banyak industri masih terseok-seok, dengan laju pertumbuhan yang rendah, daya saing yang rendah, dan pangsa pasar yang menurun. Selama , rata-rata per tahun pertumbuhan ekonomi mencapai 5,7%, inflasi 10%, bunga SBI 9,9%, dan kurs Rp9.343/US$. Pasar modal pun diwarnai oleh rekor-rekor baru indeks harga saham gabungan (IHSG) dan surat utang negara (SUN), yang terus diminati investor domestik dan pemodal asing. Obligasi Republik Indonesia (ORI) selalu terserap oleh investor perseorangan dengan nilai yang melebihi target.
Bersama pakar batik seperti Iwan Tirta, Pemerintah telah membuat dokumentasi motif batik asli Indonesia. Iwan Tirta, salah satu pengusaha batik kelas internasional, mengatakan, ajang Temu Usaha Terpadu harus dilaksanakan setahun dua kali sekali sebagai ajang untuk saling bertukar informasi antar pelaku industri baik dengan harapan akan saling memperkuat kualitas produksi baik dari segi motif maupun beragam jenis produksinya
BERBICARA mengenai batik Pekalongan, orang awam tentu tidak akan bisa membedakan, apakah batik itu dari Kabupaten Pekalongan atau Kota Pekalongan. Dua daerah itu dalam masalah batik menyatu dan tidak bisa dipisahkan antara satu dan lainnya. Dengan demikian, nama batik Pekalongan secara otomatis bisa dari Kota atau Kabupaten Pekalongan. Produknya pun tidak dimungkiri lagi sudah merajalela di berbagai kota besar di Indonesia. Coba cek di Jakarta, Bali,
sistem manajemen dalam usaha batik, juga masih tradisional. Karena itu, saat ini Pekalongan perlu didirikan Balai Latihan Batik dalam upaya mendidik perajin untuk bisa bekerja secara profesional. Adapun jumlah perajin dan pengusaha batik, khususnya di Kota Pekalongan, menurut Kabag Humas Suharto BBA, tercatat orang yang tersebar di Kecamatan Pekalongan Barat, Pekalongan Timur, dan Pekalongan Selatan. Dari pengusaha itu, mampu menyerap tenaga kerja orang atau 75% dari orang dari jumlah pekerja di Kota Pekalongan.(34t)
Batik Nasional Di Era Kekinian Bagaimana kondisi eksisting industri batik nasional di era masa kini? Secara kuantitatif barangkali dapat dikatakan bahwa grafik pertumbuhan industri perbatikan dilihat dari segala segi berada pada angka yang cukup menggembirakan. Setidaknya hal ini diindikasikan melalui beberapa aspek, antara lain adalah; peningkatan jumlah produksi batik sejalan dengan meningkatnya permintaan pasar, diversifikasi produk yang semakin beragam, peningkatan jumlah pengusaha/perajin dan pengguna produk batik atau konsumen yang semakin meluas
Seandainya benar sinyalemen itu terjadi, berarti terdapat sindrome negatif dalam fenomena perbatikan nasional saat ini. Oleh sebab itu gejala ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena akan mengancam kematian industri perbatikan Indonesia di masa mendatang. Apalagi di tengah ketatnya kompetisi global yang semakin terbuka. Malaysia bahkan telah mencanangkan program kembali ke batik pada tahun Serangkaian itu Malaysia telah mulai gencar mempromosikan batiknya ke sejumlah negara termasuk Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat. Padahal menurut Sulaiman Abdul Ghani, Ketua Batik International Research and Design Acces University of Technology MARA Malaysia, Malaysia baru mengenal batik pada tahun 1920-an khususnya di daerah Trenggano dan Kelantan yang sebenarnya bersumber dari Indonesia, terutama daerah Cirebon dan Pekalongan. Kemudian dijadikan industri pada tahun 1950-an, dan sejak tahun 1960-an baru ada identitas Malaysia-nya. Ironisnya lagi bahwa Malaysia baru mengenal canting pada tahun 1970-an. Memasuki tahun 1985 batik Malaysia terpuruk karena tidak ada inovasi desain dan pewarnaan. Namun kini mereka telah bangkit kembali, bahkan telah mulai ekspansi ke berbagai benua,
tantangan yang dihadapi industri batik itu antara lain mengenai sumber daya manusia (SDM), di mana generasi pembatik umumnya sudah berusia relatif lanjut, sehingga perlu upaya khusus untuk menggugah minat kalangan muda untuk terjun ke usaha batik.
Menyinggung masalah hak kekayaan intelektual (HKI), ia mengatakan mengenai motif-motif batik tradisional, belakangan ini banyak ditiru oleh para perajin dari negara- negara lain, kondisi tersebut terjadi karena usaha perlindungan HKI di negara ini belum maksimal. Dalam kaitan tersebut, sesungguhnya kegiatan dokumentasi motif batik sudah banyak dilakukan oleh masyarakat, bahkan Departemen Perindustrian telah mendokumentasi sebanyak motif batik dan tenun tradisional dalam bentuk CD (Compact Disc). Selain itu, katanya, juga telah memfasilitasi pendaftaran hak cipta motif batik dan tenun tradisional dari berbagai daerah melalui program Prona (Program Nasional) sebanyak 1000 motif.
menyebutkan, untuk saat ini jumlah industri batik mencapai unit usaha dengan menyerap tenaga kerja orang, dengan nilai produksi Rp2,9 triliun dan nilai ekspornya 402,5 juta dolar AS.
perlindungan khusus dari pemerintah untuk produksi batik memang tidak perlu jika para perajin dan produsen batik dalam negeri sudah melindungi desain dan profesional dalam mengenalkan batik pada konsumen. "Pengusaha batik Indonesia diharapkan lebih kreatif alam menciptakan desain dan produk berkualitas,"
Di samping memposisikan sebagai produk berkualitas tinggi, industri kita perlu melakukan penajaman diferensiasi produk. Diferensiasi yang didukung strategi pemasaran dan penjualan terpadu akan dapat meraih pasar ekspor yang jelas. Dan diharapkan industri Indonesia akan dapat membangun merek yang kuat. Dengan memperkuat ekuitas merek, industri Indonesia akan mampu keluar dari perangkap komoditas. Merek memungkinkan produk terbebas dari aturan dasar kurva permintaan dan penawaran. Kita pasti telah mengetahui bahwa harga yang terbentuk dari adanya keseimbangan antara penawaran dan permintaan. Namun dengan kekuatan merek, kita bisa terbebas dari hukum tersebut. Dan kita bisa mematok harga mengikuti kemampuan nilai yang kita tawarkan (perceived value) ke pelanggan.
Di samping memposisikan sebagai produk berkualitas tinggi, industri kita perlu melakukan penajaman diferensiasi produk. Diferensiasi yang didukung strategi pemasaran dan penjualan terpadu akan dapat meraih pasar ekspor yang jelas. Dan diharapkan industri Indonesia akan dapat membangun merek yang kuat. Dengan memperkuat ekuitas merek, industri Indonesia akan mampu keluar dari perangkap komoditas. Merek memungkinkan produk terbebas dari aturan dasar kurva permintaan dan penawaran. Kita pasti telah mengetahui bahwa harga yang terbentuk dari adanya keseimbangan antara penawaran dan permintaan. Namun dengan kekuatan merek, kita bisa terbebas dari hukum tersebut. Dan kita bisa mematok harga mengikuti kemampuan nilai yang kita tawarkan (perceived value) ke pelanggan.