Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

PERIHAL PEMERIKSAAN DALAM SIDANG PENGADILAN

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "PERIHAL PEMERIKSAAN DALAM SIDANG PENGADILAN"— Transcript presentasi:

1 PERIHAL PEMERIKSAAN DALAM SIDANG PENGADILAN

2 1. Sifat dan Arti Kata Perdamaian diperbandingkan dengan perdamaian di luar sidang
Dalam persoalan gugat terdapat dua atau lebih pihak, yang satu sama lain sedang bersengketa. Mungkin untuk menyelesaikan sengketa ini, mereka telah meminta bantuan teman baiknya atau Kepala Desa yang bersangkutan, dalam usaha mereka untuk menyelesaikan perkara tersebut di luar sidang secara damai sebelum perkara itu diajukan atau selama proses itu berlangsung, dan kadang-kadang usaha tersebut berhasil. Dalam hal perkara sedang berjalan, gugat lalu dicabut.

3 Dalam hal sengketa selesai secara demikian, dikemudian hari sengketa yang sama, mungkin terjadi lagi antara kedua belah pihak yang sama itu. Misalnya sebidang tanah yang semula telah diserahkan secara damai diambil kembali oleh yang semula menyerahkan. Lain cara untuk berdamai adalah selama perkara tersebut sedang diperiksa dan perdamaian dilakukan didepan hakim. Menurut ketentuan ayat 1 pasal 130 H.I.R., hakim sebelum memeriksa perkara perdata tersebut, harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak, dan usaha perdamaian itu dapat dilakukan sepanjang proses berjalan, juga dalam taraf banding oleh pengadilan tinggi.

4 Peranan hakim dalam usaha menyelesaikan perkara tersebut secara damai adalah sangat penting. Putusan perdamaian mempunyai arti yang sangat baik bagi masyarakat pada umumnya dan khusunya bagi orang yang mencari keadilan (justitiabelen). Apabila hakim berhasil untuk mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara itu, lalu dibuatlah akta perdamaian dari kedua belah pihak dihukum untuk mentaati isi dari akta perdamaian tersebut. Akta perdamaian mempunyai arti kekuatan seperti suatu putusan hakim yang biasa yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde). Perdamaian di depan hakim banyak berhasildalam perkara utang piutang dan perkara warisan. Dalam perkara utang piutang jumlah uang yang seharusnya dibayar sekaligus, dapat dibayar dengan cara mengangsur, misalnya sampai 4-5 kali angsuran dan biaya dipikul bersama oleh kedua belah pihak masing-masing separuh.

5 Dalam perkara warisan pada umumnya pihak penggugat mengalah sedikit dan menerima lebih kecil daripada bagian sesungguhnya ia harus terima, juga dalam persoalan ini biaya perkara dipikul oleh kedua belah pihak, masing-masing untuk separuhnya. Berbeda dalam perdamaian yang telah dilakukan oleh hakim di dalam sidang, adalah perdamaian yang telah dilakukan oleh pihak-pihka sendiri diluar sidang. Perdamaian ini hanya berkekuatan sebagai persetujuan kedua belah pihak belaka, yang apabila tidak ditaati oleh salah satu pihak, masih harus diajukan melalui suatu proses di pengadilan. Dalam gugat perceraian, hakim akan berusaha untuk mendamaikan suami-istri yang hendak bercerai. Apabila hakim berhasil, gugat pada umumnya dicabut. Oleh karena juga menurut pasal 39 U.U No. 1 tahun 1974, hakim harrus berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak, tidaklah dibenarkan bahwa kedua belah pihak menguasakan kepada orang yang sama. Hal ini akan menutup kemungkinan untuk berdamai, hal mana adalah bertentangan dengan maksud undang-undang.

6 2. Perihal Jawaban tergugat, gugat ginugat dan eksepsi
Perihal jawaban tergugat, gugat-ginugat dan eksepsi merupakan persoalan-persoalan yang akan dibahas secara bersamaan dan sekaligus, oleh karena ketiga persoalan tersebut erat sekali hubungannnya satu dengan yang lainnya dan pada umumnya diajukan pula secara bersama-sama dalam jawaban yang dilakukan oleh hakim tidak berhasil H.I.R sesungguhnya menghendaki jawaban tergugat. Jawaban tergugat diajukan setelah usaha perdamaian yang dilakukan oleh hakim tidak berhasil. H.I.R sesungguhnya menghendaki jawaban tergugat diajukan secara lisan, karena memang pada waktu itu H.I.R dimaksudkan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk orang-orang “Bumi Putra” yang dianggapnya masih bodoh.

