ASPEK HPI DALAM JUAL BELI INTERNASIONAL DAN PENYELESAIAN SENGKETA PERTEMUAN - 13
Pendahuluan Transaksi-tansaksi atau hubungan dagang banyak bentuknya. Dari berupa hubungan jual beli barang, pengiriman dan penerimaan barang, produksi barang dan jasa berdasarkan suatu kontrak, dll. Semua transaksi tersebut sarat dengan potensi melahirkan sengketa. Umumnya sengketa-sengketa dagang kerap didahului oleh penyelesaian dengan negosiasi. Manakala cara penyelesaian ini gagal atau tidak berhasil, barulah ditempuh cara-cara lainnya seperti penyelesaian melalui pengadilan atau arbitrase.
Hukum Perdata Internasional adalah termasuk dalam kelompok hukum privat. Karena menyangkut hukum privat, maka Hukum Perdata Internasional tersebut juga mengatur hubungan hukum antar pihak (party) dalam suatu kontrak yang timbul dari hukum perikatan. Hukum Perdata Internasional memiliki dimensi yang lebih luas dari sekedar yurisdiksi dalam satu negara.
Menurut S. Gautama, Hukum Perdata Internasional adalah hukum perdata untuk hubungan-hubungan internasional.
Hukum Kontrak, sebagai bagian dari hukum perdata memiliki beberapa asas yang bersifat universal seperti asas kebebasan berkontrak (party authonomy), kontrak mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, serta asas sepakat.
Para pihak yang terlibat dalam kontrak atau perjanjian dimana isi yang diperjanjikan melewati batas satu negara, dalam hal timbul suatu sengketa perlu menetapkan terlebih dahulu cara-cara untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Salah satu upaya untuk menyelesaikan sengketa adalah dengan arbitrase.
Menurut Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa umum, yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Adapun perjanjian arbitrase diartikan sebagai suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Kesepakatan atau aturan main yang perlu disepakati dalam arbitrase tersebut adalah menyangkut pilihan hukum (choice of law), pilihan forum (choice of jurisdiction) dan pilihan domisili (choice of domicile).
Namun, sekalipun telah ada kesepakatan di depan atas cara-cara penyelesaian sengketa tersebut, dalam implementasinya tidaklah mudah. Komplikasi yang muncul terutama dari pihak yang tidak menerima hasil arbitrase antara lain adalah menyangkut kompetensi para pihak, kompetensi pengadilan, prosedur (proceedings) beracara, materi yang dipersengketakan, sampai kepada daya eksekusi dari putusan arbitrase tersebut.
Hukum Kontrak Internasional, sebagai bagian dari hukum perdata Internasional, pada dasarnya adalah hukum kontrak nasional, dimana ada unsur asingnya. Setiap negara memiliki kedaulatan hukum tersendiri, dan tidak ada satu sistem hukum dimana seluruh negara menundukkan diri terhadapnya. Dengan demikian, sistem hukum nasional, termasuk pengaturan dan kedaulatan pemerintah suatu negara dalam mengartikan kepentingan publik, tidak boleh diabaikan dalam membuat suatu kontrak yang berdimensi Internasional.
Pendapat Sudargo Gautama yang memandang kontrak internasional sebagai bagian dari sistem kontrak nasional telah diakui sebagai doktrin.
Dalam kontrak kontrak berdimensi internasional, penentuan pilihan hukum (choice of law) adalah sangat penting untuk menghindarkan terjadinya conflict of law, mengingat para pihak yang terlibat, tempat transaksi dan sistem hukum yang terkait berbeda-beda dan bahkan mungkin bertentangan atau berkebalikan antar satu jurisdiksi hukum dengan jurisdiksi hukum lainnya.
Ruang lingkup arbitrase Pengakuan sistem peradilan di Indonesia akan arbitrase telah berlangsung sejak jaman kolonial. Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif dalam penyelesaian sengketa keperdataan telah mendapat pengakuan formal yuridis dalam sistem hukum Indonesia.
Konvensi New York 1958 yaitu konvensi pengakuan atas pelaksanaan putusan arbitrase luar negeri yang telah diterima/ diaksesi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden no. 34 tahun 1981 dan merupakan pengakuan resmi arbitrase internasional dalam sistem tata hukum nasional di Indonesia.
Mengapa Arbitrase Dipilih? Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral. Pihak ketiga ini bisa individu, arbitrase terlembaga atau arbitrase sementara (ad hoc). Badan arbitrase dewasa ini sudah semakin populer. Dewasa ini arbitrase semakin banyak digunakan dalam menyelesaikan sengketa- sengketa dagang nasional maupun internasional.
Alasan utama mengapa badan arbitrase ini semakin banyak dimanfaatkan kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang pertama dan terpenting adalah penyelesaiannya yang relatif lebih cepat daripada proses berperkara melalui pengadilan. Dalam arbitrase tidak dikenal upaya banding, kasasi atau peninjauan kembali seperti yang kita kenal dalam sistem peradilan kita. Putusan arbitrase sifatnya final dan mengikat. Kecepatan penyelesaian ini sangat dibutuhkan oleh dunia usaha. Keuntungan lainnya dari penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini adalah sifat kerahasiaannya. Baik kerahasiaan mengenai persidangannya maupun kerahasiaan putusan arbitrasenya.
Dalam penyelesaian melalui arbitrase, para pihak memiliki kebebasan untuk memilih ‘hakimnya’ (arbiter) yang menurut mereka netral dan akhli atau spesialis mengenai pokok sengketa yang mereka hadapi. Pemilihan arbiter sepenuhnya berada pada kesepakatan para pihak. Biasanya arbiter yang dipilih adalah mereka yang tidak saja ahli tetapi juga ia tidak selalu harus ahli hukum. Bisa saja ia menguasai bidang-bidang lainnya. Ia bisa insinyur, pimpinan perusahaan (manajer), ahli asuransi, ahli perbankan, dll.
