SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA

Slides:



Advertisements
Presentasi serupa
POKOK – POKOK PTUN & BERACARA DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA
Advertisements

HUKUM ACARA PEMBUBARAN PARTAI POLITIK
PETA LEMBAGA NEGARA (Pasca Amandemen UUD )‏
HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
HUKUM ACARA PENGUJIAN UU
MK DAN KEWENANGAN PEMBUBARAN PARTAI POLITIK
PERBANDINGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DI BEBERAPA NEGARA
MOH. SALEH FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA 2013 KEDUDUKAN, FUNGSI DAN KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA.
HUKUM ACARA PERADILAN KONSTITUSI
ASAS HUKUM TATA NEGARA Riana Susmayanti, SH.MH.
LEMBAGA NEGARA MENURUT UUD NRI TAHUN 1945 UUD 1945 KY DPR DPD MPR BPK
KEWENANGAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI
HUKUM ACARA PEMBUBARAN PARTAI POLITIK
PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM
PRAKTEK HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI
TUGAS, FUNGSI dan KEWENANGAN
ASPEK HK ACARA MK.
LEMBAGA NEGARA DARI SISI FUNGSINYA
Impeachment atau Pemakzulan
UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM
KEKUASAAN KEHAKIMAN pada UU NO
NEGARA REPUBLIK INDONESIA
HUKUM ACARA PEMBUBARAN PARTAI POLITIK
Hukum acara MEMUTUS PENDAPAT DPR DALAM PROSES PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN DALAM MASA JABATANNYA OLEH Jazim Hamidi.
HUKUM ACARA SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA
HUKUM ACARA PEMBUBARAN PARPOL
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004
Putusan MA atas Uji Materi Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009
HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI
Hukum Acara MK Oleh : Syamsul Bachrie.
DPR DEWAN PERWAKILAN RAKYAT 1 BAB VII Fungsi, Wewenang, dan Hak
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI
HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI
LEMBAGA NEGARA DALAM PERSPEKTIF AMANDEMEN UUD 1945
PENGADILAN PAJAK UU. NOMOR 14 TAHUN 2002
HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI
HUKUM ACARA PEMBUBARAN PARTAI POLITIK
HUKUM ACARA PHPU (berdasarkan UU MK dan Peraturan MK)
HUKUM ACARA PERADILAN KONSTITUSI
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA DAN KEKUASAAN KEHAKIMAN
Presiden dan DPR.
Pengaturan impeachment di berbagai negara
Isi ( Batang Tubuh ) UUU 1945 Apakah Batang Tubuh UUD 1945 itu ?
Hukum acara pidana Pengantar ilmu hukum.
KEKUASAAN KEHAKIMAN Pengantar ilmu hukum.
Judicial Review di Mahkamah Konstitusi
LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA DI INDONESIA
KELOMPOK III Nama Anggota 1. Rengku Diga D
Pengadilan Pajak Pengadilan Pajak Gugatan Banding
Sistem Pemerintahan Indonesia
BAB 2 Menyemai Kesadaran Berkonstitusional dalam Kehidupan Bernegara
HUKUM ACARA SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA
DPR DPD Presiden 28 BAB VIIIA. BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI
Oleh: Yesi Marince, S.IP., M.Si Sesi 4
"LEMBAGA NEGARA" Ericson Chandra.
KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA
Mahkamah Konstitusi. Rifqi Ridlo Phahlevy.
HUKUM ACARA PERADILAN KONSTITUSI
Hukum Acara Peradilan Konstitusi
NEGARA DAN KOSTITUSI “ AMANDEMEN” Sayoto Makarim
PENGAWASAN PEMERINTAHAN DAERAH
HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI. ASAS DAN SUMBER HUKUM ACARA MK Pembahasan: Asas-Asas Hukum Acara MK Sumber Hukum Acara MK.
MAHKAMAH AGUNG (MA) MAHKAMAH KONSTITUSI (MK) KOMISI YUDISIAL (KY)
LEMBAGA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT & DEWAN PERTIMBANGAN DAERAH
PROSEDUR TINDAKAN KEPOLISIAN TERHADAP PEJABAT NEGARA
LEMBAGA MPR, PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN
MAHKAMAH KONSTITUSI. Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga peradilan sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Agung yang dibentuk.
Transcript presentasi:

SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA Mustafa Fakhri, SH, MH, LLM PROGRAM SARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA

Constitutional Court As Herman Schwartz indicates: “A constitutional court is a child of constitutional democracy. It cannot fulfill its function except in such a polity, for independence is indispensable to a well-functioning judicial body and authoritarian governments do not allow such independent institutions.” Herman Schwartz, The Struggle for Constitutional Justice in Post-Communist Europe, Chicago: The University of Chicago Press, 2000

Constitutional Court Ran Hirschl menyebutkan dalam Towards Juristocracy bahwa: “one of the six broad scenarios of constitutionalization and the establishment of judicial review at the national level in post World War II era, in the “single transition” scenario, the constitutionalization of rights and the establishment of judicial review are noted as the by-products of a transition from a quasi-democratic or authoritarian regime to democracy. Therefore, in this context, Indonesia is also noted as the only Asian country which having the similar scenario with South Africa in 1995, several countries in Southern Europe (Greece in 1975, Portugal in 1976, Spain in 1978) and Latin America (Nicaragua in 1987, Brazil in 1988, Columbia in 1991, Peru in 1993, Bolivia in 1994). Ran Hirschl, Towards Juristocracy: The Origins and Consequences of the New Constitutionalism, Cambridge: Harvard University Press, 2004, p. 7-8.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk Memutus Sengketa Kewenangan Lembaga Negara

WEWENANG DAN FUNGSI MK Wewenang MK Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 : “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran parpol, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.” Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 : “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wapres menurut UUD.” The Guardian of The Constitution The Final Interpreter of The Constitution The Guardian of The Democracy The Protector of The Citizen’s Constitutional Rights The Protector of The Human Rights

PERBANDINGAN PENGUJIAN NORMA UU Model Amerika, fungsi MK dilaksanakan MA Model Austria MK berdampingan dengan MA Model Perancis Adanya Dewan (council) konstitusi selain MA, yang melakukan judicial preview Model Venezuela MK merupakan salah satu kamar dari MA Model Inggris, Belanda, dan negara Komunis yang tidak mengenal MK karena dianut supremasi parlemen

SKLN oleh Constitutional Court di beberapa negara Ps 93 ayat (3) Konstitusi Federal Jerman In case of differences of opinion on the rights and duties of the Federation and the States (Lander), particularly in the execution of federal law by the States (Lander) and in the exercise of federal supervision; on other disputes involving public law, between the Federation and the States (Lander), between different States (Lander) or within a Sate (Land), unless recourse to another court exist Diatur pula dalam Ps 13 (5) UU tentang CC, mengenai sengketa kewenangan antarlembaga negara Federal Jerman, dan Pasal 13 (7) mengenai sengketa kewenangan antara lembaga pemerintah federal dengan dan atau antar lembaga pemerintah negara bagian terutama yang berkaitan dengan penerapan pembagian kekuasaan federal

SKLN oleh Constitutional Court di beberapa negara Pasal 125 ayat (3) Konstitusi Federasi Rusia dan Pasal 3 ayat (2) UU ttg Mahkamah Konstitusi Dispute about competences between federal bodies, between a federal body and a subject of the Federation, and between the highest bodies of state power of the subject of the Federation