7 Apabila masih dikehendaki, kedua belah pihak masih dapat mengajukan kesimpulan lanjutan, sebelum mereka mohon putusan dengan penawaran bukti (mohon putusan o, a, b) yang dalam Bahasa Belanda adalah singkatan dari “onder aanbod van bewijs”. Jawaban tergugat dapat terdiri dari 2 macam, yakni: Jawaban yang langsung mengenai pokok perkara yang disebut tangkisan atau eksepsi; Jawaban yang langsung mengenai pokok perkara (Verweer ten principale). - Eksepsi terdiri dari 2 macam, yaitu eksepsi yang menyangkut kekuasaan absolut dan eksepsi yang menyangkut kekuasaan ralatif. Kedua macam ekespsi ini termasuk eksepsi yang menyangkut acara, dalam hukum acara perdata disebut eksepsi prosesuil (procesueel). Eksepsi Relatif tidak diperkenankan untuk diajukan pada setiap waktu, melainkan harus diajukan pada permulaan sidang yaitu sebelum tergugat menjawab pokok perkara secara lisan.

8 Eksepsi mengenai relatif adalah eksepsi yang menyatakan, bahwa pengadilan negeri tertentu adalah tidak berkuasa mengadili perkara tertentu, misalnya oleh karena perkara tersebut bukan merupakan wewenang pengadilan negeri di Bandung, akan tetapi merupakan wewenang pengadilan negeri di Cianjur. Eksepsi ini diatur dalam Pasal 125 (2), 133 H.I.R. Pasal 134 H.I.R menyangkut eksepsi mengenai kekuasaan absolut, ialah eksepsi yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili perkara tertentu, dikarenakan persoalan yang menjadi dasar gugat tidak termasuk kewenangan pengadilan negeri, akan tetapi merupakan wewenang badan peradilan yang lain. Eksepsi mengenai kekuasaan absolut dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan perkara berlangsung bahkan hakim wajib karena jabatannya, artinya tanpa diminta oleh pihak penggugat, untuk memecahkan soal berkuasa tidaknya beliau memeriksa persoalan tersebut dengan tidak usah menunggu diajukannya keberatan dari pihak yang berperkara.

9 Perihal gugat-menggugat, gugat balasan, gugat balik, atau gugat dalam Rekonpensi, diatur dalam pasal 132a dan pasal 132b H.I.R kedua Pasal tersebut memberi kemungkinan bagi tergugat atau para tergugat, apabila ia atau mereka kehendaki, dalam semua perkara untuk mengajukan gugat balasan/gugat balik terhadap penggugat. Karena gugat adalah balasan terhadap gugat yang telah diajukan oleh penggugat, maka tidak dibenarkan apabila tergugat ke I misalnya, lalu menggugat tergugat yang lainnya, melainkan gugat balasan harus ditujukan kepada penggugat atau para penggugat, atau salah satu seorang/beberapa orang dari penggugat saja oleh tergugat para tergugat atau tergugat. Gugat balasan diajukan bersama-sama dengan jawaban baik itu merupakan jawaban lisan atau tertulis.

10 Pada azasnya gugat balasan dapat diajukan dalam setiap perkara pengecualiannya adalah dalam 4 hal yang disebut dalam pasal 132a H.I.R ialah: Jika penggugat dalam gugat asal mengenai sifat, sedang gugat balasan itu mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya; Jika pengadilan negeri, kepada siapa gugat asal itu dimasukkan, tidak berhak, oleh karena berhubung dengan pokok perselisihan, memeriksa gugat balasan; Dalam perkara perselisihan tentang menjalankan putusan; Jika dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak di masukkan gugat balasan, maka dalam tingkatan banding tidak boleh memajukan gugat balasan.

