Sistem pemerintahan daerah masa kerajaan nusantara Sistem pemerintahan dalam lingkup yang sederhana mulai dikenal sejak masuknya generasi Melayu Muda (Deutero Melayu) pada 300 sM yang membawa serta budaya persawahan dan tinggal menetap secara berkelompok. Kelompok-kelompok tersebut kemudian membentuk sebuah perkampungan (wanua/desa) sebagai satu-satunya unit politik yang berdaulat, tanpa unit politik lain di atas atau di bawahnya. Dalam setiap kampung dibentuk dewan orang tua (karaman) yang mengambil keputusan atas setiap persoalan penting, seperti: penyemaian benih, pengairan, panen, pembnagunan rumah, dan upacara ritual animisme. Anggota karaman bisa mencapai 100-an orang inti desa ybs, yaitu mereka yang merupakan para pelopor berdirinya kampung atau yang tergolong orang kaya. Melalui kampung-kampung ini kemudian terbentuklah kerajaan-kerajaan dengan raja sebagai puncak pimpinannya. Kepala desa yang kuat mampu mempersatukan beberapa wanua di bawah kepemimpinannya, yang disebut dengan watek dan kepalanya disebut raka. Watek kemudian menguat menjadi kerajaan kecil dan raka bergantian dengan julukan ratu/raja/maharaja. Ketika ajaran Hindu masuk ke Nusantara, konsep tentang kasta dimanfaatkan oleh para bangsawan untuk memberikan legitimasi atas posisi mereka di hadapan rakyat berkembang struktur kekuasaan yang feodal-teokratis. Peran raja bersifat simbolik dan bukan sebagai administrator. Legitimasi kekuasaan dipelihara melalui upacara-upacara, kesenian, dan simbol-simbol.
Pajak, upeti, kerjapaksa, tenaga militer, tukang pelayan, penghibur Struktur administrasi kerajaan bersifat sentralistis, meski pada kenyataannya , karena keterbatasan teknologi dan kekuatan militer serta letak geografis yang jauh, watek dan wanua (terutama yang jauh dari pusat kerajaan) tetap bertindak otonom. Gambar 1 Sistem Pemerintahan Daerah Masa Kerajaan (abad ke-4 M) Raja Perlindungan, keamanan, peradilan, upacara agama, contoh perilaku, gaji Pajak, upeti, kerjapaksa, tenaga militer, tukang pelayan, penghibur Raka Keraman individu
Kerajaan di Nusantara tumbuh dari bawah (desa/wanua), tapi berbeda dengan karakteristik asli desa yang demokratis, kerajaan bersifat absolut, otoritarian, dan sentralistis (konsentrik). Pembagian wilayah kerajaan selain bersifat konsentrik (dengan istana sebagai pusatnya) juga bersifat dikotomis pusat dan pinggiran; negara agung (keraton) dan manca negara (pesisir). Kuthagara (kota) dan desa. Raja harus selalu menjaga kesetiaan daerah melalui: Perjalanan keliling ke semua daerah secara teratur; Menempatkan agen terpercaya dan mata-mata di semua daerah; Mengangkat putera pejabat lokal sebagai abdi keraton; Menempatkan anggota keluarga dalam posisi penting; Menarik pejabat daerah yang dianggap akan membelot untuk ditempatkan di keraton sehingga mudah diawasi. Masuknya ajaran islam yang egaliter mengubah pola struktur masyarakat feodal yang hirarkhis karena kelas bangsawan yang secara ekonomis kuat masih terkonsentrasi di keraton, sedangkan massa rakyat berada dalam kondisi ekonomis yang jauh lebih lemah dan tidak berbentuk kelas menengah yang mandiri. Karakteristik sistem pemerintahan daearh pada masa kerajaan Nusantara, yaitu: Sumber legitimasi kekuasaan raja adalah keturunan atau wahyu; Raja adalah penjaga kesatuan, penjaga dunia, pemelihara alam semesta, pelindung kerajaan dan kawulanya (patrimonial); Keputusan pemerintah dirumuskan mutlak oleh raja, peraturan bersifat lisan (tidak tertulis), sehingga dapat berubah setiap saat tergantung pada kepentingan raja; Jabatan pemerintah dipegang oleh suatu elit secara personal dan paternalistik atas dasar keturunan dan kekerabatan; Pejabat birokrasi bertugas menjaga ketentraman raja dan keluarganya, karenanya berorientasi pada penguasa (bukan rakyat); Para pejabat memperoleh gaji berupa tanah jabata; dan Keraton menjadi pusat patronase gaya hidup, kesenian, dan kemakmuran.