SKLN oleh Constitutional Court di beberapa negara Pasal 111 Konstitusi Korea Selatan CC memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa kewenangan antarlembaga di tingkat pemerintah pusat, antarlembaga di tingkat pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dan antar pemerintah daerah (disputes between State agencies, between State agencies and local governments, and between local governments) Pasal 226 Konstitusi Thailand Lembaga negara yg dapat menjadi obyek SKLN adalah lembaga negara yg kewenangan, kekuasaan, dan tugas lembaga tsb dicantumkan dalam UUD

Dasar Hukum SKLN Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 Pasal 61-67 UU Nomor 24 Tahun 2003 PMK Nomor 08/PMK/2006 ttg Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara

Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menurut Pasal 24C UUD 1945 Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 : (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. (2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. 11 11

KEWENANGAN DAN KEWAJIBAN MAHKAMAH KONSTITUSI MENURUT PASAL 10 UU NO (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: - menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; - memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara - memutus pembubaran partai politik; dan - memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. (2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

UNDANG-UNDANG NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN Pasal 29 (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. memutus pembubaran partai politik; d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan e. kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang. (3) Susunan, kekuasaan dan hukum acara Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan undang-undang.

REKAPITULASI PERKARA SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA 2003 – 2010 TAHUN 2003 S.D. 2 November 2010 SISA YANG LALU TERIMA JUMLAH (3+4) PUTUS JUMLAH PUTUSAN (6+7+8+9=10) SISA TAHUN INI (5-10) KET. KABUL TOLAK TIDAK DITERIMA TARIK KEMBALI -1 -2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 -9 -10 -11 -12 1 2003 2 2004 3 2005 4 2006 5 2007 6 2008 7 2009 - 8 2010 Jumlah 12 18 11 Update : 2 November 2010

PMK NOMOR 08/PMK/2006 TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM SENGKETA KEWENANGAN KONSTITUSIONAL LEMBAGA NEGARA Sengketa : Perselisihan atau perbedaan pendapat yang berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan antara dua atau lebih lembaga negara. (Pasal 1 angka 7) Kewenangan konstitusional lembaga negara : Kewenangan yang dapat berupa wewenang/hak dan tugas/kewajiban lembaga negara yang diberikan oleh UUD 1945. (Pasal 1 angka 6) Lembaga negara : Lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. (Pasal 1 angka 5)

Hukum Acara MK dalam Memutus Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara

Pengajuan permohonan Sidang Pendahuluan Putusan Sela Sidang Pemeriksaan Putusan

LEGAL STANDING Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD MK dapat mengeluarkan penetapan sementara dalam bentuk putusan sela untuk menghentikan pelaksanaan kewenangan yang disengketakan MA tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara (psl 65 UU No. 24/2003) Pedoman Beracara SKLN diatur lebih lanjut dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 08/PMK/2006

LEGAL STANDING Pasal 61 UU MK telah tegas menyatakan bahwa: (1) Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan. (2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang kepentingan langsung pemohon dan menguraikan kewenangan yang dipersengketakan serta menyebutkan dengan jelas lembaga negara yang menjadi termohon.

PIHAK-PIHAK YANG BERSENGKETA Pemohon & Termohon (Pasal 2 PMK 08/PMK/2006) Lembaga negara yang dapat menjadi pemohon atau termohon dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah: a. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); b. Dewan Perwakilan Daerah (DPD); c. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); c. Presiden; d. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); e. Pemerintah Daerah (Pemda); f. Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Kewenangan yang disengkatakan adalah kewenangan yang diberikan dan ditentukan oleh UUD 1945. 3. Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan teknis peradilan (yudisial).

PIHAK-PIHAK YANG BERSENGKETA (Pasal 3 PMK 08/PMK/2006) Pemohon: Lembaga negara yang menganggap bahwa kewenangan konstitusionalnya telah diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan oleh lembaga negara yang lain. Termohon: Lembaga negara yang dianggap telah mengambil, mengurangi, menghalangi, mengabaikan, dan/atau merugikan kewenangan pemohon.

