-Ushul fiqh adalah metodologi mujtahid untuk menggali hukum syara’ dari sumbernya. -hukum syara’ terbagi dua : Hukum syara’ dari aspek khitab (seruan) a. Hukum Taklifi b. Hukum Wadh’i Hukum syara’ dari aspek lafadz
Hukum Taklifi 2. Hukum Wadh’i HUKUM SYARA’ DARI ASPEK KHITAB (seruan) Hukum Taklifi 2. Hukum Wadh’i
POKOK BAHASAN HUKUM TAKLIFI -Macam-Macam Hukum Taklifi : (1) Wajib, (2) Mandub, (3) Mubah (4) Makruh, (5) Haram
MACAM-MACAM HUKUM TAKLIFI
DEFINISI HUKUM TAKLIFI Seruan Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan manusia, baik yang berkaitan dengan tuntutan (iqtidha’) maupun pilihan (takhyir) adalah seruan yang menjelaskan hukum-hukum perbuatan manusia (Hafidz Abdurrahman MA, Ushul Fiqih, 2003: hlm. 33) -Hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum syara’, oleh karena itu tiap Muslim wajib mengetahui hukum syara’ mengenai setiap perbuatan sebelum melakukannya, baik itu wajib, sunah, mubah, makruh maupun haram.
Hukum Taklifi ada 5: 1. CATATAN TENTANG WAJIB (1) Wajib dan Fardhu menurut jumhur ulama (selain ulama mazhab Hanafi) artinya sama. Menurut ulama Hanafiyah, fardhu adalah apa-apa yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’I-pasti- (qath’i tsubut dan qath’i dalalah). Sedangkan wajib, adalah apa-apa yang ditetapkan berdasartkan dalil zhanni (tidak pasti). M. Husain Abdullah, Al Wadhif fi Ushul Al Fiqh, hlm. 221
CATATAN TENTANG WAJIB (2) Wajib atau Fardhu dapat juga didefinisikan apa-apa yang diberi pahala atau dipuji bagi yang melaksanakannya dan yang akan disiksa dan dicela bagi yang meninggalkannya. (3) macam-macam wajib menurut waktu pelaksanaannya : hlm.37 (3.1) wajib mutlak = waktunya tidak terikat (waktunya bebas) Misal : mengganti puasa ramadhan karena sakit atau berpergian, bisa menggantinya kapan saja. Atau membayar nadzar bisa dilakukan kapan saja. Mengqadha puasa Ramadhan (menurut Hanafiyah)
CATATAN TENTANG WAJIB (3.2) wajib muqayyad = waktunya terikat/tertentu, kalau dikerjakan di luar waktunya maka berdosa. Misal : sholat lima waktu, puasa Ramadhan, ibadah haji. Wajib muqayyad dibagi lagi menjadi dua : (3.2.1) wajib muwassa’ = yaitu kewajiban yg waktu pelaksanaanya longgar. Co sholat Isya, bisa dikerjakan diawal maupun pertengahan malam (3.2.2) wajib mudhayyaq = kewajiban yg waktu pelaksanaanya sempit, misal puasa Ramadhan waktunya tetap mulai dari fajar hingga terbenamnya matahari, waktunya tdk bisa digeser
CATATAN TENTANG WAJIB (4) Pembagian wajib berdasarkan aspek Substansinya-isi : (4.1) wajib mu’ayyan : yaitu kewajiban yang sudah tertentu dan tak bisa digantikan yang lain. Misal ; sholat lima waktu, tak bisa digantikan dengan qiraatul Qur`an atau berdo’a. (4.2.) wajib mukhayyar atau wajib ghair mu’ayyan = yaitu kewajiban yang tidak tertentu dan bisa digantikan yang lain. Kafarah untuk sumpah, bisa memilih memberi makan 10 orang miskin, memerdekakan budak, atau melakukan puasa 3 hari. Misal : kaffarah melanggar sumpah (QS Al Maidah : 89)
CATATAN TENTANG WAJIB (5) Pembagian wajib berdasarkan mukallaf pelakunya (berdasarkan subjek yg terkena tanggung jawab): (5.1) wajib ‘ain : yaitu kewajiban yang berlaku untuk setiap mukallaf, bukan sebagian saja dari mukallaf. Misal ; sholat lima waktu, puasa ramadhan, zakat, dll (5.2.) wajib kifayah = yaitu kewajiban yang jika sudah dilaksanakan oleh sebagian, gugur kewajiban sebagian lainnya yang tidak mengerjakan, kecuali jika kewajiban tersebut belum tertunaikan maka dosanya akan menimpa semua orang. Misal : mengurus dan sholat jenazah
CATATAN TENTANG WAJIB (6) Pembagian wajib berdasarkan penetapan kadarnya (ukurannya): (6.1) wajib muhaddadul miqdar : yaitu kewajiban yang sudah ditetapkan kadarnya atau ukurannya, Misalnya sholat lima waktu, sudah ditetapkan jumlah rekaatnya, membayar zakat, diyat (denda) (6.2.) wajib ghair muhaddad al miqdar = yaitu kewajiban yang tidak ditetapkan kadarnya atau ukurannya. Misal : infaq fi sabilillah , kadar nafkah kepada keluarga, dlm hal ini diserahkan ukurannya kpd mukalaf sesuai dengan kemampuan dan kelayakan.