11 Gugat balasan dapat juga diajukan secara lisan di persidangan, hal ini terutama dilakukan dalam pemeriksaan secara lisan yang banyak terjadi di pengadilan negeri di kota kecil, yang tak mempunyai banyak perkara perdata. Gugat balasan semacam itu akan dicatatdalam berita acara sidang. Sehubungan dengan gugat balasan ini, permohonan pemeriksaan banding kepada pengadilan tinggi dapat diajukan oleh pihak-pihak yang bersangkutan terhadap putusan pengadilan negeri yang telah memutus perkara itu, baik untuk putusan dalam konpensi maupun dalam rekonpensi atau putusan dalam rekonpensi saja. Bagi gugat dalam rekonpensi yang ternyata secara tegas-tegas tidak dimintakan banding, maka putusan pengadilan negeri dalam rekonpensi itu tidak dapat diubah lagi oleh pengadilan tinggi (dibandingkan dengan putusan Mahkamah Agung tertanggal 19 Nopember 1958 No. 344 K/Sip/1958, termuat dalam Hukum dan Masyarakat, Majalah Persahi, 1960 No. I halaman 28).

12 3. Perihal Menambah atau Mengubah Surat Gugat
Mahkamah Agung dalam putusannya tertanggal 6 Maret 1971 No. 209 K/Sip/1970 telah memutuskan, bahwa suatu perubahan tuntutan tidak bertentangan dengan azas-azas hukum acara perdata, asal tidak merubah atau menyimpang dari kejadian materiil walupun tidak ada tuntutan subsidair; untuk peradilan yang adil (termuat dalam Yurisprudensi Indonesia, terbitan I-II-III-IV/72 halaman 470, diterbitkan oleh: Mahkamah Agung R.I). Dalam hal perubahan atau penambahan gugat diperkenankan, kepada pihak tergugat hendaknya diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk membela diri dengan sebaik-baiknya.

13 Dalam hal mengenai penambahan gugat, Mahkamah Agung dengan putusannya tertanggal 20 Oktober 1976 No. 447 K/Sip/1976 menyatakan: “ Permohonan untuk mengadakan penambahan dalam gugatan pada saat pihak berperkara lawan telah menyampaikan jawabannya, tidak dapat dikabulkan apabila pihak perkara lainnya tidak menyetujuinya. Dari hal tersebut di atas ternyata, bahwa harus dipertimbangakan secara kasus demi kasus oleh hakim mengenai perubahan atau penambahan gugat, karena yang mana dapat diperkenankan dan yang mana untuk tidak diperkenankan. Sebaliknya mengenai pengurangan gugat senantiasa akan diperkenankan oleh hakim. Erat sekali hubungannya dengan penambahan, perubahan dan mengurangi gugat, adalah persoalan pencabutan kembali surat gugat.

14 Meskipun H.I.R tidak mengatur perihal pencabutan gugat akan tetapi praktek perihal pencabutan gugat senantiasa diizinkan, selama oleh pihak tergugat belum diajukan jawaban. Namun apabila telah diajukan jawaban tergugat, mengenai penarikan gugatan tidak diperkenankan. Kecuali atas seizin dari tergugat (bandingkan dengan putusan Mahkamah Aagung tertanggal 7 maret 1981 No K/Sip/1978, termuat dala Yurisprudensi Indonesia 1981-II ). Kalau gugat dicabut, kedua belah pihak kembali kepada keadaan semula, artinya seperti belum pernah ada perkara. Sita jaminan seandainya telah diletakkan, harus diperintahkan untuk diangkat, sedangkan semua biaya perkara termasuk biaya pengangkatan sita jaminan tersebut dibebankan kepada penggugat .

15 4. Pengikut sertaan pihak ketiga dalam proses
Perihal pengikutsertaan pihak ketiga dalam proses tidak diatur oleh H.I.R. Pasal 393 H.I.R berbunyi sebagai berikut: Dalam hal mengadili perkara di hadapan pengadilan Bumiputra tidak boleh diperhatikan peraturan yang lebih atau yang lain daripada yang ditentukan dalam reglemen ini. Akan tetapi Gubernur Jendral tinggal tetap memegang hak, sekedar tentang mengadili perkara perdata. Setelah berbicara dengan Mahkamah Tinggi di Indonesia, akan menetapkan lagi di peraturan lain, yang lebih sesuai dengan peraturan tuntutan hukum perdata di hadapan pengadilan Eropa, untuk pengadilan negeri Jakarta, Semarang dan Surabaya, jika nyata benar bahwa menurut pengalaman perlu sekali diadakan peraturan sedemikian dan juga untuk pengadilan negeri yang lain-lain, jika terdapat juga keperluan yang demikian itu.

