Kedudukan Wanita Dalam Keluarga Minggu Keenam
Di zaman jahiliyyah wanita dianggap sebagai aib keluarga, sehingga saat bayi wanita lahir kedunia maka ayahnya akan menguburnya hidup-hidup. Kedatangan Islam memang membawa wanita ke dalam derajat yang lebih tinggi. Banyak dalil-dalil yang menunjukkan: Rasulullah s.a.w. bersabda “Empat hal yang jika diberikan pada seseorang, maka ia akan mendapatkan dua kebaikan di dunia dan di akhirat. Empat hal tersebut adalah hati yang bersyukur, lisan yang selalu berzikir, sabar atas segala cubaan yang menimpa dan isteri yang dapat menjaga diri serta dan kewangan suami.” Nabi s.a.w. bersabda lagi “Wanita terbaik adalah yang jika kamu melihatnya kamu merasa bahagia, jika kamu memerintah kepadanya maka dia taat padamu dan jika dia tidak ada di sampingmu, maka dia akan menjaga hartamu dan kehormatanmu.” Rasulullah s.a.w. kemudian membaca ayat dari surah An- Nisaa “Maka perempuan-perempuan yang solehah adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri di saat ketiadaan suaminya, karena Allah telah menjaga mereka.”(An-Nisaa:34)
Kedudukan wanita sebagai isteri Islam juga memandang seorang isteri sebagai hal yang sangat berharga bagi suaminya, terlebih lagi seorang wanita yang menjadi isteri solehah. Ianya diumpamakan sebagai perhiasan dunia. Rasulullah s.a.w. bersabda: “Dunia adalah perhiasan (kesenangan) dan sebaik-baik perhiasan (kesenangan) dunia adalah wanita (istri) shalihah.” (HR. Muslim) Dalam salah satu hadits Bukhari juga disebutkan bahwa ternyata isteri merupakan pemimpin dalam rumah suaminya dan bertanggung jawab atas segala yang terjadi didalamnya. Sabdanya: “Istri adalah pemimpin di dalam rumah suaminya dan dia betanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari)
Pertama: Mentaati perintah suami Isteri yang taat pada suami, adalah isteri yang senang dipandang dan tidak membangkang sehingga mendatangkan kebencian. Dari Abu Hurairah r.a. dia berkata, قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ Pernah ditanya kepada Rasulullah s.a.w. “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Iaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menentang suami dan hartanya sehingga membuat suami merasa benci” (HR. An-Nasai)
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ Begitu pula tempat seorang wanita di akhirat nanti dapat dilihat dari sikapnya terhadap suaminya. Namun ketaatan isteri pada suami tidaklah mutlak. Jika isteri diperintah suami untuk tidak berhijab, meninggalkan solat lima waktu atau bersetubuh di saat haidh, maka perintah dalam maksiat semacam ini tidak boleh ditaati. Rasulullah s.a.w. bersabda: لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ “Tidak ada ketaatan dalam perkara maksiat. Ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (kebaikan).” (HR. Bukhari dan Muslim) Rasulullah s.a..w. juga memperingatkan dalam sabdanya: لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah.” (HR. Ahmad)
Kedua: Berdiam di rumah dan tidak keluar kecuali dengan izin suami Allah s. w.t. berfirman, وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (Al Ahzab: 33). Seorang istri tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Samada untuk mengunjungi kedua orang tuanya atau pun untuk keperluan yang lain.
Ketiga: Taat pada suami ketika diajak ke tempat tidur Dari Abu Hurairah, Nabi s.a.w. bersabda, إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِىءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ “Jika seorang pria mengajak istrinya ke ranjang, lantas si istri enggan memenuhinya, maka malaikat akan melaknatnya hingga waktu Shubuh” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat Muslim disebutkan dengan lafazh, وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا “Demi zat yang jiwaku berada di tanganNya, tidaklah seorang suami memanggil isterinya ke tempat tidurnya lalu si isteri menolak ajakan suaminya melainkan yang di langit (penduduk langit) murka pada isteri tersebut sampai suaminya ridha kepadanya.” (HR. Muslim)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ini adalah dalil haramnya wanita enggan mendatangi tempat tidur jika tiada keuzuran. Termasuk ketika di dalam keadaan haid, kerana suami masih dibenarkan menikmati isteri di atas kemaluannya” Namun jika isteri ada halangan, seperti sakit atau kepenatan, maka itu termasuk uzur dan suami harus memaklumi dan memahami keadaan ini.