Keuntungan lainnya dari badan arbitrase ini adalah dimungkinkannya para arbiter untuk menerapkan sengketanya berdasarkan kelayakan dan kepatutan (apabila memang para pihak menghendakinya). Dalam hal arbitrase internasional, putusan arbitrasenya relatif lebih dapat dilaksanakan di negara lain dibandingkan apabila sengketa tersebut diselesaikan melalui misalnya pengadilan. Hal ini dapat terwujud antara lain karena dalam lingkup arbitrase internasional ada perjanjian khusus mengenai hal ini, yaitu Konvensi New York 1958 mengenai Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.
Perjanjian Arbitrase Dalam praktik, biasanya penyerahan sengketa ke suatu badan peradilan tertentu, termasuk arbitrase, termuat dalam klausul penyelesaian sengketa dalam suatu kontrak. Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan suatu submission clause, yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang telah lahir. Alternatif lainnya, atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian sebelum sengketanya lahir (klausul arbitrase atau arbitration clause).
Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa klausul arbitrase melahirkan jurisdiksi arbitrase. Artinya, klausul tersebut memberi kewenangan kepada arbitrator untuk menyelesaikan sengketa. Apabila pengadilan menerima suatu sengketa yang di dalam kontraknya terdapat klausul arbitrase, maka pengadilan harus menolak untuk menangani sengketa.
Lembaga-lembaga Arbitrase Peran arbitrase difasilitasi oleh adanya lembaga-lembaga arbitrase internasional terkemuka. Badan-badan tersebut misalnya adalah the London Court of International Arbitration (LCIA), the Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce (ICC) dan the Arbitration Institute of the Stockholm Chamber of Commerce (SCC). Di samping kelembagaan, pengaturan arbitrase sekarang ini ditunjang pula oleh adanya sutau aturan berabitrase yang menjadi acuan bagi banyak negara di dunia, yaitu Model Law on International Commercial Arbitration yang dibuat oleh the United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL).
Pengadilan (Nasional dan Internasional) Metode yang memungkinkan untuk menyelesaikan sengketa selain cara-cara tersebut di atas adalah melalui pengadilan nasional atau internasional. Penggunaan cara ini biasanya ditempuh apabila cara- cara penyelesaian yang ada ternyata tidak berhasil. Penyelesaian sengketa dagang melalui badan peradilan biasanya hanya dimungkinkan manakala para pihak sepakat. Kesepakatan ini tertuang dalam klausul penyelesaian sengketa dalam kontrak dagang para pihak.
Kemungkinan kedua, para pihak dapat menyerahkan sengketanya kepada badan pengadilan internasional. Salah satu badan peradilan yang menangani sengketa dagang ini misalnya saja adalah WTO. Namun perlu ditekankan di sini, WTO hanya menangani sengketa antar negara anggota WTO. Umumnya pun sengketanya lahir karena adanya suatu pihak (pengusaha atau negara) yang dirugikan karena adanya kebijakan perdagangan negara lain anggota WTO yang merugikannya.
Makna arbitrase yang menjadi pilihan para pihak dalam kontrak adalah : Arbitrase adalah suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang dipilih oleh para pihak. Arbitrase adalah pranata swasta (private tools) atau ekstra-judisial atau mekanisme penyelaian di luar pengadilan Eksistensi arbitrase adalah pada prinsip kemandirian yang dimilikinya
Sumber atau dasar hukum jurisdiksi dan ruang lingkupnya adalah ditentukan dan dibatasi oleh kehendak para pihak sendiri, dalam arti para pihak yang bersengketa dapat menentukan sendiri aturan hukum yang akan diberlakukan, dengan prosedur atau hukum acara apa, maupun dapat menyepakati lain dengan cara bagaimana arbitrase dijalankan.
Pembatasan terhadap efektivitas arbitrase Pilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dimaksudkan para pihak untuk mendapatkan penyelesaian sengketa yang cepat, murah dan efektif. Kesepakatan para pihak tersebut diharapkan tidak akan diingkari – sesuai dengan asas pacta sunt servanda – mana kala ada sengketa, untuk menyelesaikannya melalui jalur arbitrase.
Namun demikian, pihak yang dikalahkan dalam arbitrase, sering kali men-challenge keputusan arbitrase, baik atas dasar bahwa arbitrase tidak memiliki kewenangan dalam memutuskan materi yang menjadi objek sengketa, atau para arbiter bertindak tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, cover both side atau impartialitas. Lebih jauh lagi, sering keputusan murni bisnis dalam arbitrase, dikaitkan dengan penekanan atau campur tangan politis negara kuat tertentu yang menekan salah satu pihak yang berperkara.
Celah hukum internasional Perumusan atau konstruksi hukum pada konvensi New York 1958 mengandung beberapa kontroversi, ambiguitas dan contradictio in terminis dalam klausula-klausulanya. Di satu pihak, konvensi tersebut menegaskan bahwa arbitrasi sebagai extra judicial untuk penyelesaian perkara memiliki kompetensi absolut, namun di sisi lain juga membuka ruang kepada para negara anggota untuk mengesampingkan keputusan arbitrase manakala hal tersebut dianggap bertentangan dengan kepentingan umum, dan memperjanjikan hal-hal yang tidak boleh diperjanjikan menurut hukum negara tertentu (causa tidak halal)