Kelompok 10 Motivasi Belajar dan Mengajarkan al-Qur’an Oleh : Diah Lestari Latifa Mutmainnah Pupu
Pertanyaan Awal: Apa hakikat mempelajari dan mengajarkan al-Qur’an? Mengapa setiap Muslim harus memiliki motivasi yang kuat dalam belajar dan mengajarkan al-Qur’an dan ilmu? Bagaimana kita harus menumbuhkan motivasi dalam belajar dan mengajarkan al-Qur’an dan ilmu? Apa perumpamaan yang membaca al-Qur’an dengan yang tidak membaca al-Qur’an? Nilai-nilai edukatif apakah yang bisa diperoleh dari membaca al-Qur’an? Apa saja mempengaruhi motivasi belajar dan mengajar al-Qur’an dan ilmu dalam lingkungan rumah tangga dan lingkungan sosial (masyarakat)?
Hadits ke-1 عن أبي موسى الأشعري عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: مثل (المؤمن) الذي يقرأ كالأترجة، طعمها طيب وريحها طيب، والذي لا يقرأ القرآن كالتمرة، طعمها طيب، ولا ريح لها، ومثل الفاجر –وفي رواية المنافق– الذي يقرأ القرآن كمثل الريحانة، ريحها طيب وطعمها مر، ومثل الفاجر –وفي رواية: النافق– الذي لا يقرأ القرآن كمثل الحنظلة، طعمها مر ولا ريح لها (أخرجه البخاري ومسلم وأبو داود والترمذي والنسائي) Artinya: “Dari Abi Musa al-Asy’ari dari Nabi Saw bersabda: Perumpamaan mukmin yang membaca al-Qur’an itu seperti buah utrujjah, rasanya enak, baumnya harum. Perumpamaan mukmin yang tidak membaca al-Qur’an itu seperti buah kurma, rasanya manis, tetapi tidak beraroma. Sedangkan perumpamaan orang munafik yang membaca al-Qur’an itu ibarat buah raihanah, baunya harum tetapi rasanya pahit. Dan perumpamaan orang munafik yang tidak membaca al-Qur’an itu ibarat buah handholah, rasanya pahit dan baunya tidak harum. (HR. al-Bukhari Muslim, Abu Daud, al-Turmudzi, dan al-Nasai)
Penjelasan hadits ke-1 Hadits pertama menunjukkan bahwa ada empat golongan manusia yang berinteraksi dengan al-Qur’an. Dua golongan mukmin, dan dua golongan lainnya munafiq. Salah satu bentuk interaksi dengan al-Qur’an adalah membacanya. Golongan pertama adalah mukmin yang membaca al-Qur’an yang dilandasi oleh iman. Ia tidak sekedar membaca, tetapi juga mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Mukmin seperti ini diibaratkan seperti buah utrujjah; manis rasanya dan harum aromanya. Golongan kedua adalah mukmin yang tidak membaca al-Qur’an. Mukmin yang demikian itu cenderung mangamalkan al-Qur’an meskipun tidak membaca al-Qur’an. Mukmin yang demikian diibaratkan seperti buah kurma; manis rasanya tetapi tidak beraroma. Penampilannya baik tetapi tidak memberi manfaat bagi orang lain.
Lanjutan… Golongan ketiga adalah munafik atau orang yang lacur/berkelakuan baik. Munafik yang membaca al-Qur’an seperti buah raihanah; aromanya harum tetapi rasanya pahit. Hal ini menunjukkan bahwa orang munafik itu penampilan atau amalnya seakan-akan baik, tetapi hati dan imanya busuk. Golongan keempat adalah munafik yang tidak membaca al-Qur’an itu ibarat buah handhalah; rasanya pahit dan tidak beraroma. Hal ini menunjukkan bahwa orang munafik seperi ini kepribadiannya tidak baik sekaligus tidak memberi manfaat bagi orang lain (lingkungan sekitarnya). Keempat golongan tersebut menunjukkan adanya garis pemisah antara iman, ilmu, dan amal. Mukmin yang baik adalah mukmin yang beriman kepada al-Qur’an, mau membacanya, dan mengamalkannya.
Hadits ke-2 عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ”إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له“ (رواه مسلم وأصحاب السنن) Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. Berkata: Rasulullah saw bersabda: Jika anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara,yaitu: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakannya” (HR. Muslim dan Ashhab al-Sunan)
Penjelasan hadits ke-2 Menuntut ilmu itu hukumnya wajib bagi setiap muslim. Ilmu memiliki keutamaan yang tinggi bagi Muslim, karena dapat menjadi investasi amal kebaikan. Ilmu yang selalu diamalkan dan dimanfaatkan merupakan amal jariah yang pahalanya terus mengalir meskipun pemiliknya sudah tiada. Dalam hadits kedua dijelaskan bahwa hanya ada tiga perkara yang membuat limpahan pahala tetap mengalir walaupun orangnya sudah meninggal dunia, yaitu: (1) sedekah jariah, seperti waqaf, (2) ilmu yang terus dimanfaatkan/diamalkan oleh orang lain, dan (3) anak shalih yang mendoakan orang tuanya. Ketiga perkara tersebut merupakan investasi yang selalu mendatangkan keuntungan dan pahala bagi pelakunya (mukmin) meskipun sudah meninggal dunia.
