a. Segi Hukum Perdata Pada setiap kegiatan usaha pembiayaan, termasuk juga kartu kredit, inisiatif mengadakan hubungan kontraktual berasal dari para pihak terutama konsumen sbg pembeli. Dgn demikian, kehendak para pihak pula menjadi sumber hukumnya. Kehendak para pihak tersebut dituangkan dlm bentuk tertulis berupa rumusan perjanjian yang menetapkan hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam hubungan penerbitan dan penggunaan kartu kredit. Dalam perundang-undangan juga diatur mengenai hak dan kewajiban para pihak dan hanya akan berlaku sepanjang para pihak tidak menentukan lain secara khusus dalam kontrak yang dibuat. Dengan demikian, ada dua (2) sumber hukum perdata yang mendasari kartu kredit, yaitu asas kebebasan berkontrak dan perundang-undangan bidang hukum perdata.
1. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan hukum perjanjian dapat diklasifikasikan menjadi (dua) jenis, yaitu asas kebebasan berjanji dalam arti yang luas (secara lisan dan tertulis). Hubungan hukum kartu kredit selalu dibuat tertulis sebagai dokumen hukum yang menjadi dasar kepastian hukum (legal certainty). Dalam hubungan hukum kartu kredit selalu terdapat 2 (dua) perjanjian, yaitu perjanjian penerbitan kartu kredit dan perjanjian penggunaan kartu kredit. Kedua perjanjian tersebut dibuat berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Perjanjian penerbitan kartu kredit adalah persetujuan bilateral antara Bank/Perusahaan Pembiayaan sbg Penerbit dan Pemegang Kartu sbg pihak peminjam uang. Sebelum terjadi persetujuan, calon pemegang kartu mempelajari lebih dahulu syarat-syarat yang berlaku thd kartu kredit.
2. Undang-undang Bidang Hukum Perdata Perjanjian kartu kredit adalah salah satu bentuk perjanjian khusus yang tunduk pada ketentuan Buku III KUHPdt. Sumber hukum utama kartu kredit adalah perjanjian pinjam pakai habis dan perjanjian jual beli bersyarat yang diatur dalam Buku III KUHPdt. Kedua sumber hukum utama tersebut akan dibahas dalam konteksnya dengan kartu kredit. a. Perjanjian Pinjam Pakai Habis Perjanjian penerbitan kartu kredit antara penerbit dan pemegang kartu dapat digolongkan kedalam “perjanjian pinjam pakai habis” yang diatur dalam Pasal 1754-1773KUHPdt. “ Pinjam pakai habis adalah perjanjian, dengan mana pemberi pinjaman menyerahkan sejumlah barang pakai habis kepada peminjam dengan syarat bahwa peminjam akan mengembalikan barang tersebut kepada pemberi pinjaman dalam jumlah dan keadaan yang sama”.
b. Perjanjian Jual Beli Bersyarat Perjanjian penggunaan kartu kredit adalah perjanjian 3 (tiga) pihak antara pemegang kartu sebagai pembeli, perusahaan dagang sebagai penjual dan penerbit sebagai pembayar. Perjanjian ini merupakan perjanjian accessoir dari perjanjian penerbitan kartu kredit sebagai perjanjian pokok. Perjanjian ini digolonkan kedalam perjanjian jual beli yang diatur dalam Pasal 1457-1518KUHPdt tetapi pelaksanaan pembayaran digantungkan pada syarat yang disepakati dalam perjanjian pokok, yaitu perjanjian penerbitan kartu kredit. Dalam Pasal 1513 KUHPdt ditentukan, pembeli wajib membayar harga pembelian pada waktu dan ditempat yang ditetapkan menurut perjanjian.
