1. Subjek Pajak 2. Wajib Pajak 3. Penanggung Pajak 4. Fiscus Beberapa pihak yang dalam bidang pajak : 1. Subjek Pajak 2. Wajib Pajak 3. Penanggung Pajak 4. Fiscus
Subjek Pajak Subjek Pajak adalah orang atau badan yang telah memenuhi syarat subjektif. Syarat subjektif yaitu yang melekat pada diri subjek yang bersangkutan, seperti lahir di Indonesia, berdomisili dan sebagainya. Subjek pajak ini dapat berupa orang, badan, dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan.
Wajib Pajak Wajib Pajak adalah subjek pajak yang telah memenuhi syarat objektif, selain juga syarat subjektif. Syarat objektif adalah syarat yang berkaitan dengan sasaran pengenaan pajak (objek pajak).
Penanggung Pajak Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban wajib pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Fiskus Fiskus adalah aparatur pemerintah yang menangani pemasukan uang dari rakyat berupa pajak untuk dimaksukkan ke dalam kas negara.
OBJEK PAJAK Objek pajak (tatbestand) atau sasaran pengenaan pajak dapat diartikan keadaan peristiwa dan perbuatan yang menurut ketentuan Undang-Undang memenuhi persyaratan bagi dikenakannya pajak.
Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk memungut pajak adalah: 1. Asas Negara Tempat Tinggal 2. Asas Negara Asal (Negara Sumber) 3. Asas Kebangsaan
Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk memungut pajak adalah: 1. Asas Negara Tempat Tinggal 2. Asas Negara Asal (Negara Sumber) 3. Asas Kebangsaan
Asas Negara Tempat Tinggal atau Asas domisili atau asas kependudukan (domicile/residence principle) Asas Negara tempat tinggal mengandung arti bahwa Negara tempat seseorang bertempat tinggal, tanpa memandang kewarganegaraannya, mempunyai hak yang tak terbatas untuk memungut pajak terhadap orang-orang itu atas semua pendapatan yang mereka peroleh tanpa menghiraukan dimana pendapatan itu diperoleh.
Asas Negara Asal (Negara Sumber) Asas Negara sumber mendasarkan pemajakan pada tempat dimana sumber itu berada, seperti adanya suatu perusahaan, kekayaan atau tempat kegiatan disuatu Negara. Negara dimana sumber itu berada mempunyai wewenang untuk mengenakan pajak atas hasil yang keluar dari sumber itu.
Asas Kebangsaan atau Asas Nasionalitas atau disebut juga asas Kewarganegaraan (nationality/citizenship principle) : Asas ini mendasarkan pengenaan pajak seseorang pada status kewarganegaraannya. Jadi pemajakan dilakukan oleh Negara asal wajib pajak. Yang dikenakan pajak adalah semua orang yang mempunyai kewarganegaraan Negara tersebut, tanpa memandang tempat tinggalnya. Apabila asas ini digunakan oleh suatu Negara maka sasaran pengenaan pajaknya adalah seluruh penghasilan dan kekayaan dari manapun asalnya.
Sistem Pemungutan Pajak Sistem Pemungutan Pajak 1. Official Assesment system 2. Self Assessment System 3. With Holding System
Official Assesment system Official Assesment system Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. ciri-cirinya : 1. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus 2. Wajib pajak bersifat pasif 3. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus
Self Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. ciri-cirinya adalah : 1. wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri 2. wajib pajak aktif mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. 3. fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
With Holding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. ciri-cirinya adalah wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga pihak selain fiskus dan wajib pajak.
Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 stelsel : 1. Stelsel Riil (Nyata) 2. Stelsel Anggapan (Fictieve stelsel) 3. Stelsel Campuran
Stelsel Riil (Nyata) Pengenaan Pajak didasarkan pada keadaan objek yang sesungguhnya. Apabila pajak itu dikenakan terhadap penghasilan, misalnya, maka pengenaan itu didasarkan pada penghasilan yang sungguh-sungguh diterima atau diperoleh wajib pajak.
