ANALISIS POTENSI DAN TANTANGAN RENCANA KEIKUTSERTAAN DALAM TPP DAN I-EU CEPA Kementerian Perdagangan Republik Indonesia Jakarta, 17 November 2015
OUTLINE I. RUANG LINGKUP PERUNDINGAN a. II. ANCAMAN/TANTANGAN RENDAHNYA INDEKS CENTRALITY INDONESIA DALAM INTERNATIONAL PRODUCTION NETWORK (IPN)/GlOBAL VALUE CHAIN (GVC) b. ANCAMAN TRANS PACIFIC PARTNERSHIP (TPP) c. ANCAMAN VIETNAM DAN MALAYSIA – EUROPEAN UNION FTA III. KEADAAN SAAT INI 63% DARI IMPOR DUNIA DIDOMINASI OLEH UNI EROPA DAN NEGARA ANGGOTA TPP IV. KONSEKUENSI KEIKUTSERTAAN INDONESIA – NATIONAL POLICY ADJUSTMENT KONSEKUENSI KEIKUTSERTAAN PADA INDONESIA - EU CEPA b FLEKSIBILITAS NEGOSIASI INDONESIA PADA TPP c KONSEKUENSI KEIKUTSERTAAN INDONESIA DI TPP V. KESIMPULAN
RUANG LINGKUP PERUNDINGAN
RENDAHNYA INDEKS CENTRALITY INDONESIA DALAM INTERNATIONAL PRODUCTION NETWORK (IPN)/GLOBAL VALUE CHAIN (GVC) Gambar di samping menunjukkan posisi berbagai negara dalam jaring produksi internasional. Negara yang semakin dekat dengan pusat diagram adalah negara yang paling mempunyai posisi penting. Ada tiga negara paling penting yang menjadi pusat dari IPN: China, Amerika Serikat dan Jerman. Indonesia berada di pinggiran dari diagram tersebut dan posisinya berada di bawah dari negara-negara lain di Asia Tenggara, serta belum mempunyai posisi penting dalam IPN. Penggunaan bahan penunjang yang berasal dari negara lain di dalam ekspor Indonesia hanya berada pada kisaran 15%, jauh dibawah Thailand yang berada pada 33%, ataupun Malaysia dan Filipina yang mencapai 38%. Kontribusi 15% tersebut akan semakin berkurang jika Indonesia tidak ikut serta dalam GVC/IPN. Partisipasi yang lebih besar dalam GVC/IPN melalui partisipasi aktif dalam Regional Economic Comprehensive Partnership (RCEP), Indonesia – Uni Eropa CEPA, dan Trans Pacific Partnership (TPP) akan memberikan berbagai keuntungan bagi pengembangan ekonomi Indonesia. Sumber: Yose Rizal Damuri, Centre for Strategic and International Studies
ANCAMAN TRANS PACIFIC PARTNERSHIP (TPP) PRODUK MALAYSIA DAN VIETNAM AKAN MENJADI 20% LEBIH MURAH DARI PRODUK INDONESIA KARENA AKAN DIKENAKAN TARIF YANG LEBIH RENDAH DI PASAR NEGARA TPP
ANCAMAN VIETNAM DAN MALAYSIA – EUROPEAN UNION FTA The Rules of Origin EU mensyaratkan produk Pakaian Jadi yang masuk pasar EU, kainnya berasal dari Vietnam dan mitra FTA EU. EU menawarkan akses ekspor Vietnam untuk beberapa produk pertanian yang sensitif (seperti Beras, Jagung Manis, Bawang Putih, Jamur, Gula dan produk yang mengandung Gula tinggi, Pati Ubi Kayu, Surimi, dan Tuna Kalengan) melalui Tariff Rate Quotas (TRQs) Vietnam akan menghilangkan hampir keseluruhan bea keluar terhadap barang diperdagangkan secara bilateral dengan EU. VIETNAM Tarif EU akan dieliminasi (bertahap selama 7 tahun). Penurunan tarif bea masuk atas beberapa produk sensitif EU, terutama produk Pakaian Jadi dan Alas Kaki. 99% jumlah tarif diperjanjikan MALAYSIA Malaysia telah meminta akses bebas masuk untuk semua ekspornya dalam negosiasi dengan EU dan mempertahankan preferensi tarif melalui skema GSP. Ekspor dari Malaysia ke Uni Eropa yang memiliki skema GSP akan terus menikmati konsesi tarif. Malaysia juga telah meminta Uni Eropa untuk mempertimbangkan GSP-plus imbalan MEUFTA. Meningkatnya akses pasar produk CPO dan turunannya, Kayu dan Produk Kayu, Furniture ke Uni Eropa. EU AKAN MENGALIHKAN PASOK PRODUK DARI INDONESIA KE VIETNAM DAN MALAYSIA UNTUK PRODUK IMPOR YANG MENDAPATKAN PENGURANGAN BEA MASUK
