SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI MAHKAMAH KONSTITUSI DR SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI MAHKAMAH KONSTITUSI DR. Ni’matul Huda, SH, MHum. Bahan Kuliah FH UII 2015
KEWENANGAN & KEWAJIBAN MAHKAMAH KONSTITUSI Pasal 24C UUD 1945 menegaskan “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
PEMILUKADA dalam UUD 1945 & UU No. 32 Th 2004 Di dalam UUD 1945 Pasal 18 ayat(4) ditegaskan: ”Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis” Pasal 56 UU No. 32 Tahun 2004: Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
KEBERATAN TERHADAP HASIL PEMILUKADA DI MAHKAMAH AGUNG Pasal 106 UU No. 32 Tahun 2004: Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil Pemilukada dan wakada Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Pengadilan Tinggi untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan kepada pengadilan negeri untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota.
lanjutan (4) Mahkamah Agung memutus sengketa hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung. (5) Putusan Mahkamah Aghung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat final dan mengikat. (6) Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi untuk memutus sengketa hasil penghitungan suara pemilih kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota (7) Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat final.
SENGKETA PEMILUKADA MENURUT PP No. 6 Tahun 2005 Pasal 94 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, mengatur lebih lanjut perihal sengketa Pemilukada sama dengan yang telah diatur dalam Pasal 106 UU No. 32 Tahun 2004. Perbedaan di antara Pasal 106 UU No. 32 Tahun 2004 dengan Pasal 94 PP No. 6 Tahun 2005 hanya terletak pada ayat (7) yang oleh PP ditegaskan bahwa putusan Pengadilan Tinggi bersifat final dan mengikat, di UU hanya dinyatakan bersifat final.
Pengalihan Penanganan Sengketa Pemilukada Melalui UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 236C ditegaskan ”Penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 bulan sejak undang-undang ini diundangkan.” Pada 29 Oktober 2008, Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Mahkamah Konstitusi bersama-sama telah menandatangani Berita Acara Pengalihan Wewenang Mengadili. Untuk keperluan tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah.
PARA PIHAK DALAM SENGKETA PEMILUKADA DI MK Pasal 3 Peraturan MK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah, para pihak yang mempunyai kepentingan langsung dalam perselisihan hasil Pemilukada adalah: Pasangan Calon sebagai Pemohon; KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota sebagai termohon. Pasangan Calon selain Pemohon dapat menjadi Pihak Terkait dalam perselisihan hasil Pemilukada. Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait dapat diwakili dan/atau didampingi oleh kuasa hukumnya masing-masing yang mendapatkan surat kuasa khusus dan/atau surat keterangan untuk itu.
OBJEK SENGKETA PEMILUKADA di MK Yang menjadi objek perselisihan Pemilukada adalah hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon yang mempengaruhi : penentuan Pasangan Calon yang dapat mengikuti putaran kedua Pemilukada atau terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.
ISI PERMOHONAN SENGKETA Permohonan sekurang-kurangnya memuat uraian yang jelas mengenai: kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon; permintaan/petitum untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon; permintaan/petitum untuk menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon.
Sistem Pemilukada di Beberapa Negara dengan Sistem Presidensial. 1. First Past the Post System Sistem first past the post ini dikenal sebagai sistem yang sederhana dan efisien. Calon kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak otomatis memenangkan Pemilukada dan menduduki kursi kepala daerah. Karenanya sistem ini dikenal juga dengan sistem mayoritas sederhana (simple majority). 2. Preferential Voting System atau Approval Voting System Cara kerja sistem preferential voting atau approval voting adalah pemilih memberikan peringkat pertama, kedua, ketiga dan seterusnya terhadap calon-calon kepala daerah yang ada pada saat pemilihan. Seorang calon akan otomatis memenangkan Pemilukada langsung dan terpilih menjadi kepala daerah jika perolehan suaranya mencapai peringkat pertama yang terbesar.
lanjutan 3. Two Round System atau Run-off System Cara kerja sistem ini pemilihan dilakukan dengan dua putaran (run off) dengan catatan jika tidak ada calon yang memperoleh mayoritas absolut (50%) dari keseluruhan suara dalam pemilihan putaran pertama. 4. Sistem Electoral College Setiap daerah pemilihan diberi alokasi atau bobot suara dewan pemilih (electoral college) sesuai dengan jumlah penduduk. Keseluruhan jumlah suara yang diperoleh tiap calon di setiap daerah pemilihan tersebut dihitung. Pemenang di setiap daerah pemilihan berhak memperoleh keseluruhan suara Dewan Pemilih di daerah pemilihan yang bersangkutan. Calon yang memperoleh suara Dewan Pemilih terbesar akan memenangkan Pemilukada langsung.
lanjutan 5. Sistem (Pemilihan Presiden) Nigeria Seorang calon kepala daerah dinyatakan sebagai pemenang Pemilukada apabila calon bersangkutan dapat meraih suara sederhana dan mengumpulkan sedikitnya 25% dari 2/3 suara dari daerah pemilihan yang ada. Sistem ini merupakan sistem yang memperhatikan kepentingan legitimasi dan efisiensi sekaligus secara proporsional. Sekalipun seseorang dipilih oleh sekurang-kurangnya seperempat dari total pemilih (25 persen) tetapi karena persebarannya sangat luas sehingga representasi pemilih dapat diselamatkan.
