukum Nasional e. Peradilan Agama f. Kompilasi Hukum Islam
PERBEDAAN (Prof. Mohammad Koesnoe) HUKUM ADAT HUKUM ISLAM HUKUM BARAT KEADAAN Teori Resepsi 1929 Masuknya Islam ke Nusantara 7 M. Kedatangan VOC & Belanda BENTUK Tidak Tertulis Tertulis TUJUAN aman, tentram, dan sejahtera perintah dan larangan Allah Kepastian & Keadilan SUMBER Pergaulan hk Alquran & Sunnah Per-UU-an STRUKTUR nan sabana dan Pusaka Alquran, hadist dan Ar Ro’yu Stufenbau theory LINGKUP MASALAH Antar manusia Antar manusia & terhadap Allah PEMBIDANGAN - Ibadah & muamalat Privat & publik HAK DAN KEWAJIBAN Kewajiban didahulukan Hak didahulukan NORMA ATAU KAIDAH HK Al ahkam Al khomsah Impere, prohibere, permittere
HUBUNGAN HUKUM ADAT DENGAN HUKUM ISLAM 1. Menurut Pribumi : Berkaitan erat dan topang menopang a. Aceh : “Hukum ngon adat hantom cre’, lagee’ zat ngon sipeut “ (hukum Islam dengan hukum adat tidak dapat dicerai pisahkan karena erat sekali hubungannya seperti hubungan zat dengan sifat sesuatu barang atau benda) b. Minangkabau : “adat dan syara’ sanda menyanda, syara’ mengato adat memakai” (hukum adat dengan syara’ saling topang-menopang, karena adat adalah syara’ itu sendiri) c. Sulawesi Selatan : “Adat hula-hulaa to syaraa, syaraa hula- hulaa adat” (Adat bersendikan syara’, syara’ bersendikan Alquran)
2. Menurut Belanda : Hukum Adat dan Hukum Islam Bertentangan a. Dikonstruksikan dalam pertentangan antara hukum perkawinan dan kewarisan. b. Betrand ter Haar : tidak mungkin bersatu apalagi keberja sama karena hukum adat bertitik tolak dari kenyataan hukum dalam masyarakat dan hukum Islam bertiti tolak dari kitab2 hukum.
Ahli Hukum Balanda Lodewijk Willem Christian van den Berg (1845-1927) menyatakan tentang teori receptio in complexu, bahwa orang Indonesia telah telah meresepsi hukum Islam dalam keseluruhannya dan sebagai satu kesatuan. Christian Snouck Hurgronje (1857-1936) Penasehat Pemerintah Hindia Belanda Urusan Islam dan Bumiputera, menentang teori teceptio in complexu. Berdasarkan penyelidikannya di Aceh menyatakan bahwa yang berlaku bagi orang Islam itu bukan hukum Islamtetapi hukum adat. Ke dalam hukum adat memang telah masuk hukum Islam, tetapi pengaruh itu baru berkekuatan hukum kalau telah benar-benar diterima oleh hukum adat. Penndapat ini kemudian dikenal dengan receptie theorie (dikukuhkan melalui Indische staadsregeling (IS) 1929 sebagai UUD Hindia Belanda)
Prof. Hazairin (1905-1975) ahli hukum adat dan Islam dari FH UI menolak receptie theorie melalui receptio a contrario. Beliau menyatakan bahwa hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan Hukum Islam. Pendapat Prof. Hazairin ini sesuai dengan kaidah fiqih yaitu “Al ‘Adatu Muhakkamatun”.
KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DALAM TATA HUKUM INDONESIA Sistem hukum di Indonesia majemuk, terdiri dari hukum adat, hukum Islam dan hukum barat. Hukum adat sudah lamu berlaku dan baru dikenal pada permulaan abad ke-20. Hukum Islam masuk Nusantara pada 7 M. daerah yang pertama didatangi adalah pesisir utara pulau sumatera di Peureulak Aceh Timur dan kerajaan Islam pertama di Samudera Pasai, Aceh Utara (Sultan Malik Al Zahir : Ahli Hukum Islam Syafi’iyah) Hukum barat diperkenalkan oleh VOC (vereenigde Oost Indische Compagnie) sejak menerima kekuasaan untuk berdagang dan sebagai badan pemerintahan di kepulauan Indonesia dari pemerintah belanda sejak 1602-1800.
Pada masa Pemerintahan VOC, hukum Islam tetap dipergunakan dalam penyelesaikan sengketa perkawinan dan kewarisan melalui peradilan yang dibentuknya. Waktu pemerintahan VOC berakhir (1800) dan Belanda mulai menguasai sungguh-sungguh kepulauan Indonesia, sikap terhadap hukum Islam mulai berubah, meskipun secara berangsung-angsur. Di zaman Daendels (1808-1811) sikap tehadap hukum masih belum berubah. Begitupun juga waktu Inggris menguasai Indonesia (1811-1816) melalui Thomas S. Raffles sebagai Gubernur Jenderal. Setelah Indoensia dikembalikan ke Belanda lagi berdasarkan Konvensi London 13 Agustus 1418, Belanda kemudian membuat kebijakan mengenai susunan pengadilan, pertanian dan perdagangan dalam daerah jajahannya.
Karena pengaruh receptie theorie, maka pada tahun 1922 Pemerintah Belanda membentuk Komisi untuk meninjau kembali wewenang priesterraad atau Raad Agama yang dibentuk di Jawa dan Madura melalui S. 1882 No. 152 yang secara resmi berwenang mengadili perkara perkawinan dan kewarisan. Maka melalui Pasal 2a ayat (1) S. 1937 No. 116 wewenang mengadili terhadap perkara kewarisan dicabut dengan alasan hukum waris Islam tidak diterima sepenuhnya hukum adat. Wewenang mengadili terhadap perkara kewarisan kemudian menjadi wewenang Landraad. Akan tetapi masyarakat masih banyak yang mengajukan perkara kewarisan kepada Raad Agama. Dari penelitian Ny. Habibah Daud di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya bahwa pada tahun 1976 dari 1081, terdapat 47 (4,35%) yang mengajukan ke Landraad, dan 1034 (96,65%) orang mengajukan ke Pengadilan Agama untuk dimintakan Fatwa Waris (baik untuk pembagian waris maupun karena sengketa).
Kesimpulan……… Hukum Islam dapat berlaku langsung tanpa melalui hukum adat; Hukum Islam berlaku bagi pemeluk agama Islam; Hukum Islam menjadi sumber pembentukan hukum nasional, di samping hukum adat dan hukum barat; dan Kedudukan hukum Islam dalam tata hukum Indonesia adalah sejerajat dengan hukum adat dan hukum barat.
HUKUM ISLAM DAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL Hukum Islam menjadi bahan baku bagi pembentukan hukum nasional (Ali Said, Mantan Ketua MA dalam Simposium di Yogyakarta 1981). Mantan Menteri Kehakiman Ismail Saleh menyatakan dalam Harian Kompas pada 1989 : Bahwa terdapat tiga dimensi pembangunan hukum nasional, yaitu dimensi pemeliharaan, dimensi pembaharuan, dan dimensi penciptaan. Dalam merencanakan pembangunan hukum nasional harus menggunakan tri tunggal wawasan nusantara, yaitu wawasan kebangsaan, wawasan nusantara, dan wawasan bhinneka tunggal ika.
Menurut politik hukum nasional yang dilakukan oleh Tim Pengkajian Hukum Islam Badan Pembinaan Hukum Nasional (BHPN), bahwa norma-norma hukum Islam baru dapat ditranspormasikan ke dalam hukum nasional apabila dapat menampung seluruh kebutuhan seluruh lapisan rakyat Indonesia. Ketentuan ini juga berlaku terhadap hukum adat dan hukum barat.