Stelsel Anggapan (Fictieve stelsel) Stelsel Anggapan (Fictieve stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan hukum (fictieve) tertentu. Fictie hukum yang dipakai misalnya mengganggap bahwa penghasilan yang diterima oleh wajib pajak adalah sama besarnya untuk setiap tahun pajak. Oleh karena itu begitu tahun pajak berakhir dan diketahui besarnya penghasilan wajib pajak yang bersangkutan maka sudah dapat ditentukan pajak penghasilan untuk tahun berikutnya.
Stelsel Campuran Merupakan kombinasi antara stelsel Nyata dan stelsel anggapan, sekaligus untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan kedua stelsel tersebut. Dalam stelsel ini utang pajak dikenakan dengan mendasarkan stelsel fictie pada awal masa atau tahun pajak yang merupakan ketetapan yang bersifat sementara dan kemudian setelah masa atau tahun pajak berakhir akan dikoreksi berdasarkan keadaan penghasilan yang sesungguhnya diterima oleh wajib pajak.
Menurut Rochmat Sumitro, utang pajak adalah utang yang timbul secara khusus karena Negara (kreditur) terikat dan tidak dapat memilih secara bebas siapa yang akan dijadikan debiturnya, seperti dalam hukum perdata. Hal ini terjadi mengingat utang pajak lahir karena undang-undang Saat dan lahirnya utang pajak dikenal ada 2 ajaran : Ajaran formal dan ajaran material.
Utang menurut ajaran material adalah utang pajak timbul dengan sendirinya karena pada saat yang ditentukan oleh undang-undang sekaligus dipenuhi syarat subjek dan syarat objek.
Menurut ajaran formal, utang pajak timbul karena undang-undang pada saat dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak Oleh Direktur Jendral Pajak. Dalam hal ini lahirnya utang pajak menurut ajaran formal terjadi karena undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia, yakni perbuatan dari aparatur pajak untuk mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak.
Hal yang dapat menghapuskan utang pajak adalah : 1. Pembayaran 2. Kompensasi Utang 3. Pembebasan Utang 4. Pembatalan atau batal demi hukum 5. Daluwarsa.
Pembayaran : Pembayaran lunas terhadap suatu utang umumnya dapat menghapuskan utang. Hal yang seperti itu juga berlaku dalam perikatan pajak. Apabila utang pajak dibayar lunas, maka hapuslah utang pajak tersebut.
Kompensasi Utang Dalam hal terdapat kelebihan pembayaran pajak, misalnya yang disebabkan oleh berbagai hal seperti perubahan peraturan, adanya pemberian pengurangan, kekeliruan pembayaran dan lainnya maka kelebihan pembayaran pajak itu menjadi hak wajib pajak. Dalam hal demikian, kelebihan pembayaran pajak itu dapat direstitusikan (dikembalikan) kepada wajib pajak, dikompensasikan (diperhitungkan) dengan utang pajak untuk tahun pajak berikutnya.
Pembebasan utang Peniadaan utang dalam perikatan perdata dapat dilakukan oleh kreditur terhadap utang debitur dengan alasan-alasan tertentu yang dikehendaki kreditur dan disetujui debitur. Dalam hal utang pajak, peniadaan utang hanya dapat dilakukan dengan adanya keputusan administrasi di bidang pajak.
Pembatalan Dalam perikatan pajak juga tidak dikenal adanya perikatan yang batal demi hukum, melainkan harus ada pembatalan atau dalam hal ini dapat dibatalkan. Dapat dibatalkan memiliki arti bahwa batalnya perikatan memerlukan tindakan pembatalan dan akibat hukumnya dianggap ada sampai saat pembatalan.
Daluwarsa Dalam hal pajak dikenal adanya daluwarsa yang lemah, yaitu lampaunya waktu yang ditentukan mengakibatkan terhapusnya kewenangan untuk menagih pajak, sementara hak untuk mengenakan pajak tidak pernah daluwarsa. Disamping itu dikenal daluwarsa yang kuat, yakni daluwarsa yang mengakibatkan hilangnya kewenangan dari Direktur Jendral Pajak.