Lanjutan Model two round system memang akan mendapatkan hasil yang relatif maksimal di mana pemilih yang hilang akan diminimalisir. Akan tetapi resiko model ini adalah biaya dan waktu yang diperlukan cukup banyak. Model first past the post memiliki legitimasi yang sangat rendah tetapi sangat efisien. Bisa jadi dengan first past the post calon kepala daerah yang menang hanya memperoleh suara kemenangan tipis. Model preferential voting atau juga disebut approval voting sesungguhnya menjadi penengah dari kedua sistem di atas. Dalam hal ini, pemilih diminta untuk melakukan approval untuk satu, dua, atau tiga. Sistem ini tidak begitu rumit dan dilakukan hanya dalam satu putaran. Tetapi karena model ini seperti multiple choice, tidak semua orang bisa memahami bahwa seseorang bisa memilih dua atau tiga sekaligus.
IMPLIKASI PEMILUKADA DUA PUTARAN (1)Kandidat yang bertarung di dalam Pemilukada harus menyediakan biaya, tenaga dan waktu ekstra ketat. (2) Pemilukada dua putaran cenderung melahirkan fragmentasi sosial di dalam masyarakat yang kian ketat. (3) Cenderung melahirkan divided government atau pemerintahan yang terbelah. (4) sistem pemilukada dua putaran juga hanya memberikan jalan mulus bagi incumbent. (5) sistem Pemilukada dua putaran juga mempengaruhi penurunan angka partisipasi pemilih. (6) Pemilukada dua putaran memberikan ruang bagi peningkatan jumlah Golput.
Problem-problem Elektoral yang Ditimbulkan oleh Penggunaan Sistem Dua Putaran Terjadi penguatan intervensi pemerintah pusat dalam menetapkan pasangan calon yang memenangkan Pemilukada. Misalnya adanya keputusan pembatalan pasangan terpilih oleh pemerintah pusat melalui Departemen Dalam Negeri. Munculnya arogansi partai besar pasca pelaksanaan Pemilukada, jika Pemilukada dimenangi oleh partai kecil. Munculnya strong man atau orang kuat dibalik kepala daerah terpilih. Munculnya fenomena calon tunggal yang disebabkan oleh adanya dominasi dan hegemoni yang merupakan gabungan antara kekuasaan dan modal.
Lanjutan 5. Munculnya ancaman perang adat, sebagai bentuk ketidakpuasan kelompok yang kalah dalam Pemilukada. 6. Munculnya fenomena jeratan birokrasi, di mana calon yang memenangkan Pemilukada dianulir dengan keputusan pengadilan yang bersifat memihak dan tidak netral.
PELANGGARAN PEMILUKADA YANG SISTEMATIS, TERSTRUKTUR DAN MASIF Pelanggaran Pemilukada yang bersifat sistematis, artinya pelanggaran ini benar-benar direncanakan secara matang (by design) Pelanggaran Pemilukada yang bersifat terstruktur, artinya pelanggaran ini dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun aparat penyelenggara Pemilukada secara kolektif bukan aksi individual. Pelanggaran Pemilukada yang bersifat masif, artinya dampak pelanggaran ini sangat luas dan bukan sporadis.
Menurut Mukhti Fadjar: Pelanggaran Pemilukada yang bersifat sistematis, terstruktur dan masif merupakan pelanggaran-pelanggaran yang memang direncanakan sejak semula, baik oleh negara, penyelenggara Pemilukada maupun peserta Pemilukada, bersifat meluas dan benar- benar merusak sendi-sendi Pemilu yang ‘luber’ dan ‘jurdil’. Dengan demikian bukan pelanggaran yang hanya bersifat insidental, individual dan sporadis yang dalam batas-batas wajar masih dapat ditoleransi.
Menurut Maruarar Siahaan: Terstruktur diartikan pelanggaran yang dilakukan dalam struktur pemerintahan atau struktur partai politik dari tataran tertinggi sampai terrendah untuk memenangkan salah satu pasangan calon. Sistematis diartikan suatu sistem yang dirancang dengan matang. Sedangkan masif berarti dilakukan di wilayah luas dan komprehensif di seluruh kecamatan di kabupaten bersangkutan yang meliputi RT, RW, Desa, dan Kelurahan secara merata.
Menurut Topo Santoso Pelanggaran dalam Pemilukada dapat dibagi menjadi tiga kategori. “Pertama, pelanggaran dalam proses yang tidak berpengaruh atau tidak dapat ditaksir pengaruhnya terhadap hasil suara pemilu, seperti pembuatan baliho, kertas simulasi yang menggunakan lambang dan alat peraga yang tidak sesuai dengan tata cara yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Untuk jenis pelanggaran ini MK tidak dapat menjadikannya sebagai dasar pembatalan hasil perhitungan yang ditetapkan oleh KPU atau KPU Provinsi/Kabupaten/Kota. Hal ini sepenuhnya menjadi ranah peradilan umum atau PTUN.
Lanjutan Kedua, pelanggaran yang berpengaruh terhadap hasil pemilu, seperti money politic, keterlibatan oknum pejabat atau PNS, dugaan pidana pemilu, manipulasi suara, intimidasi, dan sebagainya. Pelanggaran seperti itu dapat membatalkan hasil pemilu sepanjang berpengaruh secara signifikan, yakni karena terjadi secara terstruktur, sistematis dan massif yang ukurannya telah ditetapkan dalam berbagai putusan MK. Berbagai pelanggaran yang sifatnya tidak signifikan mempengaruhi pemilu, seperti yang bersifat sporadis, parsial, perorangan, dan hadiah-hadiah yang tidak bias dibuktikan pengaruhnya terhadap pilihan pemilih, tidak dijadikan dasar oleh MK untuk membatalkan hasil perhitungan oleh KPU.
Lanjutan Ketiga, pelanggaran tentang persyaratan menjadi calon yang bersifat prinsip dan dapat diukur (seperti syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara dan syarat keabsahan dukungan bagi calon independen). Pelanggaran ini dapat dijadikan dasar untuk membatalkan hasil pemilu karena ada pesertanya yang tidak memenuhi syarat sejak awal.”