Keempat: Tidak mengizinkan orang lain masuk rumah kecuali dengan izin suami Pesan Rasulullah s.a.w. pada haji Wada’, فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ “Bertakwalah kalian dalam urusan para wanita (istri-istri kalian), karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas mereka adalah mereka tidak boleh mengizinkan seorang pun yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian” (HR. Muslim) Dalam lafaz Ibnu Hibban disebutkan hadits dari Abu Hurairah, لاَ تَأْذَنُ المَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَهُوَ شَاهِدُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ “Tidak boleh seorang wanita mengizinkan seorang pun untuk masuk di rumah suaminya sedangkan suaminya ada melainkan dengan izin suaminya.”
Kelima: Tidak berpuasa sunnah ketika suami ada kecuali dengan izin suami Para fuqaha telah sepakat bahwa seorang wanita tidak diperkenankan untuk melaksanakan puasa sunnah melainkan dengan izin suaminya. Dalam hadith yang muttafaqun ‘alaih, dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah s.a.w. bersabda: لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، وَلاَ تَأْذَنَ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ ، وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُه “Tidak halal bagi seorang isteri untuk berpuasa (sunnah), sedangkan suaminya ada kecuali dengan izinnya. Dan ia tidak boleh mengizinkan orang lain masuk rumah suami tanpa izin darinya. Dan jika ia menafkahkan sesuatu tanpa ada perintah dari suami, maka suami mendapat setengah pahalanya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam lafaz lainnya disebutkan, لاَ تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ غَيْرَ رَمَضَانَ “Tidak boleh seorang wanita berpuasa selain puasa Ramadhan sedangkan suaminya sedang ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya” (HR. Bukhari dan Muslim”) Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan izin adalah dengan redha suami. Ini kerana redha suami sama dengan izinnya.
Ulama Hanafiyah: menganggapnya makruh tahrim. Beberapa Permasalahan Yang Timbul Dari Isu Ini: Imam Ibn Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud larangan puasa tanpa izin suami di sini adalah untuk puasa selain puasa di bulan Ramadhan. Adapun jika puasanya adalah yang wajib, dilakukan di luar Ramadhan dan waktunya masih lapang untuk menunaikannya, maka tetap harus dengan izin suami. Dalam kitab Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah disebutkan dengan beberapa pandangan: Jumhur majoriti fuqaha: Jika seorang wanita menjalankan puasa (selain puasa Ramadhan) tanpa izin suaminya, puasanya tetap sah, namun ia telah melakukan keharaman. Ulama Hanafiyah: menganggapnya makruh tahrim. Ulama Syafi’iyah: menyatakan seperti itu haram jika puasanya berulang kali. Akan tetapi jika puasanya tidak berulang kali (ertinya, memiliki batasan waktu tertentu) seperti puasa ‘Arafah, puasa ‘Asyura, puasa enam hari di bulan Syawal, maka boleh dilakukan tanpa izin suami, kecuali jika memang suami melarangnya.
Semasa Ketiadaan suami di rumah atau sedang berhalangan: Berdasarkan pemahaman dalil yang telah disebutkan, jika suami tidak di tempat, maka isteri tidak perlu meminta izin pada suami ketika ingin melakukan puasa Sunnah seperti ketika suami sedang bersafar, sedang sakit, sedang berihram atau suami sendiri sedang puasa Seandainya suami sedang di dalam keadaan tidak mampu melakukan jima’ (hubungan badan). Seperti keadaan ihram terlarang untuk jima’, begitu pula ketika suami sedang puasa. Hikmah Mengapa Harus dengan Izin Suami: Ibn Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan: Menunaikan hak suami itu lebih utama daripada menjalankan kebaikan yang hukumnya sunnah. Hak suami adalah suatu kewajiban. Menjalankan yang wajib tentu mesti didahulukan dari menjalankan ibadah yang sifatnya Sunnah.
