Pengawasan Pangan Siap Saji
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, pangan siap saji adalah makanan dan / atau minuman yang sudah diolah dan sipa untuk langsung disajikan di tempat usaha atau di luar tempat usaha atas dasar pesanan. Pada saat ini masyarakat menginginkan jenis pangan yang beraneka ragam dan disajikan dengan cepat, makan di luar rumah, murah namun tetap mendapatkan pangan yang layak dan aman untuk dikonsumsi. Karena itu banyak bermunculan tempat makan yang menyediakan pangan siap saji untuk menjawab tuntutan masyarakat tersebut, mulai dari skala kecil di kaki lima hingga skala besar di hotel berbintang.
Pangan siap saji dihasilkan oleh jasaboga atau katering, hotel, restoran, rumah makan, kantin atau café, kaki lima dan tempat pengolahan pangan lainnya. Meski berupaya untuk memenuhi keinginan masyarakat akan variasi pangan dan penyajian yang cepat, namun keamanannya harus tetap diperhatikan.
Pangan menjadi tidak aman karena mengandung bahaya atau cemaran biologis, kimia dan fisik. Cemaran atau bahaya mikrobiologis meliputi bakteri, kapang, virus, protozoa, parasit, ricketsia, prion dan alga. Cemaran atau bahaya kimia meliputi berbagai macam senyawa kimia yang dapat membahayakan kesehatan seperti pestisida, logam berat, residu antibiotik, zat toksin, bahan tambahan pangan yang melebihi batas maksimal penggunaan yang diizinkan, maupun bahan tambahan yang dilarang digunakan dalam pangan. Sedangkan bahaya fisik meliputi serpihan kaca, kayu, steples, jepit rambut dan sebagainya.
Menurut FAO/WHO, ratusan juta manusia menderita penyakit menular maupun tidak menular karena pangan yang tercemar. Dari data yang diterima, sejak tahun 2001 hingga 1 September tahun 2007 dilaporkan bahwa dari 663 kejadian luar biasa keracunan pangan di Indonesia, 23.5% disebabkan pangan dari jasaboga dan 14.9% disebabkan oleh pangan jajanan. Dari seluruh keracunan pangan yang disebabkan oleh pangan siap saji, 3.14% terjadi di hotel/restoran dan 3.14% terjadi di food court yang ada di swalayan/pasar. Adapun penyebab keracunan tersebut disebabkan oleh mikroba sebesr 15.29% dan oleh bahan kimia sebesar 3.53%.
Sementara itu hasil pemeriksaan pangan jajanan menunjukkan bahwa produk tersebut mengandung bahan kimia yang dilarang penggunaannya dalam bahan pangan, seperti formalin, boraks, pewarna rhodamin dan metanil yellow, serta mengandung pemanis buatan dan cemaran mikroba yang melebihi batas maksimal yang diizinkan. Jadi, menurut data keamanan pangan. Industri Pangan Siap Saji (IPSS) memberikan banyak kemudahan kepada konsumen, akan tetapi IPSS merupakan sektor industri pangan yang rawan keamanan pangannya. Sektor ini pada umumnya menyediakan pangan dalam jumlah cukup besar yang disajikan sepanjang hari.
Kesalahan penanganan, penyimpanan, penyiapan dan penyajian serta ketidaksempurnaan pemaskan dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran oleh bahaya biologis, kimia dan fisik atau terjadinya peningkatan bahaya biologis sampai taraf yang tidak dapat diterima. Untuk industri pangan siap saji skala kecil, kadangkala pemilihan bahan pangan yang kurang baik atau tidak memenuhi persyaratan keamanan pangan serta tidak tersedianya air bersih yang cukup (termasuk air untuk mencuci peralatan masak dan peralatan makan) dapat memicu terjadinya bahaya atau cemaran biologis dan fisik atau terjdinya peningkatan bahaya biologis sampai taraf yang tidak dapat diterima.
