TITIS RASARI NIM: Sejarah Metafisika Barat Sejarah metafisika selalu dipenuhi dengan impian dan nostalgia akan kebenaran, akan logos yang ilahiyah dan transenden yang memenuhi benak para filosof yang berpikir bahwa kebenaran itu berada diluar diri manusia dan merupakan sesuatu yang obyektif. Bagaimana manusia memperoleh kebenaran, itulah yang dipersoalkan oleh filsafat. Tradisi Platonik menyatakan bahwa kebenaran transenden bereksistensi diluar bahasa dan dipahami secara vertikal, yakni dalam hubunghannya dengan yang ilahi atau realitas suci. Karena penekanannya pada aspek spiritual dan adiindrawi, maka Platonisme memahami kebenaran sebagai kenyataan ekstralinguistik yang mandiri dari manusia
Inilah bentuk awal logosentrisme yang berabad-abad kemudian menjajah alam pikiran barat dan membentuk suatu sistem metafisik yang berbasis pada “kehadiran” atau logos. Hegel mengidentikkan logos itu dengan roh absolud, yang dikonsepsikan sebagai kesadaran mengelani dirinya. Pengetahuan manusia diibaratkan Hegel sebagai perjalanan panjang menuju roh absolud, yang merupakan satu-satunya pengetahuan manusia yang bentuknya paling sempurna. Manusia memahami dirinya sebagai subyek dengan melakukan dialektika dengan sejarah, hingga akhirnya mencapai kesempurnaan yang berpuncak pada kesadaran diri yang menyeluruh. 2S lid e 2S lid e
Wujud logosentrisme Barat Narasi “referensi diri” semacam ini sudah ditolak oleh posmodernisme karena terbukti sistem metafisik yang demikian mewariskan filsafat yang totaliter, yang menotalkan segalanya kedalam suatu sistem tunggal. Logosentrisme merupakan “kekerasan metafisik” terhadap yang lain. Logosentrisme serupa juga menimpa filsafat pasca-Hegelian yang mengganti roh absolud dengan konsep yang diandaikan sebagai “pusat” atau origin dari segala sesuatu
Alehteia (penyingkapan sang Ada dalam pemikiran Heidegger), eidos (esensi atau struktur eidetik kesadaran dalam pemikiran Husserl), phone (tuturan, wicara,bunyi dalam linguistik Sausurean), arche, telos, energia (dalam konsepsi Aristotelian), Tuhan, diri, manusia, transendentalitas, kesadaran (consciousness) kesadaran-diri (conscience) – semua ini adalah berbagai wujud dari logosentrisme dalam metafisika barat. Akar dari kecenderungan totalisasi dalam filsafat dapat dapat ditelusuri dari dominannya cara berpikir logosentrisme dalam melihat kebenaran. Pertama-tama filsafat biasa mereduksi berbagai persoalan kedalam satu rumusan universal yang terima secara apriori
Ketika sebuah prinsi atau aksioma filosofis ditetapkan, maka kebenarannya dianggap berlaku secara universal. Keyakinan pada adanya rasionalitas dalam pemikiran Descartes, atau pengetahuan tunggal yang merupakan puncak tertinggi dari kesadaran historis manausia pada Hegel, mencerminkan hasrat filsafat untuk menguniversalkan segala bentuk partikularitas. Yang universal selanjutnya dipercayai sebagai kebenaran obyektif. Obyektivitasnya tidak terkait dengan subyektivitas individu maupun berbagai perubahan yang terjadi dalam sejarah. Kebenarannya terbebas dari kontingensi karena sifatnya yang absolut dan transenden diluar pengalaman yang partikular. 5 Sl id e 5 Sl id e
Penyeragaman dan Penunggalan Filsafat kemudian menciptakan kategori-kategori atas berbagai fenomena, mencari kesatuan makna dari berbagai hal yang beragam (craving for genarality), dan melakukan penunggalan atas kemajemukan (craving for unity). Segala hal yang berbeda dari kategori tersebut direduksi dan dicari titik-titik kesamaannya sehingga bisa dihasilkan sebuah metonimi yang padu dan baku. Dengan melakukan hal ini, filsafat sebenarnya telah mereduksi the other dalam economy of the same dan menyeragamkan perbedaan ke dalam suatu sistem homogin
Pandangan Jaqcues Derrida Bahwa kategori yang disusun filsafat berada dalam lingkup bahasa yang memuat berbagai struktur penandaan. Jika filsafat ingin menyusun rumusan universal, maka sebenarnya tak bisa mengelak dari perbedaan-perbedaan yang dibentuk oleh struktur tanda yang implisit dalam bahasa. Maka, usaha untuk membuat satu sistem pemikiran yang koheren akan selalu terbentur dengan aspek differensial bahasa. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan adalah “kodrat” dari setiap ketegori atau sistem pemikiran apapun; terbentuknya berbagai macam kategori dalam filsafat juga diakibatkan oleh perbedaan-perbedaan yang melekat dalam bahasa
Dalam kehidupan sehari-hari perbedaan tidak selalu mengisyaratkan hierarki (misal, warna hitam lebih unggul daripada putih) atau oposisi (hitam meniadakan putih), karena salalu ada ketegori ketiga yang memungkinkan kedua ketegori tersebut tetap seperti sediakala. Sayang filsafat terlanjur melupakan kemungkinan- kemungkinan semacam ini. Metafisika telah membebani filsafat untuk merengkuh kebenaran dalam totalitasnya dengan menepikan perbedaan-perbedaan yang implisit dalam totalitas itu. Pada hal totalitas tanpa perbedaan hanyalah ilusi. Kebenaran tidak bisa ditemukan diluar sistem defferensial yang membentuk bahasa; kebenaran tidak tampil dalam ruang hampa, melainkan terrajut dari relasi-relasi yang rumit yang sambung menyambung dalam tubuh bahasa. 8Sl ide 8Sl ide
The Father of Logos Dalam sejarah pengetahuan manusia, tulisan barangkali bisa dianggap sebagai institusi yang diperlawankan secara diametris dengan logos.Tulisan adalah metafor tentang intertekstualitas, tentang kebenaran –dalam- proses yang jalin menjalin dan bertaut dengan “yang lain”, yang beda. Sementara, logos melambangkan penunggalan atas yang beda dan yang jamak kedalam satu sistem kebenaran yang dipandang sebagai arkhe (archia), sumber, asal-usul, dan telos dari hidup – kebenaran metafisik yang mengandalkan pusat yang tak goyah dan berdiri menjulang di seberang sana. Ketakutan akan keberadaan tulisan adalah ketakutan akan kebenaran yang tak lagi stabil; kebenaran yang menyebar dan tak tertaklukkan oleh kekuasaan logos. 9 T h e F at h er of L o g o s T h e F at h er of L o g o s
Ketakutan itu mengeras dalam bentuk menolak segala bentuk ikhtiar menghadirkan kebenaran –sebagai- proses, melainkan juga upaya mengontrol kembali kendali kebenaran yang lepas (dari kebenaran tunggal) akibat menerima keberagaman atau perbedaan dalam kebenaran. Derrida menyebutnya sebagai differance yang mengatasi oposisi biner antara kejahatan versus kebaikan, absensi versus kehadiran dalam dunia teks