CATATAN TENTANG WAJIB (7) Kaidah : maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa waajib (al-Ghazali, al-Mustashfa:57; al-Amidi, al-Ihkam juz 1 hlm. 110-111) Artinya : sesuatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib. Misal : belajar bahasa Arab wajib, karena tak mungkin memahami Al Qur`an dengan sempurna kecuali dengan bahasa Arab. Misal : menegakkan Khilafah wajib, karena tak mungkin menerapkan syariah secara kaffah (totalitas) kecuali dalam negara Khilafah.
2. CATATAN TENTANG MANDUB Mandub dapat juga ddefinisikan apa-apa yang pelakunya dipuji dan diberi pahala dan tidak dicela bagi yang tidak melakukannya Istilah lain dari mandub : sunnah, nafilah (ibadah tambahan), mustahab (yg disukai), tathawwu’ suka rela). Walaupun tidak wajib, tapi muslim dianjurkan memperbanyak yang mandub. Hikmah mengerjakan yang mandub, atara lain menghapus dosa (QS Huud : 114). Ada kalanya suatu perbuatan mandub bagi orang per orang, tapi wajib bagi umat secara keseluruhan, seperti nikah, karena jika ditinggalkan umat akan mengalami lost generation
3.CATATAN TENTANG HARAM Haram dapat juga ddefinisikan apa-apa yang pelakunya dicela dan berhak mendapat siksa serta bagi yang meninggalkannya mendapat pahala. Istilah lain dari haram : mahzhuur, atau hazhar. Pembagian haram : hlm. 44 (1) Haram li dzatihi : yaitun haram pada sesuatu itu sendiri, seperti zina, minum khamr. (2) Haram li ghairihi : yaitu haram bukan pada dirinya sendiri, tapi karena ada illat syar’iyah yang mengharamkannya. Misal : jual beli saat adzan jumat.
CATATAN TENTANG HARAM Kaidah : al wasilah ila al haram haram. Artinya : segala perantaraan, baik berupa perbuatan atau benda, yang hukum asalnya tidak haram, menjadi haram jika diduga kuat akan mengantarkann kepada yg haram Misal : menyewakan kamar bagi PSK, menjual anggur bagi pembuat khamr, dll.
CATATAN TENTANG MAKRUH Makruh merupakan perbuatan yang jika ditinggalkan akan mendapat pahala dan tidak disiksa jika dikerjakan. Contoh : idho’atul maal (boros). Menurut ulama Hanafiyah, makruh ada dua : (1) Makruh tahriim = yaitu makruh yang pelakunya berhak mendapat siksa. (2) Makruh tanziih = yaitu makruh yang pelakunya tidak mendapat siksa Jumhur ulama menetapkan bahwa perbuatan yang berhak mendapat siksa lebih tepat digolongkan kepada haram, bukan makruh.
CATATAN TENTANG MUBAH MUBAH ITU BUKAN BERARTI SESUATU YANG TIDAK ADA DALILNYA Melainkan sesuatu yang ada dalil yang menunjukkan kemubahannya Mubah yaitu khitab (seruan) pembuat syariat yg ditunjukkan oleh dalil sam’i (wahyu) yg di dalamnya berisi pilihan antara melaksanakan atau meninggalkan tanpa disertai kompensasi pahala, atau dosa bagi yang meninggalkannya. Contoh, berburu setelah berhaji hukumnya boleh. Padahal ketika haji, berburu dilarang (haram). Bertebaran untuk mencari rizki setelah sholat jum’at hukumnya boleh. Padahal mencari rijki ketika pas jumatan hukumnya dilarang (haram). Rumus mubah : ketika ada perintah (amr) melakukan perbuatan, yg mana perbuatan itu sebelumnya hukumnya haram (dilarang), maka hukum perintah perbuatan itu adalah mubah bukan wajib.
sumber KH. M. Shiddiq al-Jawi, M.S.I.