Keenam: Tidak menginfakkan harta suami kecuali dengan izinnya Nabi s.a.w. bersabda: “Janganlah seorang wanita menginfakkan sesuatu dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya” (HR. Tirmidzi) Ketujuh: Berkhidmat pada suami dan anak-anaknya Seorang isteri membantu suaminya dalam kehidupannya seperti yang dilakukan Asma` bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq r.a. yang berkhidmat kepada suaminya, Az-Zubair ibnul ‘Awwam r.a. Dia mengurusi haiwan tunggangan suaminya, memberi makan dan minum kudanya serta memikul tepung biji-bijian dari tanah milik suaminya sementara jarak tempat tinggalnya dengan tanah tersebut sekitar 2/3 farsakh ” (HR. Bukhari dan Muslim)
فَباَرَكَ اللهُ لَكَ – أَوْ: خَيْرًا – Demikian pula khidmat Fathimah binte Rasulullah s.a.w. di rumah suaminya, Ali bin Abi Thalib r.a sehingga kedua tangannya melecet kerana menggiling gandum. (HR. Bukhari dan Muslim) Sahabat Rasulullah s.a.w. Jabir bin Abdillah r.a., menikahi seorang janda agar boleh membantunya menguruskan 7 atau 9 saudara perempuannya yang masih belia. Kata Jabir kepada Rasulullah s.a.w., “Ayahku, Abdullah, telah wafat dan dia meninggalkan banyak anak perempuan. Aku tidak suka mendatangkan di tengah-tengah mereka wanita yang sama dengan mereka. Maka aku pun menikahi seorang wanita yang boleh mengurus dan merawat mereka.” Rasulullah s.a.w. mendoakan Jabir, فَباَرَكَ اللهُ لَكَ – أَوْ: خَيْرًا – “Semoga Allah memberkahimu.” Atau beliau berkata, “Semoga kebaikan untukmu.” (HR. Muslim )
Kelapan: Bersyukur dengan pemberian suami Seorang isteri harus berterima kasih kepada suaminya atas semua yang telah diberikan kepadanya, agar tidak berhadapan dengan ancaman buruk Allah s.w.t. Nabi s.a.w. bersabda setelah selesai dari solat Kusuf (solat Gerhana), baginda menceritakan tentang syurga dan neraka yang diperlihatkan kepada beliau ketika solat, وَرَأَيْتُ النَّارَ فَلَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ مَنْظَرًا قَطُّ وَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ. قَالُوا: لِمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: بِكُفْرِهِنَّ. قِيْلَ: يَكْفُرْنَ بِاللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ اْلإِحْسَانَ، لَوْ أَََحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ “Dan aku melihat neraka. Aku belum pernah sama sekali melihat pemandangan seperti hari ini. Dan aku lihat ternyata kebanyakkan penghuninya adalah para wanita.” Mereka bertanya, “Kenapa para wanita menjadi kebanyakkan penghuni neraka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Disebabkan kekufuran mereka.” Ada yang bertanya kepada beliau, “Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?” Beliau menjawab, “(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami). Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang isteri kalian pada suatu waktu, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata, ‘Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu’.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kesembilan: Tidak mengungkit-ngungkit pemberian yang diinfakkan kepada suami dan anak-anaknya dari hartanya Allah s.w.t. berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)” (QS. Al Baqarah: 264). Kesepuluh: Redha dengan yang sedikit, memiliki sifat qona’ah (merasa cukup) dan tidak membebani suami lebih dari kemampuannya Allah s.w.t. berfirman, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath Tholaq: 7)
Kesebelas: Berdandan cantik dan berhias diri di hadapan suami Sebagian istri saat ini di hadapan suami bergaya seperti tentara, berbau arang (alias: dapur) dan jarang mau berhias diri. Namun ketika keluar rumah, ia keluar bagai bidadari. Ini sungguh terbalik. Seharusnya di dalam rumah, ia berusaha menyenangkan suami. Demikianlah yang dinamakan sebaik-baik wanita. Dari Abu Hurairah r.a. dia berkata, قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ Pernah ditanyakan kepada Rasulullah s.a.w., “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Iaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai dan Ahmad)
Kedua belas: Berkabung ketika meninggalnya suami selama 4 bulan 10 hari Allah s.w.t. berfirman, وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّـهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (Al Baqarah: 234) Rasul s.a.w bersabda, لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا “Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, yaitu (selama) empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari dan Muslim)