Analisis Manajemen konflik “Conflict Resolution in Aceh in Light of Track One and a Half Diplomacy” Anggota Kelompok : Susmita Prastiwi (13040674014) Yonandika Rizki (13040674051) Anisa Pusparani (13040674085) Alif Farhan A. (13040674088) Chindiana P. (10040674217)
Sekilas Tentang Konflik di Aceh Gerakan separatis di Aceh sebetulnya sudah ada sejak jaman Kolonial Belanda. Konflik muncul ketika pemerintahan Indonesia tersentralisasi. Adanya kesenjangan antara daerah pinggiran dengan pusat (Jakarta) menimbulkan kecemburuan sosial. Pada tahun 1976, konflik di Aceh pecah dibawah bendera GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Inilah awal munculnya GAM sebagai gerakan separatis. Awalnya, gerakan ini ingin merubah negara Indonesia menjadi negara Islam Federal. Namun kemudian berubah menjadi berkeinginan atas kemerdekaan penuh. Konflik semakin terlihat signifikan karena GAM mulai menguasai Aceh. Pemerintah Indonesia terdahulu justru menggunakan jalan kekerasan untuk penyelesaiaan konflik di Aceh dengan mengirim tentara untuk menumpas GAM. Cara ini semakin memperparah keadaan. Dengan adanya hal ini, muncullah dua upaya mediasi internasional yang dilakukan secara terpisah, yang pertama yaitu oleh Centre for Humanitarian Dialogue (HDC) ditahun 1999-2003 yang hanya mencapai mitigasi konflik, diikuti dengan reaksi kekerasan. Upaya berikutnya adalah upaya Martyi Ahtisaari dan Crisis Manajement Initiative (CMI) dimulai tahun 2004 sesaat sebelum terjadinya Tsunami yang menghancurkan Aceh. Upaya mediasi inilah yang menyebabkan adanya perjanjian perdamaian abadi, Helsinki Memorandum of Understanding (MoU) yang masih berefek sampai hari ini. kedua inisiatif mediasi berbeda tegas dalam pendekatan, gaya, strategi dan hasil.
Berikut Analisis Kelompok Kami Mengenai Solusi Penyelesaiaan Konflik di Aceh Konsep Jalur Satu Setengah Diplomasi Dalam jurnal ini menyebutkan bahwa konflik Aceh termasuk dalam konsep jalur satu setengah diplomasi yang diperkenalkan oleh Mapendre. Menurut kelompok kami ini merupakan konsep baru, khususnya bagi Indonesia sendiri. Yang dimaksud konsep jalur satu setengah diplomasi adalah satu orang sebagai kepala mediasi yaitu Marrti Ahtisaari, serta pihak ketiga non politik antara perwakilan politik kelompok yang berperang dan pemerintah. Yang ditekankan disini adalah pihak ketiga dari non politik. 2. Konsep Kematangan Konsep yang diperkenalkan berikutnya yaitu konsep kematangan oleh Zartman, yaitu , yaitu waktu untuk keterlibatan pihak ketiga dalam konflik berpengaruh terhadap berhasil atau tidaknya proses mediasi. Namun kelompok kami, konsep ini tidak sesuai dengan konflik yang terjadi di Aceh, khususnya terhadap proses mediasi yang tengah dilakukan. Terbukti bahwa, HCG yang sudah memulai proses mediasi sejak tahun 1999 sampai 2003 tidak menemukan titik perdamaian. Sedangkan Ahtisaari yang melakukan proses mediasi sejak tahun 2004 sebelum Tsunami terjadi, Agustus 2005 konflik di Aceh sudah menemukan titik terang ditandai dengan ditandatanganinya MoU.
Proses penyelesaiaan konflik yang dilakukan oleh Ahtisaari dan CMI adalah dengan menggunakan mediasi melalui negosiasi antara dua belah pihak yang berkonflik. Menurut kelompok kami, cara ini merupakan cara terbaik dalam proses penyelesaiaan konflik tanpa harus menggunakan genjatan senjata seperti yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terdahulu. Pendekatan yang dilakukan oleh Ahtisaari adalah pendekatan pribadi dengan melakukan pembicaraan langsung dengan pihak yang berkonflik. Hal ini tentu dapat memunculkan kepercayaan adri pidak berkonflik khususnya oleh GAM. Sehingga, proses mediasi dapat berjalan lancar.
Berikut Analisis Kami Tentang Konflik Aceh bila di Kaitkan Melalui Tiga Mazhab Yaitu Mazhab Positivis, Mazhab Humanis, Mazhab Kritis : PENGERTIAN Mazhab Kritis Mazhab Positifis Mazhab Humanis
Mazhab Positivis Namun dalam konflik aceh ini kami berpandangan konflik ini tidak bisa dilihat secara mazhab positivis di karenakan konflik ini sangat bisa mengancam masyarakat umum yang dalam hal ini adalah masyarakat aceh, utamanya dalam hal keamanan, selain hal tersebut konflik ini sangat beresiko tinggi karena menyangkut kedaulatan dan kesatuan negara republik indonesia yang apabila konflik ini tidak segera terselesaikan akan menjadi konflik yang semakin besar dan akan semakin sulit teratasi. Mazhab Humanis Dalam konflik ini, GAM berkeinginan merubah idiologi politik menjadi Negara Islam Federal. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan idiologi yang dianut GAM dan idiologi bangsa Indonesia. Berikutnya adalah perbedaan pandangan yang akhirnya memunculkan gerakan separatis, yaitu GAM menginginkan untuk menjadi Negara merdeka sendiri namun bangsa Indonesia menginginkan Aceh tetap menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Mazhab Kritis kasus konflik aceh jika ditinjau dari mazhab ini adalah konflik aceh awal mulanya di karenakan adanya kebijakan sentralisasi pada pemerintahan terdahulu yang mengakibatkan kecemburuan social antara daerah pusat dengan daerah pinggiran yang memperlihatkan kemajuan di Indonesia hanya terpusat dan kurang mempertimbangkan pembangunan dan kemajuan wilayah pinggiran dan salah satunya ada di derah aceh yang memunculkan kelompok separatis GAM (Gerakan Aceh Merdeka) sebagai bentuk protes kepada pemerintah penguasa.