16 Gubernur jendral pada dewasa ini sudah tidak ada lagi, oleh karena itu pasal 393 ayat (1) H.I.R . Harus dianggap tidak sesuai lagi dengan zaman. Karena ayat (2) pasal 393 H.I.R memperkenankan untuk dalam hal-hal yang dirasakan sangat perlu (dengan lain perkataan, apabila dibutuhkan oleh praktek pengadilan) mengadakan penyimpangan dari H.I.R dengan mengambil bentuk-bentuk yang terdapat dalam peraturan lain, maka pasal 393 ayat (2) H.I.R ini, kini ditafsirkan, bahwa hakim pengadilan negeri apabila menganggap perlu dan benar-benar dibutuhkan dalam praktek, dapat mengambilalih bentuk-bentuk yang terdapat dan tidak diatur dalam H.I.R misalnya; virjwaring, voeging, tussenkomst dan sebagainya dari R.V., dengan berpedoman kepada R.V. Tapi disesuaikan dengan kebutuhan praktek.

17 Cara mengajukan vrijwaring adalah bahwa pihak tergugat dalam jawabannya secara lisan atau tertulis mohon kepada majelis hakim akan diperkenankan untuk memanggil seorang sebagai pihak yang turut berpekara dalam perkara yang sedang diperiksa majelis tersebut, untuk melindungi tergugat, misalanya terhadap petitum di mana tergugat dimohonkan agar membayar sejumlah dengan maksud agar tergugat dibebaskan dari pembayaran tersebut. Sebagai contoh misalnya : A selaku penggugat, telah membeli sebuah T.V. Dari B selaku tergugat. Ternayata T.V itu mempunyai cacat yang tersembunyi, B selaku tergugat pada mulanya itu tidak mengetahui adanya cacat pada pesawat T.V tersebut, sebab ia baru saja 3 bulan yang lalu membeli T.V tersebut dari C yang telah memberikan jaminan bahwa T.V itu baru dan tidak cacat. Oleh karena B digugat oleh A untuk membayar ganti rugi karena ada cacat itu, B menarik C untuk menanggung atau menjamin B. Permohonan semacam ini disebut insidentil dan dengan suatu putusan sela akan diputuskan apakah gugatan insidentil itu akan dikabulkan atau ditolak karena dianggap tidak beralasan. Putusan sela tersebut adalah putusan insidentil.

18 Hampir sama keadaanyan dengan penjaminan tersebut di atas adalah apa yang disebut tussentkomst atau intervensi, pencampuran pihak ketiga atas kemauan sendiri yang ikut dalam proses, di mana pihak ketiga ini tidak memihak baik kepada penggugat maupun kepada tergugat, melainkan ia hanya memperjuangkan kepentingan sendiri. Juga dalam hal ini ada gugat insidentil dan apakah yang bersangkutan diperkenankan atau tidaknya untuk mencampuri perkara yang sedang berjalan tersebut. Lain bentuk lagi dari pencampuran pihak ketiga dalam proses adalah apa yang disebut Voeging, penggabungan pihak ketiga yang merasa berkepentingan, lalu mengajukan permohonan kepada majelis agar diperkenankan mencampuri proses tersebut dan menyatakan ingin menggabungkan diri kepada salah satu pihak, penggugat atau tergugat. Dalam bahasa Belanda hal ini disebut voeging van partijen.