63% DARI IMPOR DUNIA DIDOMINASI OLEH UNI EROPA DAN NEGARA ANGGOTA TPP* TPP (diluar Malaysia & Vietnam) USD 4.784,7 M (28,2% dari impor dunia) Eksportir: Malaysia : 8th (2,5%) Indonesia : 15th (1,5%) Vietnam : 20th (1,2%) Alas Kaki : USD 39,4 M Indonesia : 4th (5,05%) Malaysia: 23rd (0,12%) Vietnam : 2nd (13,89%) Otomotif : USD 569,6 M Indonesia : 47th (0,03%) Malaysia: 49th (0,03%) Vietnam : 45th (0,04%) UNI EROPA USD 5.887,7 M (34,8% dari impor dunia) Eksportir: Vietnam : 32th (0,6%) Malaysia : 36th (0,5%) Indonesia : 41th (0,4%) Produk Kulit : USD 27,4 M Indonesia : 12th (0,98%) Malaysia: 29th (0,12%) Vietnam : 4th (5,64%) Produk Tekstil : USD251,1 M Indonesia : 21st (1,02%) Malaysia: 52nd (0,13%) Vietnam : 15th (1,64%) Otomotif : USD 424,8 M Indonesia : 22nd (0,22%) Malaysia: 31st (0,09%) Vietnam : 26th Produk Plastik : USD221,4 M Indonesia : 47th (0,14%) Malaysia: 41st (0,20%) Vietnam : 35th (0,30%) Produk Karet : USD 45,7 M Indonesia : 10th (2,51%) Malaysia: 8th (4,40%) Vietnam : 20th (0,73%) Produk Kulit : USD36,3 M Indonesia : 26th (0,48%) Malaysia: 77th (0,04%) Vietnam : 8th (2,40%) Produk Kayu : USD 18,0 M Indonesia : 6th (5,20%) Malaysia: 7th (4,40%) Vietnam : 11th (1,73%) Produk Kayu : USD25,3 M Indonesia : 28th (0,92%) Malaysia: 31st (0,81%) Vietnam : 47th (0,13%) *di luar Vietnam dan Malaysia
KONSEKUENSI KEIKUTSERTAAN INDONESIA DALAM IEU CEPA GOODS 95% Liberalization Government Procurement Liberalization SERVICES Beyond INA’s commitment in WTO INVESTMENT Protection is must Non performance requirement (TKDN & transfer teknologi) SOE Providing non-commercial assistance Investasi BIT (investor asing dapat memperkarakan kebijakan pemerintah) Sengketa diselesaikan di arbritase internasional Non Performance Requirements Kompleksitas sejalan dengan hasil negosiasi (konsesi) Tidak ada Ketentuan Kandungan Lokal Tidak ada Ketentuan Bea Keluar Tidak ada Ketentuan Hilirisasi (Minerba) Tidak ada Ketentuan Imbal Dagang Pengadaan Alpahankam dll Pasar Persaingan Sempurna Tidak ada Intervensi Pemerintah Review Berbagai Ketentuan dan UU Tata Niaga Tidak ada Ijin khusus (Importir Terdaftar/Importir Produsen) Penyederhanaan proses kepabeanan dll
KONSEKUENSI KEIKUTSERTAAN INDONESIA DALAM IEU CEPA (LANJUTAN) LIBERALISASI TERHADAP HAMPIR 95% POS TARIF Pelaku usaha nasional belum sepenuhnya siap untuk memasuki pasar persaingan sempurna Infrastruktur hukum (Technical Barriers to Trade dan Sanitary and Phytosanitary ) yang berfungsi sebagai pengganti tarif dalam melindungi pelaku usaha dan konsumen nasional belum sepenuhnya siap Mekanisme self-regulated melalui penerapan standar dan sertifikasi yang dikembangkan oleh pelaku usaha belum terbentuk PENGHAPUSAN NON-COMMERCIAL ASSISTANCE BAGI BUMN Belum semua BUMN siap bersaing secara bebas Fungsi sosial BUMN sebagai badan usaha