PENGARUH SOSIOBUDAYA TERHADAP PENCIPTAAN KARYA SASTRA 1. Pembicaraan tentang pengaruh sosiobudaya terhadap penciptaan karya sastra ditumpukan pada teori pertentangan kelas yang dilandasi oleh teori Marx. Pendekatan tanpa pertentangan kelas, yang menghubungkan sastra dengan ‘bangsa’, sengaja diabaikan. 2. Teori ini, seperti yang dikembangkan oleh Taine, bertolak dari anggapan bahwa sastra dapat dicipta dari dasar material sebuah masyarakat, yaitu ras, waktu, dan lingkungan.
3. Ras dihubungkan dengan sifat kejiwaan yang turun- temurun, perasaan, bentuk tubuh, dan sebagainya. Konsep ini populer pada abad ke-19. 4. Waktu dihubungkannya dengan jiwa pada satu zaman, misalnya Zaman Pertengahan. 5. Lingkungan, yang paling penting, dibatasi pada keadaan cuaca dan geografis. Lingkungan membesarkan kesusastraan Eropah bagian utara yang penuh kedukaan dan bagian selatan yang penuh kegembiraan (Swingewood, 1972a:31-37).
6. Pendekatan ini tidak bertolak dari suatu teori yang sistematik, tetapi dari suatu hubungan yang sederhana. Pendekatan ini tidak menghubungkan sastra dengan faktor sosiobudaya, tetapi dengan faktor alam yang dianggapnya mempengaruhi manusia. 7. Adapun sosiologi sastra menghubungkan sastra dengan sosiobudaya, terlepas dari pengaruh alam. Semuanya dianggap dipengaruhi oleh hubungan antara manusia. Oleh karena itu, pendekatan Taine tidak lagi diperhatikan.
8. Menurut pandangan Marxisme, sesuai dengan pandangan yang umum pada abad le-19, sastra adalah refleksi masyarakat (Swingewood, 1972a:43) dan dipengaruhi oleh kondisi sejarah (Eagleton, 1976:vi). 9. Setiap zaman mengenal pertentangan kelas dan hasil sastra menyuarakan suara kelas tertentu (Swingewood, 1972a:41; Eagleton, 5), sehingga ia merupakan alat perjuangan kelas. 10. Pengaruhnya jauh lebih luas dari sekedar menyebut pertentangan kelas. Ia juga berhubungan dengan bentuk (form), gaya, dan arti (Eagleton, 3) sehingga G. Plekhanov (1975) menulis tentang dasar sosial dari gaya.
11. Pendekatan ini melihat sastra sebagai struktur atas (superstructure) dengan sistem ekonomi sebagai dasarnya. Hasil sastra diakibatkan oleh sistem ekonomi masyarakat penghasilnya. 12. Sesuatu karya dihasilkan dengan kesadaran kelas tertentu, tetapi apabila melihat ke depan, dengan tujuan membentuk suatu masyarakat ‘baru’, maka ada dua sikap yang saling berhubungan. 13. Pertama, melihat yang ada sebagai sesuatu yang buruk dan harus ditiadakan. Dengan begitu, mereka dapat menerima sesuatu baru dan menolak yang lama meskipun tidak sejalan dengan landasan teori mereka. Pada permulaan komunis berkuasa di Rusia, mereka dapat menerima aliran Futurisme karena sama-sama menolak yang lama. Kedua, mereka meminta ketaatan politik terhadap garis partai sebagai terlihat pada ajaran Zhdanov (Eagleton, 38; A.A. Zhdanov, 1975).
14. Dalam hubungan ini, teori Marxisme dapat dirumuskan sebagai berikut. a. Sastra adalah refleksi sosial (Swingewood, 1972a:43) b.Keadaan sosial selalu ditandakan dengan pertentangan kelas, dan seorang penulis akan menyuarakan suatu kelasnya (J. Goode, 1971; A. Kettle, 1975; J. Lucas, 1975; W. Myers, 1975 dan Swingewood, 1972a:41). c.Kesan pertentangan kelas ini akan ditemui juga dalam karya sastra, sehingga tokoh-tokoh yang ada di dalamnya merupakan tokoh yang representatif (representative figures) (Swingewood, 1972a:48-49) yang mewakili kelas sosial tertentu.
d. Kesulitan pertama terhadap pendekatan Marxisme ini ialah konsep sastra sebagai refleksi sosial. Memang tidak mungkin ada masyarakat tanpa kelas, tetapi juga tidak mungkin disederhanakan dalam bentuk tipologi Marx, seperti kelas buruh dan majikan dalam masyarakat ‘kapitalis’. e. Perbedaan kelas sebenarnya tidak kaku, tetapi longgar, sehingga mungkin ada titik singgung dan saling melengkapi. Ada kelas lain di luar kedua kelas tadi. Ada orang yang menganggap diri mereka berada di luar kedua kelas ini: pedagang kecil dan pegawai, misalnya. Tahun 1960-an dan 1970-an memperlihatkan tumbuhnya kesadaran dua ‘kelas’ lain.
f. Wanita dan remaja, yang menimbulkan gerakan pembebasan wanita (women’s lib) dan hippies. Kesadaran kelas mereka tidak berhubungan dengan ajaran Marx. Bahkan kesadaran ‘kelas wanita’ menentang pengertian dari kaum Marxist, yang juga dianggap menekan wanita (S. Firestone, 1972:15; K. Millet, 1971: 229-239), sehingga perjuangan mereka berbeda dari perjuangan kaum Marxist (Millet, 1975). g. Kesadaran ‘kelas remaja’ lebih merupakan perjuangan antiestablishment dan bukan perjuangan kelas (P. Drucker, 1971b; Zijderveld, 84-121; P. Stansill & D.Z. Mairowits, 1971:13), atau perjuangan mereka lebih berhubungan dengan moral daripada mengubah sistem seperti yang terlihat pada bacaan remaja di Indonesia (Umar Junus, 1981a).