BAB VIII PERATURAN TELEKOMUNIKASI DAN INFORMASI DI INDONESIA
A. Pendahuluan Teknologi Informasi adalah suatu teknologi yang digunakan untuk mengolah data, termasuk memproses, mendapatkan, menyusun, menyimpan, memanipulasi data dalam berbagai cara untuk menghasilkan informasi yang berkualitas, yaitu informasi yang relevan, akurat dan tepat waktu, yang digunakan untuk keperluan pribadi, bisnis, dan pemerintahan dan merupakan informasi yang strategis untuk pengambilan keputusan. Teknologi ini menggunakan seperangkat komputer untuk mengolah data, sistem jaringan untuk menghubungkan satu komputer dengan komputer yang lainnya sesuai dengan kebutuhan, dan teknologi telekomunikasi digunakan agar data dapat disebar dan diakses secara global.
Teknologi informasi (information, communication and technology/ICT) adalah alat bantu untuk meningkatkan aneka kegiatan manusia. Dalam perkembangannya, ICT kini telah menjadi kebutuhan utama masyarakat khususnya mereka yang berada di kota besar. Implikasi dari sebuah fenomena tentunya tidak selalu bermanfaat bagi penggunanya, namun juga menimbulkan dampak negatif. Demikian juga dengan ICT.
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi di Indonesia harus diimbangi dengan kesiapan infrastruktur strategis untuk meminimalisir dampak negatif. Antara lain sektor peraturan (policy/regulation), kesiapan lembaga (institution) dan kesiapan sumber daya manusia (people), khususnya di bidang pengamanan. Sehingga teknologi informasi dapat mendukung peningkatan produktifitas masyarakat di semua sektor secara tepat guna dan aman sehingga mencapai kualitas hidup yang lebih baik lagi.
B. Tujuan Perkembangan Teknologi Tujuan Perkembangan teknologi informasi dapat meningkatkan kinerja dan memungkinkan berbagai kegiatan dapat dilaksanakan dengan cepat, tepat dan akurat, sehingga akhirnya akan meningkatkan produktivitas. Perkembangan teknologi informasi memperlihatkan bermunculannya berbagai jenis kegiatan yang berbasis pada teknologi ini, seperti e- government, e- commerce, e-education, e- medicine, e-e-laboratory, dan lainnya, yang kesemuanya itu berbasiskan elektronika.
C. Peraturan Perundangan di Indonesia Menurut PP No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, internet dimasukan ke dalam jenis jasa multimedia, yang didefinisikan sebagai penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang menawarkan layanan berbasis teknologi informasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaturan mengenai internet termasuk di dalam rejim hukum telekomunikasi.
Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang baru mulai berlaku tanggal 8 September 2000, mengatur beberapa hal yang berkenaan dengan kerahasiaan informasi, antara lain Pasal 22 yang menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi (a) akses ke jaringan telekomunikasi; dan atau (b) akses ke jasa telekomunikasi; dan atau (c) akses ke jaringan telekomunikasi khusus. Bagi pelanggar ketentuan tersebut diancam pidana penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda maksimal Rp. 600 juta.
Kemudian Pasal 40 menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun. Bagi yang melanggar ketentuan tersebut diancam pidana penjara maksimal 15 tahun penjara. UU Telekomunikasi juga mengatur kewajiban penyelenggara jasa telekomunikasi untuk merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakannya (Pasal 42 ayat 1). Bagi penyelenggara yang melanggar kewajiban tersebut diancam pidana penjara maksimal 2 tahun dan/atau denda maksimal Rp. 200 juta. Kemudian Pasal 40 menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun. Bagi yang melanggar ketentuan tersebut diancam pidana penjara maksimal 15 tahun penjara. UU Telekomunikasi juga mengatur kewajiban penyelenggara jasa telekomunikasi untuk merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakannya (Pasal 42 ayat 1). Bagi penyelenggara yang melanggar kewajiban tersebut diancam pidana penjara maksimal 2 tahun dan/atau denda maksimal Rp. 200 juta.
D. Masalah Penegakan Hukum Melihat secara cermat ketentuan-ketentuan dalam UU Telekomunikasi tersebut, ada beberapa permasalahan yang dapat dikemukakan : 1.Mengapa untuk kepentingan proses peradilan pidana, suatu informasi di jaringan telekomunikasi dapat direkam atau diperiksa hanya atas permintaan tertulis dari Jaksa Agung, Kepala Kepolisian RI atau penyidik yang diamanatkan suatu undang-undang tertentu? Padahal menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada pasal 47 ayat 1 ditegaskan bahwa untuk membuka, memeriksa dan menyita surat yang dikirim melalui kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, seorang penyidik harus mendapat izin khusus yang diberikan untuk itu dari ketua pengadilan negeri, jika benda tersebut dicurigai dengan alasan yang kuat mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa. Melihat secara cermat ketentuan-ketentuan dalam UU Telekomunikasi tersebut, ada beberapa permasalahan yang dapat dikemukakan : 1.Mengapa untuk kepentingan proses peradilan pidana, suatu informasi di jaringan telekomunikasi dapat direkam atau diperiksa hanya atas permintaan tertulis dari Jaksa Agung, Kepala Kepolisian RI atau penyidik yang diamanatkan suatu undang-undang tertentu? Padahal menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada pasal 47 ayat 1 ditegaskan bahwa untuk membuka, memeriksa dan menyita surat yang dikirim melalui kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, seorang penyidik harus mendapat izin khusus yang diberikan untuk itu dari ketua pengadilan negeri, jika benda tersebut dicurigai dengan alasan yang kuat mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.
