SEKS, SUBYEKTIFITAS DAN REPRESENTASI
FEMINISME DAN CULTURAL STUDIES Pemikiran feminis mempengaruhi cultural studies, tidak semua bentuk feminisme bisa dipandang sebagai cultural studies dan tidak semua cultural studies berbicara soal gender. “Siapa yang bisa tahu tentang siapa, dengan cara apa dan tujuan apa” (Grey, 1997:94). Feminisme maupun cultural studies ingin menghasilkan pengetahuan dari dan oleh kelompok yang “terpinggirkan” dan tertindas dengan niatan tegas yaitu untuk melakukan intervensi publik.
Cultural studies dan feminisme sama-sama memiliki kepentingan substantif dalam isu kekuasaan, representasi, budaya pop, subjektivitas, identitas dan konsumsi.
Patriarki, Kesetaraan dan Perbedaan Feminisme adalah suatu arena plural bagi teori dan politik yang memiliki perspektif dan preskripsi yang saling berkompetisis untuk sebuah aksi. Feminisme sebagai suatu gerakan yang berkepentingan untuk mengkonstruksi strategi politis yang digunakan untuk melakukan intervensi kedalam kehidupan sosial demi mengabdi kepada kepentingan perempuan.
Feminisme Liberal dan Feminisme Sosialis Feminisme liberal melihat perbedaan laki- laki dengan perempuan sebagai konstruk sosio-ekonomis dan budaya ketimbang sebagai hasil dari suatu biologi abadi. Feminis sosialis menunjuk kepada kesaling terhubungan antara kelas dengan gender termasuk tempat fundamental ketimpangan gender dalam reproduksi kapitalisme.
Feminisme Perbedaan Feminisme perbedaan menyatakan adanya perbedaan esensial antara laki-laki dan perempuan. Hal ini banyak diinterpretasikan sebagai perbedaan secara budaya, psikis dan atau biologis. Kesulitan dengan patriarki adalah karena ia mengaburkan perbedaan antar perempuan selaku individu serta ciri khas mereka dan lebih melihat suatu bentuk penindasan yang bersifat universal dan mencakup semua aspek. (Rowbotham, 1981)
Feminisme Kulit Hitam dan Feminisme Pasca Kolonial Feminisme Kulit Hitam menunjuk pada perbedaan antara pengalaman perempuan kulit hitam dengan kulit putih, representasi budaya dan kepentingan mereka. (Carby, 1984: Hooks, 1992) Feminisme Pasca Kolonial, perempuan memilikul beban ganda yaitu dijajah oleh kekuasaan imperial dan disubordinasikan oleh laki-laki penjajah dan pribumi. Spivak (1993) berkeyakinan bahwa “kelas bawah tidak dapat berbicara”. Artinya perempuan miskin tidak memiliki bahasa konspetual untuk berbicara dan tidak ada telinga laki-laki penjajah dan pribumi yang mau mendengarkan.
Feminisme Pasca Strukturalis Seks dan gender adalah konstruksi sosial dan budaya yang tidak dapat dijelaskan dalam konteks biologi atau direduksi menjadi fungsi kapitalisme. (Nicholson, 1990; Weedon, 1997) Pemikiran anti-esensialis menyatakan feminitas dan maskulinitas bukan merupakan kategori universal dan abadi melainkan konstruksi diskursif, yaitu cara mendeskripsikan dan mendisiplinkan subjek manusia.
Seks, Gender dan Identitas Seks mencakup berbagai bentuk reduksionisme biologis yang menyatakan bahwa struktur biokimia dan struktur genetis manusia menentukan perilaku laki- laki dan perempuan dengan cara yang pasti dan khas (kemampuan bahasa, penilaian spasial, agresi, dorongan seks, kemapuan untuk berfokus kepada tugas atau mengaitkan kepada kedua belahan otak).
Konstruksi Sosial Seks dan Gender Aliran feminisme lain menolak segala bentuk esensialisme, dengan meyakini bahwa feminitas dan maskulinitas semata- mata dan hanya merupakan konstruksi sosial. Seks diyakini sebagai biologi tubuh, sementara gender mengacu kepada asumsi dan praktik budaya yang mengatur bahwa struktur sosial laki-laki, perempuan dan relasi sosial mereka.
Subjektivitas dan Seksualitas (menurut Foucault) Subjektivitas adalah produksi diskursif. Jadi, diskursus (sebagai cara teratur dalam bertutur atau praktik) menawarkan subyek orang yang berbicara yang dia gunakan sebagai pijakan untuk menjelaskan dunia sambil “mengikatkan” pembicara kepada aturan dan disiplin diskursus-diskursus tersebut.