non-komersial akan terkoreksi UU No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara dan UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat perlu ditinjau ulang/ revisi. LIBERALISASI PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH (GOVERNMENT PROCUREMENT) Fungsi belanja Pemerintah sebagai sarana menstimulasi ekonomi nasional terdistorsi Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, juncto Perpres No. 4 Tahun 2015 perlu ditinjau ulang/ revisi. INVESTASI Upaya memperbaiki posisi tawar Indonesia dalam sengketa investasi melalui review BIT yang ada menjadi kontra produktif Kebijakan Pemerintah rentan diperkarakan oleh investor asing Hilirisasi tidak lagi dapat menggunakan pendekatan kebijakan non-performance requirements (kandungan lokal dan transfer teknologi) dan bea keluar UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010 jo. No. 39 Tahun 2014 Tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, UU No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dan PP No. 1 tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri perlu ditinjau ulang PERDAGANGAN JASA Proses liberalisasi akan membatasi kemapuan Indonesia untuk membuat kebijakan yang lebih restriktif di masa depan. Standar profesi untuk berbagai bidang keahlian jasa, termasuk ekonomi kreatif dan e-commerce sebagai pengganti berbagai ketentuan Pemerintah yang bersifat protektif belum sepenuhnya terbentuk BEA KELUAR Program hilirisasi industri akan terkendala UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan dan UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan STANDAR NASIONAL INDOENSIA Merujuk EU-Vietnam FTA, Indonesia akan diminta untuk menghapus/ mengurangi sebanyak mungkin penggunaan SNI sebagai prasyarat peredaran barang di pasar domestik Revisi berbagai ketentuan terkait SNI, reorganisasi badan-badan sertifikasi produk, seperti BSN, KAN, dll.
FLEKSIBILITAS NEGOSIASI INDONESIA PADA TPP BARANG Menegosiasikan pengecualian untuk beberapa produk sensitif dan membuat pengurangan tarif secara bertahap selama beberapa tahun untuk produk sensitif lainnya. JASA DAN INVESTASI Menegosiasikan pengecualian untuk sektor-sektor sensitif dan kebijakan diskriminatif yang telah ada (termasuk non-conforming measures dan kebijakan - kebijakan di masa yang akan datang untuk dikecualikan) PENGADAAN PEMERINTAH Menegosiasikan nilai batas proyek yang tinggi dimana Indonesia belum memiliki komitmen Pengadaan Pemerintah, dengan kemungkinan membuat pengurangan bertahap selama masa yang cukup panjang untuk memenuhi keinginan mitra negosiasi, dan menegosiasikan pengecualian untuk pengadaan yang sangat sensitif. BUMN BUMN Menegosiasikan daftar beberapa BUMN Indonesia yang termasuk di dalam perjanjian. Catatan: Beberapa Pihak TPP memiliki waktu sampai dengan 16 tahun untuk mengimplementasikan komitmennya, sehingga Indonesia juga dapat menegosiasikan jadwal implementasi komitmen yang lebih fleksibel. Hal tersebut mengilustrasikan bahwa beberapa perubahan peraturan cenderung belum perlu ditetapkan lebih sensitif sampai dengan tahun 2036 (dengan asumsi Indonesia meratifikasi TPP pada 2020).