c. Segi Perdata diluar KUHPdt Selain dari ketentuan-ketentuan dalam Buku III KUHPdt yang relevan dengan kartu kredit, ada juga ketentuan-ketentuan dalam berbagai undang-undang diluar KUHPdt yang mengatur aspek perdata perjanjian penerbitan dan penggunaan kartu kredit. Undang-undang yang dimaksud adalah : 1. UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan peraturan pelaksanaannya. Berlakunya undang-undang ini apabila perusahaan kartu kredit berbentuk perusahaan perseroan (persero). 2. UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksananya. Berlakunya undang- undang ini apabila perusahaan kartu kredit berbentuk perseroan terbatas (PT). 3. UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Berlakunya undang-undang ini apabila perusahaan kartu kredit melanggar kewajiban dan larangan yang secara perdata merugikan konsumen.
b. Segi Hukum Publik Sebagai usaha yang bergerak dibidang jasa pembaiayaan, kartu kredit juga banyak menyangkut kepentingan publik (negara/pemerintah) terutama yang bersifat administratif. Oleh karena itu, kepentingan publik banyak diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan administrasi negara. 1. Undang-undang Bidang Hukum Publik a. UU No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan dan peraturan pelaksanaannya. Berlakunya undang-undang ini karena perusahaan kartu kredit melakukan pendaftaran, pendaftaran ulang, dan pendaftaran likuidasi perusahaan. b. UU No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan. Berlakunya undang-undang ini karena perusahaan kartu kredit wajib melaksanakan pembukuan dan pemeliharaan dokumen perusahaan.
c. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-undang c. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Berlakunya undang-undang ini apabila perusahaan kartu kredit adalah bank atau berurusan dengan bank. 2. Peraturan tentang Lembaga Pembiayaan Peraturan tentang Lembaga Pembiayaan mengatur bidang usaha, pendirian dan perijinan, modal usaha, kepemilikan saham, pembatasan kegiatan usaha pengawasan dan pembinaan, sanksi karena pelanggaran Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 Keputusan Presiden ini mengatur tentang Lembaga Pembiayaan. Dalam keputusan presiden tersebut, kartu kredit merupakan salah satu jenis usaha dari lembaga pembiayaan yang berbentuk perusahaan kartu kredit. BH perusahaan kartu kredit adalah PT atau Koperasi.
b. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251 Tahun 1988 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251 Tahun 1988 mengatur tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan pembiayaan. Kemudian keputusan tersebut diubah dan disempurnakan oleh Keputusan Menteri Keuangan Nomor 468 Tahun 1995.
KEWAJIBAN PENERBIT KARTU KREDIT Pasal 16 Peraturan Bank Indonesia No. 11/11/PBI/2009 mencantumkan bahwa penerbit kartu kredit wajib memberikan informasi secara tertulis kepada pemegang kartu kredit, sekurang-kurangnya meliputi : 1. prosedur dan tata cara penggunaan kartu kredit 2. hal-hal penting yang harus diperhatikan oleh pemegang kartu dalam penggunaan kartunya dan konsekuensi atau risiko yang mungkin timbul dari penggunaan kartu kredit. 3. hak dan kewajiban pemegang kartu. 4. tata cara pengajuan pengaduan atas kartu kredit yang diberikan dan perkiraan lamanya waktu penanganan pengaduan tersebut. 5. komponen dalam penghitungan bunga. 6. komponen dalam penghitungan denda, dan 7. jenis dan besarnya biaya administrasi yang dikenakan.
Selanjutnya pada Pasal 18 Peraturan Bank Indonesia No. 11/11/ PBI/2009 tersebut dicantumkan bahwa penerbit kartu kredit dilarang memberikan fasilitas yang mempunyai dampak tambahan biaya kepada pemegang kartu dan/ atau memberikan fasilitas lain di luar fungsi utama kartu kredit, tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang kartu. Ketentuan tersebut sejalan dengan Pasal 10 butir a UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang melarang pelaku usaha menawarkan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai harga atau tarif suatu barang dan/ atau jasa.
Pasal 17 ayat (5) PBI No. 11/11/PBI/2009 menyebutkan bahwa penerbit kartu kredit wajib menjamin bahwa penagihan atas transaksi kartu kredit, baik penagihan yang dilakukan sendiri oleh penerbit kartu maupun dengan menggunakan jasa pihak lain, harus Dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia.