PERMOHONAN & TATA CARA PENGAJUAN (Pasal 5 dan Pasal 6 PMK Nomor 08/PMK/2006) 1. Permohonan ditulis dalam bahasa Indonesia; 2. Isi Permohonan: a. Identitas lembaga negara yang menjadi pemohon, seperti nama lembaga negara, nama ketua lembaga, dan alamat lengkap lembaga negara; b. nama dan alamat lembaga negara yang menjadi termohon; c. uraian yang jelas tentang: 1. kewenangan yang dipersengketakan; 2. kepentingan langsung pemohon atas kewenangan tersebut; 3. hal-hal yang diminta untuk diputuskan; 3. Permohonan dibuat dalam 12 (dua belas) rangkap dan ditandatangani oleh Presiden atau Pimpinan lembaga negara yang mengajukan permohonan atau kuasanya. 4. Permohonan diajukan tanpa dibebani biaya perkara. 5. Permohonan diajukan kepada Mahkamah melalui Kepaniteraan. 6. Permohonan disertai alat-alat bukti pendukung. 7. Alat-alat bukti tertulis yang diajukan, seluruhnya dibuat dalam 12 (dua belas) rangkap dengan bukti yang asli diberi materai secukupnya.

Pemeriksaan Pendahuluan Pemeriksaan Pendahuluan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Panel Hakim yang sekurang-kurangnya terdiri atas 3 (tiga) orang Hakim atau oleh Pleno Hakim yang sekurang-kurangnya terdiri atas 7 (tujuh) orang Hakim. (Pasal 11 ayat (1) PMK Nomor 08/PMK/2006) Dalam Pemeriksaan Pendahuluan, Majelis Hakim: memeriksa kelengkapan permohonan; meminta penjelasan pemohon tentang materi permohonan yang mencakup kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum (legal standing) pemohon, dan pokok permohonan; wajib memberi nasihat kepada pemohon, baik mengenai kelengkapan administrasi, materi permohonan, maupun pelaksanaan tertib persidangan; wajib mendengar keterangan termohon dalam hal adanya permohonan untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan; memeriksa kelengkapan alat-alat bukti yang telah dan akan diajukan oleh pemohon. (Pasal 11 ayat (3) PMK Nomor 08/PMK/2006)

Pemeriksaan Persidangan Pemeriksaan Persidangan sebagaimana diuraikan dalam PMK No. 08/PMK/2006, bertujuan untuk: memeriksa materi permohonan yang diajukan pemohon; mendengarkan keterangan dan/atau tanggapan termohon; memeriksa dan mengesahkan alat bukti tertulis maupun alat bukti lainnya, baik yang diajukan oleh pemohon, termohon, maupun oleh pihak terkait langsung; mendengarkan keterangan pihak-pihak terkait apabila ada dan/atau diperlukan oleh Mahkamah, baik pihak terkait yang mempunyai kepentingan langsung maupun kepentingan yang tidak langsung; mendengarkan keterangan ahli dan saksi, baik yang diajukan oleh pemohon maupun oleh termohon.

PEMBUKTIAN Pasal 16 ayat (1): Beban pembuktian berada pada pihak pemohon. Pasal 17: (1) Alat-alat bukti yang dapat diajukan oleh pemohon, termohon, dan pihak terkait langsung dapat berupa surat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan para pihak, dan alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. (2) Alat-alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara sah menurut hukum. (3) Penentuan sah tidaknya alat bukti dan perolehannya dilakukan oleh Majelis Hakim dalam persidangan Pleno atau Panel.

Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Subjectum Litis (subjek perkara) Dalam ketentuan UUD 1945, menurut Prof Jimly terdapat lebih dari 28 subjek jabatan atau subjek hukum kelembagaan yang dapat dikaitkan dengan pengertian lembaga atau organ negara dalam arti yang luas. Bahkan Hans Kelsen yang menyatakan bahwa semua organ yang menjalankan fungsi-fungsi ‘law-creating function and law-applying function’ adalah merupakan organ atau lembaga negara. Menurut Kelsen, setiap warga negara yang sedang berada dalam keadaan menjalankan suatu ketentuan undang-undang juga dapat disebut sebagai organ negara dalam arti luas, misalnya, ketika warga negara yang bersangkutan sedang melaksanakan hak politiknya untuk memilih dalam pemilihan umum, dianggap sedang menjalankan undang-undang (law applying function) dan juga sedang melakukan perbuatan hukum untuk membentuk lembaga perwakilan rakyat (law creating function) melalui pemilihan umum. Objectum Litis (objek perkara) Dalam perkara yang sedang dipersengketakan, (1) apakah ada aspek kewenangan yang diatur secara langsung atau setidak-tidaknya secara tidak langsung dalam UUD 1945, dan (2) apakah kewenangan atau aspek kewenangannya itu terganggu atau dirugikan oleh keputusan-keputusan, tindakan atau pelaksanaan kewenangan konstitusional lembaga negara lain sehingga menyebabkannya memperoleh kedudukan hukum (legal standing) yang beralasan untuk mengajukan permohonan perkara ke Mahkamah Konstitusi.

Putusan 004/SKLN-IV/2006 Dalam menjalankan kewenangan memutus SKLN, MK harus terlebih dahulu memeriksa dan mempertimbangkan objectum litis suatu permohonan, baru kemudian mempertimbangkan legal standing dan/atau subjectum litis dari sebuah perkara (Putusan MK Nomor 030/SKLN-IV/2006)

KONSEPSI LEMBAGA NEGARA

Konsepsi Lembaga Negara dalam pengertian luas Hans Kelsen menguraikan bahwa “Whoever fulfills a function determined by the legal order is an organ”. Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russell & Russell, 1961), hal.192. Organ negara tidak selalu berbentuk organik, tetapi setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula disebut organ asal fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma (normcreating) dan/atau bersifat menjalankan norma (norm applying). “These functions, be they of a norm-creating or of a norm-applying character, are all ultimately aimed at the execution of a legal sanction”.

Organ Negara (Jimly Asshiddiqie) Dalam ketentuan UUD 1945, terdapat lebih dari 35 subjek jabatan atau subjek hukum kelembagaan yang dapat dikaitkan dengan pengertian lembaga atau organ negara dalam arti yang luas: 1) Presiden; 2) Wakil Presiden; 3) Dewan pertimbangan presiden; 4) Kementerian Negara; 5) Menteri Luar Negeri; 6) Menteri Dalam Negeri; 7) Menteri Pertahanan; 8) Duta; 9) Konsul; 10) Pemerintahan Daerah Provinsi; 11) Gubernur/Kepala Pemerintah Daerah Provinsi; 12) DPRD Provinsi; 13) Pemerintahan Daerah Kabupten; 14) Bupati/Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten; 15) DPRD Kabupaten; 16) Pemerintahan Daerah Kota; 17) Walikota/Kepala Pemerintah Daerah Kota; 18) DPRD Kota; 19) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); 20) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); 21) Dewan Perwakilan Daerah (DPD); 22) Komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri, yang diatur lebih lanjut dengan undang-undang; 23) Bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensinya diatur lebih lanjut dengan undang-undang; 24) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); 25) Mahkamah Agung (MA); 26) Mahkamah Konstitusi (MK); 27) Komisi Yudisial (KY); 28) Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan 29) Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI); 30) Angkatan Darat (AD); 31) Angkatan Laut (AL); 32) Angkatan Udara (AU); 33) Satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa; 34) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, seperti Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan sebagainya; 35) Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. (Jimly Asshiddiqie)