Ketimpangan yang terlihat di atas jelas harus mendapat perhatian serius, sebab bagaimanapun juga Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI, termasuk dalam hal ini penyidik yang berstatus pegawai negeri, adalah “bagian” dari eksekutif/pemerintah. Tidak menutup kemungkinan kewenangan dari UU Telekomunikasi tersebut dapat dengan mudah disalahgunakan pemerintah untuk “memata-matai” lawan-lawan politiknya.
2. Apakah rekaman informasi dari internet dapat dikategorikan sebagai alat bukti di pengadilan? Internet sebagai suatu media elektronik multirupa dapat berisi tulisan, gambar dan suara dalam satu tampilan sekaligus, sedangkan alat bukti yang sah menurut KUHAP adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Hal ini perlu mendapat perhatian, jangan sampai tindakan yang melanggar privacy tersebut tidak berarti apa-apa pada saat dibawa ke pengadilan.
3. Bagaimana jika pelanggaran kerahasiaan informasi milik orang Indonesia dilakukan dari luar wilayah Indonesia? Di internet, sebagai suatu jaringan lintas batas negara, sangat terbuka peluang terjadinya hal tersebut.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur keberlakuan ketentuan hukum pidana Indonesia terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun warga asing di luar wilayah Indonesia. Sayangnya pengaturan tersebut sangat terbatas, sebagaimana diatur pada Pasal 4 KUHP yang menyatakan bahwa ketentuan- ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi siapa saja, yang di luar wilayah Indonesia telah melakukan: (1) kejahatan terhadap keamanan negara RI, seperti misalnya pemberontakan, makar, usaha membunuh Kepala Negara, menghina ataupun menyerang secara fisik Kepala Negara; (2) pemalsuan mata uang Indonesia, atau pemalsuan segel atau merk yang dikeluarkan pemerintah Indonesia; dan (3) pemalsuan surat-surat utang atas beban Indonesia atau daerahnya. Pasal 8 KUHP memperluas ketentuan tersebut sampai mengenai kejahatan pelayaran, yang termuat dalam titel XXIX Buku II KUHP, dan pelanggaran pelayaran, yang termuat dalam titel IX Buku III KUHP.
UU Telekomunikasi sendiri tidak mengatur secara khusus mengenai pelanggaran kerahasiaan informasi yang dilakukan dari luar wilayah Indonesia. Undang-Undang No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi pun tidak memasukkan tindak pidana di bidang telekomunikasi, khususnya pelanggaran terhadap kerahasian informasi, sebagai salah satu kejahatan yang pelakunya dapat diekstradisikan. Begitu pula dalam beberapa perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan negara lain, tindak pidana tersebut juga tidak dimasukkan dalam daftar kejahatan yang pelakunya dapat diekstradisikan. Padahal bocornya suatu informasi yang dirahasiakan bukan mustahil akan menimbulkan kerugian besar, baik dari segi moril maupun materil.
4. Apakah aparat kepolisian dan penyidik yang dimaksud oleh UU memiliki keahlian dan sarana yang memadai untuk menangani pelanggaran kerahasiaan informasi di internet? Kepolisian RI memang telah memiliki suatu seksi khusus untuk menangani kejahatan yang berkaitan dengan penggunaan komputer, yaitu Forensik Komputer ( namun apakah seksi khusus tersebut juga dipersiapkan untuk menangani kejahatan di internet (cybercrime), mengingat persoalan yang dihadapi tidak sesederhana penanganan kejahatan komputer biasa. 4. Apakah aparat kepolisian dan penyidik yang dimaksud oleh UU memiliki keahlian dan sarana yang memadai untuk menangani pelanggaran kerahasiaan informasi di internet? Kepolisian RI memang telah memiliki suatu seksi khusus untuk menangani kejahatan yang berkaitan dengan penggunaan komputer, yaitu Forensik Komputer ( namun apakah seksi khusus tersebut juga dipersiapkan untuk menangani kejahatan di internet (cybercrime), mengingat persoalan yang dihadapi tidak sesederhana penanganan kejahatan komputer biasa.