Bertitik tolak dari ketentuan ini maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat peraturan perundang-undangan yang melarang penyerahan tagihan saldo kartu kredit kepada pihak ketiga untuk ditindak-lanjuti. Meskipun penyerahan hak untuk menagih saldo kartu kredit kepada pihak ketiga (debt collector) diperkenankan, namun harus diingat bahwa terdapat batasan langkah-langkah yang dapat ditempuh pihak ketiga tersebut. Pada dasarnya timbulnya hak pihak ketiga untuk menagih saldo kartu kredit didasarkan pada pemberian kuasa dari penerbit kartu kredit.
Mengenai pemberian kuasa ini, Pasal 1792 KUHPerdata menyebutkan bahwa: “Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang yang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”. Adanya pemberian kuasa untuk bertindak demi dan atas nama pemberi kuasa merupakan hal yang lazim dalam transaksi perdata. Tentunya pemberian kuasa disertai dengan klausula tindakan-tindakan apa yang dapat diperkenankan (positive covenants) dan tindakan-tindakan apa yang tidak dapat dilakukan pemegang kuasa (negative covenants).
Pengawasan penyelenggaraan kegiatan kartu kredit dilakukan oleh Bank Indonesia dengan tujuan untuk memastikan bahwa penyelenggaraan kegiatan kartu kredit tersebut dilakukan secara efisien, cepat, aman dan andal, dengan memperhatikan prinsip perlindungan kepada nasabah. Obyek dari pengawasan yang dilakukan mencakup kegiatan prinsipal, penerbit, acquirer, penyelenggara kegiatan kliring kartu kredit, dan penyelenggara kegiatan penyelesaian akhir kartu kredit.
Pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia difokuskan pada : 1. penerapan aspek manajemen risiko. 2. kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku, termasuk kebenaran dan ketepatan penyampaian informasi berikut laporan, dan 3. penerapan aspek perlindungan nasabah.
Adapun metode pengawasan Bank Indonesia atas penyelenggaraan kegiatan kartu kredit dilakukan melalui : a. Penelitian, analisis dan evaluasi, antara lain yang didasarkan pada laporan berkala, laporan insidentil, data dan/ atau informasi lainnya yang diperoleh Bank Indonesia dari pihak lain, serta diskusi dengan pihak-pihak prinsipal, penerbit, acquirer, penyelenggara kegiatan kliring kartu kredit, dan penyelenggara kegiatan penyelesaian akhir kartu kredit. b. Pemeriksaan ( on site visit ) terhadap pihak-pihak yang menjadi obyek pengawasan untuk mencocokkan kebenaran data dengan fakta di lapangan, serta melihat sarana fisik, sistem, aplikasi pendukung dan database. Dalam hal diperlukan, pemeriksaan ( on site visit ) dapat juga dilakukan terhadap pihak-pihak yang melakukan kerjasama dengan obyek pengawasan.
c. Pertemuan konsultasi ( consultative meeting ) dengan pihak-pihak yang menjadi obyek pengawasan dalam rangka untuk mendapatkan informasi mengenai penyelenggaraannya dan menyampaikan saran-saran yang dianggap perlu. d. Pembinaan terhadap pihak - pihak prinsipal, penerbit, acquirer, penyelenggara kegiatan kliring kartu kredit, dan penyelenggara kegiatan penyelesaian akhir kartu kredit.
Kartu kredit merupakan alat pembayaran, yang diberikan penerbit kepada pemegang kartu kredit, dan hubungan hukum di antara kedua belah pihak didasarkan atas perjanjian. Baik pihak penerbit maupun pemegang kartu kredit sama-sama mempunyai hak dan kewajibannya masing-masing. Apabila di antara kedua belah pihak tidak menunaikan kewajibannya dengan baik, maka hal itu harus dianggap sebagai suatu perbuatan ingkar janji ( wanprestasi ).