KONSEPSI ORGAN NEGARA Ciri-ciri penting organ negara: Organ negara itu dipilih atau diangkat untuk menduduki jabatan atau fungsi tertentu yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan; Dalam menjalankan fungsinya tersebut, yang bersangkutan berhak untuk mendapatkan perlakuan khusus dari segi keprotokoleran, anggaran untuk menjalankan fungsinya dan imbalan gaji dari negara. Lembaga atau organ negara dalam pengertian yang lebih luas dapat dikaitkan dengan nama jabatan atau pejabatnya  public office dan public officials; contoh: gubernur dan pemerintah daerah Law-creating or law-applying function dalam konteks kenegaraan

Hubungan antar Lembaga Negara, Status dan Dasar Pembentukan Jimly Asshiddiqie: “kewenangan lembaga negara negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945” dapat ditafsirkan secara luas. Yaitu UUD 1945 sebagai konstitusi ditafsirkan sebagai hukum tata negara/constitutional law yang sumber hukumnya tidak hanya terpaku pada Undang-undang Dasar tapi juga dapat bersumber kepada peraturan perundang-undangan lainnya. Hal ini dapat dilakukan untuk menciptakan keadilan daripada sekedar pemenuhan kriteria (penafsiran) secara tekstual. Status Lembaga Negara Berdasarkan Dasar Hukum Pembentukannya: Pembentukan Lembaga Negara melalui UUD 1945; Pembentukan Lembaga Negara melalui UU; Pembentukan Lembaga Negara melalui Peraturan Presiden atau Keputusan Presiden.

LEMBAGA NEGARA INDONESIA SEBELUM AMANDEMEN UUD 1945 DPA DPR BPK MA PRESIDEN MPR

LEMBAGA NEGARA INDONESIA SESUDAH AMANDEMEN UUD 1945 BPK Presiden/ Wakil Presiden DPR MPR DPD MA MK KY badan-badan lain yang fungsinya ber kaitan dengan kekuasaan kehakiman Kementerian Negara kpu bank sentral dewan pertimbangan TNI/POLRI PUSAT PERWAKILAN BPK PROVINSI PEMDA PROVINSI Lingkungan Peradilan DAERAH KPD DPRD Umum PEMDA KAB/KOTA Agama Militer KPD DPRD TUN

Pembuktian Pasal 36 UU MK menguraikan sejumlah alat bukti yang akan diajukan para pihak dan diperiksa dalam persidangan. (1) Alat bukti ialah: a. surat atau tulisan; b. keterangan saksi; c. keterangan ahli; d. keterangan para pihak; e. petunjuk; dan f. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. (2) Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, harus dapat dipertanggung- jawabkan perolehannya secara hukum. (3) Dalam hal alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan perolehannya secara hukum, tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah. (4) Mahkamah Konstitusi menentukan sah atau tidak sahnya alat bukti dalam persidangan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi menilai alat-alat bukti yang diajukan ke persidangan dengan memperhatikan persesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain.

Putusan Pasal 45 UU MK (1) Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim. (2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan harus didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti. (3) Putusan Mahkamah Konstitusi wajib memuat fakta yang terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan.

Amar Putusan MK dalam SKLN Pilihan amar putusan MK dalam perkara SKLN telah dituangkan pada Pasal 64 UU Mahkamah Konstitusi Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 terkait dengan legal standing pemohon, amar putusan MK akan menyatakan permohonan tidak dapat diterima (niet onvan kelijk verklaar). Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan. Dalam hal permohonan dikabulkan, MK harus menyatakan dengan tegas bahwa termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan. Dalam hal permohonan tidak beralasan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.

Penyampaian Salinan Putusan Mahkamah wajib mengirimkan salinan putusan kepada pemohon, termohon, dan pihak-pihak terkait dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diucapkan. (Pasal 30 ayat (1) PMK Nomor 08/PMK/2006) Putusan Mahkamah disampaikan kepada DPR, DPD, dan Presiden, serta lembaga negara lain apabila dipandang perlu. (Pasal 63 UU MK dan Pasal 30 ayat (2) PMK Nomor 08/PMK/2006)

END OF SESSION