Regulasi yang berhubungan dengan industri pangan siap saji Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan dan perinciannya tertuang dalam PP No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan ”mengamanatkan Bupati/Walikota c.q. Dinas Kesehatan untuk membina industri pangan siap saji”. Peraturan perundang-undangan tersebut juga mengamanatkan setiap orang yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan industri pangan siap saji ”wajib memenuhi persyaratan sanitasi dengan cara menetapkan Pedoman Cara Produksi Pangan Siap Saji yang Baik” dan selalu memperhatikan aspek keamanan pangan. Sementara itu, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 715/Menkes/SK/V/2003 tentang Persyaratan Hygiene sanitasi jasaboga dan Nomor 1098/MenKes/SK/VII/2003 tentang persyaratan Hygiene Sanitasi Rumah Makan dan Restoran mengharuskan industri pangan siap saji tersebut untuk memiliki sertifikat laik hygiene sanitasi yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Upaya mengatasi permasalahan Untuk menjamin keamanan pangan siap saji, diperlukan sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan yang memadai mengenai praktek pengolahan pangan dan sanitasi yang baik, pengetahuan mengenai hygiene personal serta komitmen dari industri pangan siap saji untuk menjaga mutu dan keamanan pangan. Dalam rangka pngembangan sumber daya manusia yang secara langsung terlibat dalam industri pangan siap saji, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia membantu mengembangkan paket penyuluhan keamanan pangan yang akan meningkatkan kompetensi personalia yang terlibat langsung dalam industri ini, termasuk modul-modul penyuluhan industri pangan siap saji. Sebagai tindak lanjut, perlu dipikirkan bagaimana dinas terkait di Pemerintah Daerah (PEMDA) dapat menyediakan fasilitas air bersih atau memfasilitasi industri pangan siap saji skala kecil untuk mudah mengakses sarana air bersih.
Pengawasan keamanan pangan siap saji Indonesia memiliki Sistem Keamanan Pangan Terpadu, di mana pendekatan pengawasan keamanan pangan melalui keterpaduan semua sektor yang terlibat di bidang pangan tersebut. PP No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan sudah berbasis Keterpaduan antar Sektor Terkait disepanjang rantai pangan, ’from farm to table’. Sedangkan metode pengawasan keamanan pangan menggunakan preventive control, dimana pengawasan yang dilakukan sedapat mungkin mengupayakan tindakan pencegahan dan ’Law Enforcement’, dimana dilakukan tindakan melalui upaya penegakan secara hukum. Prinsip yang dianut adalah pengusaha yang tidak tahu perlu dibina dan pengusaha yang tidak peduli perlu ditindak.
Agar pengawasan keamanan pangan dapat dilaksanakan secara efektif, efisien dan berkelanjuan, maka perlu keterlibatan tiga pilar pendukung yang mempunyai komitmen untuk mempertahankan dan meningkatkan keamanan pangan secara nasional, yaitu pihak produsen (termasuk stakeholder lainnya serti importir, distributor, jasaboga, rumah makan), pemerintah dan konsumen. Produsen menerapkan cara produksi yang baik beserta jaminan mutu dan pengolahan dan teknologi yang tepat. Pemerintah membina dan membimbing produsen dan masyarakat konsumen serta melakukan pengawasan dengan perangkat peraturan perundang-undangan dan laboratorium pengujian pangan. Konsumen selektif dan waspada serta menerapkan cara penanganan pangan yang aman di rumah.
Selain itu, untuk mendorong industri pangan siap saji menerapkan praktek keamanan pangan yang baik secara konsisten serta untuk memberi penghargaan kepada industri pangan siap saji yang menerapkan praktek keamanan pangan yang baik secara ”konsisten”, maka BPOM bersama-sama dengan Balai Besar Industri Agro (BBIA), Departemen Perindustrian, Departemen Kesehatan serta Departemen Kebudayaan dan Pariwisata mengembangkan ”Piagam Bintang Keamanan Pangan (PBKP) untuk Industri Pangan Siap Saji”, yang terdiri dari Piagam Bintang Satu, Dua dan Tiga Keamanan Pangan.