Hadits ke-3 عن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من الناس، ولكن يقبض العلم بقبض العلماء حتى إذا لم يبق عالما اتخذ الناس رؤوسا جهالا فسئلوا فافتوا بغير علم فضلوا وأضلوا (متفق عليه). Artinya: “Dari Abdullah ibn ‘Amr ibn al-Ash ra. berkata: ia mendengar Rasulullah Saw bersabda: sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu pengetahuan dengan begitu saja dari orang-orang yang memilikinya, tetapi Allah mencabut ilmu dengan matinya para ulama, sehingga bila tidak ada para ulama, maka orang-orang akan mengangkat orang bodoh untuk menjadi pemimpin, sehingga jika mereka ditanya sesuatu, maka mereka menjawabnya tidak berdasarkan ilmu pengtahuan; lalu mereka sesat dan menyesatkan” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Penjelasan hadits ke-3 Para ulama adalah pewaris para Nabi. Artinya, para ulama merupakan penerus, pengawal, dan pengamal ilmu. Keberadaan ilmu itu akan tetap lesatari selama ulamanya masih hidup. Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulamanya. Pesan utamanya adalah bagaimana Muslim senantiasa menyiapkan kader ulama, sehingga ilmu-ilmu yang diwariskan Nabi itu dapat terjaga, dan tidak mudah lenyap. Selain itu, hadits yang ketiga ini juga mengandung pesan bahwa umat Islam hendaknya menghormati ulama dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang dikuasainya agar tetap terwariskan kepada generasi selanjutnya.
Hadits ke-4 عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: من تعلم علما مما يبتغي به وجه الله عز وجل لا يتعلمه إلا ليصيبه به عَرَضا من الدنيا لم يجد عرف الجنة يوم القيامة يعني ريحها (روه أبو داود) Artinya: “Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang mempelajari ilmu pengetahuan yang seharusnya ditujukan untuk mencari ridha Allah Swt kemudian ia tidak mempelajari untuk mencari ridha Allah bahkan hanya untuk mendapatkan kedudukan/kekayaan duniawi, maka ia tidak akan mendapatkan baunya surga pada hari kiamat nanti.” (HR. Abu Daud)
Penjelasan hadits ke-4 Menuntut ilmu harus disertai sikap yang tulus dan ikhlas karena mengharap ridha Allah semata. Ilmu yang dituntut dengan cara seperti ini merupakan ilmu yang mendapat berkah dari Allah Swt. Sebaliknya orang yang menuntut ilmu hanya untuk mencari kedudukan dan materi (keduniaan), niscaya ia tidak memperoleh ridha dan berkah dari Allah. Hadits keempat ini menunjukkan bahwa karena ilmu itu milik Allah, maka sikap kita dalam mencarinya juga harus semata-mata mengharap ridha-Nya. Jika ilmu dicari dengan penuh keikhlasan, niscaya penuntutnya akan selalu mengamalkannya dalam keseharian. Ilmu dan amal merupakan satu kesatuan, orang berilmu seharusnya juga bermal baik. Karena itu, Nabi menyatakan: “Sebaik-baik kamu adalah orang yang mau mempelajari al-Qur’an dan mengamalkannya.” (HR. Utsman)
Lanjutan… Ilmu adalah bekal berharga bagi setiap Muslim dalam hidupnya. Karena itu, iri hati terhadap orang berilmu yang mengamalkan ilmu tidak dilarang (bahkan dianjurkan) oleh hadits Nabi yang lain. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا حسد إلا في اثنتين: رجل أتاه الله مالا فسلطه على هلكته في الحق، ورجل أتاه الله الحكمة فهو يقضي بها ويعلمها (رواه البخاري ومسلم) Rasulullah saw bersabda: “Tidak (boleh) ada hasud/iri hati kecuali terhadap dua golongan, yaitu: orang yang diberikan oleh Allah harta, kemudian harta itu digunakan untuk membela kebenaran; dan orang yang diberi hikmah/ilmu pengetahuan lalu mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang lain (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Nilai-nilai Edukatif Al-Qur’an merupakan bacaan paling sempurna dan mulia. Karena itu, mempelajari dan mengamalkannya memiliki nilai yang sangat penting bagi kehidupan Muslim. Al-Qur’an juga merupakan sumber ilmu pengetahuan. Pendidikan Islam harus mampu menumbuhkan dalam diri peserta didik untuk mencintai ilmu pengetahuan sekaligus ulamanya, sebab ilmu itu akan tiada atau dicabut bersamaan dengan diwafatkannya para ulama. Agar ilmu tidak punah, maka kaderisasi dalam dunia keilmuan dan pendidikan sangat penting, sehingga tidak terjadi krisis ilmu dan ulama Ilmu juga harus senantiasa dikembangkan dan diamalkan, agar memberi manfaat bagi orang banyak, dan pada gilirannya kualitas hidup umat manusia meningkat. Karena itu, dalam menuntut ilmu dan mengamalkannya, Muslim harus bersikap tulus, ikhlas, rendah hati, dan semata-mata mengharap ridha Allah Swt., bukan untuk mengejar keuntungan duniawi.