Kritik Feminisme atas Foucault Foucault menolak “menelaah karakter bergender dari berbagai teknik disipliner” Foucault memperlakukan tubuh sebagai sesuatu yang bebas dari gender yang tidak memiliki ciri khas diluar norma laki-laki.
Psikoanalisis, Feminisme dan Subjektivitas Berjenis Kelamin Freud menyatakan bahwa “anatomi adalah takdir” namun disisi lain dia menjabarkan bahwa seksualitas manusia mengalami “berbagai bentuk distorsi,” yaitu kemampuan untuk memiliki aneka bentuk. Anatomi dikatakan takdir karena perbedaan badaniah merupakan penanda bagi diferensiasi seksual dan sosial. Anatomi adalah takdis karena sulit untuk lari dari aturan regulatif yang mengitari perbedaan ragawi dan yang menyubordinasi perempuan dibawah kekuasaan politik, ekonomi dan seksual laki-laki. Jadi, persoalan feminisme terletak pada anatomi tubuh.
Gender, Representasi dan Budaya Media Evans (1997) menyatakan bahwa terdapat dorongan untuk menunjukkan bahwa perempuan telah memainkan suatu peran dalam kebudayaan. Representasi perempuan yang telah dibangun yaitu “tesis bahwa politik gender memainkan posisi sentral dalam proyek representasi.”
Tuchman (1978) menyatakan perspektif “citra perempuan” yaitu repersentasi citra perempuan mencerminkan sikap laki- laki dan merupakan misrepresentasi perempuan “sejati”. Representasi sebagai konstruksi budaya dan bukan sebagai refleksi atas dunia nyata.
Citra Perempuan Konsep stereotipe menempati posisi penting dalam citra perspektif perempuan. Suatu stereotipe terdiri dari reduksi person menjadi serangkaian ciri-ciri karakter yang dibesar-besarkan, dan biasanya negatif. Pen-stereotipe-an mereduksi, mengesensialkan, mengalamiahkan, dan mematri “perbedaan”. (Hall, 1997)
Menurut Meehan (1983), stereotipe citra perempuan dikategorikan : Nakal : memberontak, aseksual, tomboy Istri yang baik : domestik, menarik, terpusat dirumah Tamak : agresif, lajang Sundal : panjang tangan, curang, manipulatif Korban : pasif, menderita kekerasan atau kecelakaan Bak Umpan : kelihatannya lemah, padahal kuat Genit : secara seksual memancing laki-laki untuk suatu tujuan buruk Pelacur kelas tinggi : tinggal di salon, pertunjukkan kabaret dan prostitusi Penyihir : kekuatan ekstra namun tersubordinasi oleh laki-laki Materiarch : otoritas peran keluarga, lebih tua dan tidak suka seks
Penegasan dan Penyangkalan Menurut studi Krishnan dan Dighe (1990) : penegasan dan penyangkalan adalah dua tema utama yang terlihat tentang representasi perempuan di televisi India Karakter Laki-laki Karakter Perempuan Terpusat pada diri Tegas Percaya diri Melihat suatu tempat pada dunia yang lebih luas Rasional dan berkomplot Dominan Paternal Berkorban Tergantung Ragu untuk bersenang-senang Mendefinisikan dunia melalui hubungan keluarga Emosional dan sentimental Tersubordinasi Maternal
Posisi Subjek dan Politik Representasi Posisi subjek adalah perspektif atau serangkaian makna diskursif regulatif dan tertata dimana teks atau diskursus tersebut dipahami. Misal dalam konteks iklan : Dengan mengarahkan kita kepada persona pribadi, iklan menyodorkan kepada kita sebagai perempuan, bukan hanya komoditas melainkan juga hubungan personal kita di mana kita adalah feminin: bagaimana kita seharusnya/bisa menjadi perempuan feminim, yang atributnya dalam kaitan dengan laki-laki dan keluaraga berasal dari komoditas-komoditas ini…. Seorang perempuan tidak lebih dari sekedar komoditas yang kita kenakan : lipstik, celana pendek, pakaian, dan lain-lain adalah “perempuan”. (Winship, 1981:218)
Ringkasan Identitas seksual diyakini bukan sebagai suatu esensi biologis universal melainkan bagaimana feminitas dan maskulinitas dituturkan. Dalam cultural studies, seks dan gender diyakini sebagai konstruksi sosial (ditata dan mengandung sejumlah konsekuensi) yang secara intrinsik terkandung dalam persoalan representasi.