GAP ANALYSIS INDONESIA – TPP (1) Indonesia Current Status No TPP Chapter Indonesia Current Status Gap 1 Trade in Goods and Services: TPP menerapkan aturan akses pasar yang luas dan kompleks. Penghapusan dan pengurangan hambatan tarif dan non tariff produk industri dan pertanian, termasuk larangan subsidi ekspor dan pajak ekspor Tidak bersedia membuka pasar domestik karena tidak ingin menjadikan Indonesia sebagai “pasar” bagi produk dan jasa dari negara lain Untuk berpartisipasi pada TPP, RI perlu negosiasi untuk memperoleh derajat kesepakatan pasar di TPP yang sesuai kepentingan ekonomi nasional. (Terkait dengan UU No. 7/2014 tentang Perdagangan; UU No. 3/2014 tentang Perindustrian; UU No. 13/2010 tentang Holtikultura; UU no. 18/2012 tentang Pangan UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara ) 2 Policy space: sebagian hak negara membuat regulasi pro-domestik dikurangi (sebagaimana di bawa h ini). Belum mempertimbangkan pengurangan hak negara dalam meregulasi sektor-sektor/isu tertentu. RI perlu negosiasi yang menghasilkan policy space yang melindungi kepentingan nasional. (Terkait dengan UUD 1945 Pasal 33; UU No. 7/2014 tentang Perdagangan; UU No. 3/2014 tentang Perindustrian) 3 Government procurement: liberalisasi, non-diskriminasi dan transparansi proyek-proyek pemerintah dan penyusunan suatu positive list. Belum bersedia mengikat komitmen internasional tentang akses pasar dan regulasi di sektor pengadaan pemerintah. RI perlu negosiasi bagi pengaturan transparansi dan derajat keikutsertaan asing dalam tender tertentu yang sesuai kepentingan nasional. (Terkait dengan UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara; UU No. 5/2009 tentang Persaingan Usaha Perpres No.4 Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) 4 State-Owned Enterprises (SOE): Penciptaan iklim usaha yang sehat dan penyesuaian hak keistimewaan/insentif kepada BUMN serta penyetaraan hak swasta dan BUMN asing dengan BUMN lokal Belum mempertimbangkan peningkatan iklim kompetisi bagi BUMN. RI perlu negosiasi untuk mencapai titik temu tentang batas keistimewaan/insentif tertentu untuk BUMN. (Terkait dengan UU No. 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara)
GAP ANALYSIS INDONESIA – TPP (2) Indonesia Current Status No TPP Chapter Indonesia Current Status Gap 5 Investasi: mengurangi diskriminasi akses pasar dan peningkatan jaminan/insentif kepada investor. ex. Penghapusan local content dan negative list Pemri ingin meningkatkan kekuatan/hak negara dan mempertahankan preferensi kepada investor domestik. Perlu negosiasi untuk menemukan formula derajat regulasi negara dan preferensi ke investor domestik. UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal: -Bab VI, Ketenagakerjaan, Pasal 10 --Bab VII, Bidang Usaha, Pasal 12 -UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara 6 Intellectual Property Right (IPR): peningkatan perlindungan HKI guna peningkatan inovasi. Ex. hak paten bagi obat-obatan dan produk/peralatan kesehatan Tidak mengurangai hak negara meregulasi, termasuk bagi penyediaan obat murah (obat generik) Perlu mencari titik temu agar regulasi negara berjalan seiring dengan kesepakatan TPP. (Terkait dengan UU No. 14/2001 tentang Paten; UU No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen; UU No.36 tahun 2009 tentang kesehatan) 7 Kesepakatan terkait sektor jasa, keuangan, lingkungan hidup, perburuhan, penggunaan internet, e-commerce, dan