19 Perihal diperkenankan atau tidaknya permohonan voeging tersebut, oleh Hakim akan dipertimbangakan dalam suatu putusan sela. Putusan insidentil. Harus diingan, bahwa putusan sela ini tidak dibuat terpisah, melainkan merupakan bagian dari berita acara, dan harus memuat terlebih dahulu, “Tentang duduknya perkara” (persis seperti putusan akhir) dan “Tentang hukumannya”, lengkap seperti putusan biasa. Contoh daripada voeging, misalnya: A menggugat B untuk pembayaran suatu utang. C mendengar perihal itu menjadi terperanjat dan mengatakan bahwa hal tersebut bukanlah suatu utang, akan tetapi adalah modal untuk usaha dagang bersama anatara A, B, dan C oleh karena hal tersebut C mencampuri gugatan dan memihak untuk menggabungkan diri kepada B. Sebelum hakim memperkenankan pihak ketiga untuk ikut berproses terlebih dahulu harus didengar kesemuanya pihak tentang maksud tersebut, kemudian hakim baru mempertimbangkan kepentingan masing-masing, sebelum menolak atau mengabulkan pencampuran pihak ketiga tersebut. untuk hal ini harus dibuatnya putusan sela yang memuat pertimbangan hakim dengan lengkap.

20 5. Perihal Kumulasi Gugatan Dan Penggabungan perkara
Kumulasi (Cumulatie) gugatan tidak diatur dalam H.I.R, bahwa gugatan diajukan oleh seorang karena ia merasa haknya dilanggar. Jadi dalam hal ini ada kepentingan dari yang bersangkutan sehubungan dengan pengajuan gugat tersebut, yaitu adanya suatu fakta hukum yang menjadi dasar gugat, misalnya fakta hukum bahwa yang bersangkutan “tidak membayar”. Kumulasi gugatan dalam perkara yang tidak ada hubungannya satu sama lainnya tidak dapat dibenarkan (lihat putusan Mahkamah Agung tertanggal 28 Januari 1976 No. 201 K/Sip 1974, termuat dalam Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Indonesia I, Chidir Ali SH., ibidem halaman 218).

21 Namun sebaliknya, kumulasi dari beberapa gugatan yang berhubungan erat satu dengan lainnya tidak bertentangan dengan hukum acara yang berlaku (lihat putusan Mahkamah Agung tertanggal 22 September 1976 No K/Sip/1975, termuat dalam Yurisprudensi Indonesia-I, halaman 496). Pada umumnya setiap gugatan harus berdiri sendiri. Penggabungan gugat hanya diperkenankan sepanjang masih dalam batas-batas tertentu, yaitu apabila pihak penggugat atau para penggugat dan tergugat atau para penggugat yang masih itu-itu juga orangnya. Misalnya, A, B dan C ingin menggugat D, E dan F mengenai sebidang tanah yang dikuasai oleh mereka. Bersamaan dengan gugatan itu, diajukan pula gugatan mengenai utang D, E dan F kepada A, B, dan C yang dituangkan dalam surat perjanjian utang piutang yang telah dibuat oleh mereka. Dalam hal ini, kumulasi gugatan, yaitu kedua gugatan tersebut dijadikan satu dan dituangkan dalam satu surat gugat, diperkenankan.

22 Menurut Prof Dr. R. Supomo SH
Menurut Prof Dr. R. Supomo SH. Mengatakan, bahwa gugat-gugat yang digabungkan itu harus ada hubungan batin (“innerlijke samenhang”) atau “connexiteit”. Misalnya beberapa gugat perlawanan terhadap suatu pembeslahan (“beslag”) tidak dapat digabungkan oleh karena tidak ada hubungan batin antara gugat yang satu dan gugat lain-lainnya. Apabila pada satu pengadilan ada 2 perkara yang satu sama lain saling berhubungan, lebih-lebih, apabila kedua perkara tersebut berlangsung anatara penggugat dan tergugat yang sama, maka salah satu pihak atau keduanya dapat mengajukan permohonan kepada majelis agar kedua perkara tersebut digabungkan.

23 Permohonan penggabungan itu, apabila ditujukan oleh penggugat harus diajukan dalam surat gugat yang kedua atau gugat yang beriktunya, sedangkan apabila diajukan oleh pihak tergugat, maka hal itu harus diajukan bersama-sama dengan jawaban pertama. Jika permohonan dikabulkan, maka perkara yang baru itu akan diserahkan kepada majelis yang memeriksa perkara pertama untuk digabungkan. Penggabungan perkara dan kumulasi gugatan diatur dalam Pasal 134 dan 35 R.V., dalam bahasa Belanda disebut Voeging van zaken . Untuk menggabungkan perkara tersebut diajtuhkan putusan sela, yang disebut putusan insidentil.


Download ppt "PERIHAL PEMERIKSAAN DALAM SIDANG PENGADILAN"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google