jasa keuangan. Tidak mengurangai hak negara meregulasi. (Terkait dengan UU No. 3/2014 tentang Perindustrian; UU No 18/1999 tentang Jasa Konstruksi; UU No. 13/2013 tentang Ketenagakerjaan; UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; UU No. 7/2014 tentang Perdagangan; UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi; UU No.21/2011 tentang Otoritas Jasa keuangan) 8 Investor-state Dispute Settlement (ISDS) Indonesia sedang menggugat derajat preferensi yang dinikmati swasta dalam berbagai ISDS. Perlu menegosiasikan ISDS yang sesuai kepentingan nasional. (Terkait dengan UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal) Opsi of what we want/alternatif strategi: Melakukan perubahan nasional guna menyelesaikan pekerjaan terkait pemenuhan standar tinggi TPP Sementara itu, Indonesia dapat meminta waktu lebih untuk memenuhi standar negosiasi
Indonesia Current Position on TPP Indonesia would join neither TPP nor FTAAP unless they give advantages to Indonesia; we should calculate first before joining the partnerships; we have to determine which products that we will promote in regional economic integration. (Presiden Jokowi, 10 November 2014, APEC Leader Meeting in Beijing). Indonesia is an open economy, and with the 250 million population, Indonesia is the largest economy in Southeast Asia. Indonesia intends to join TPP. (Presiden Jokowi, 27 Oktober 2015, during White House Visit. NY Times)
KESIMPULAN Potensi Indonesia bergabung dalam TPP adalah sebagai berikut: Indonesia akan meraih kembali akses pasar, mempertahankan pangsa pasar dan mendapatkan sumber investasi yang besar di dunia. Indonesia akan memperoleh peluang untuk dapat berpartisipasi lebih besar dalam Global Value Chain (GVC). Indonesia dapat menjalankan agenda reformasi di dalam negeri secara menyeluruh untuk meningkatkan daya saing dengan parameter yang transparan dan jelas seperti perijinan, fasilitasi perdagangan, dll. Tantangan bagi Indonesia dalam TPP adalah sebagai berikut: Tingkat liberalisasi yang tinggi Diperlukan penyesuaian terhadap peraturan dalam negeri terhadap ketentuan TPP. Mulai sempitnya policy space untuk melakukan proteksi demi kepentingan produsen dalam negeri. TPP masih menyediakan ruang fleksibilitas bagi negara anggotanya. Indonesia perlu memanfaatkan fleksibilitas tersebut. Indonesia harus segera melakukan pendalaman komitmen terhadap seluruh isu perundingan baik untuk EU maupun TPP yang ada dan mulai melakukan engagement terhadap isu perundingan baru a.l export duties, government procurement, State-Owned Enterprises, Labor Standards, Animal Welfare, Environment, dan Anti Corruption melalui penyesuaian kebijakan nasional yang positif terhadap GVC. Indonesia-EU CEPA: menetapkan national policy adjustment TPP: aksesi Indonesia ke TPP diperkirakan paling cepat dalam 2 tahun lagi setelah perjanjian TPP diratifikasi oleh semua 12 negara partisipan. Untuk mencapai perundingan TPP, Indonesia perlu melakukan pendekatan berjenjang dimulai dengan dengan menyelesaikan perundingan RCEP (2016) dan memulai perundingan Indonesia – Uni Eropa CEPA (2016 – 2018), dan TPP (2018 – 2020). Perubahan di luar sangat cepat dan semua negara bergerak untuk maju. Engagement dengan EU dan TPP merupakan alarm untuk “bangun” melakukan pembenahan di semua lini kebijakan agar Indonesia dapat mengikuti dinamika kemajuan perekonomian dunia.
TERIMA KASIH http://www.kemendag.go.id/