Realitas & “Kesadaran” Semiotika 15 Maret 2016
Apakah sejatinya realitas itu ? “Kalau orang tidak bisa mencapai pengetahuan yang utuh dan pasti tentang realitas, tentulah ‘pesan’ itu sendiri tidak pernah mencapai keutuhan yang pasti”. (Karlina Supeli) Apakah sejatinya realitas itu ?
Realitas Kumpulan berbagai situasi dan kondisi dalam kehidupan manusia dan masyarakat Benda-benda alam, peristiwa-peristiwa alam, ataupun seluruh fakta yang hadir dalam kehidupan sosial manusia yang bisa diserap panca indera dan dirasakan sepenuhnya oleh manusia
Seluruh perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan manusia tidak bisa lepas dengan bagaimana gambaran dan model cara pendekatan manusia terhadap realitas tersebut. Secara prinsip cara memahami dan melihat bagaimana realitas itu hadir dan dihadirkan tentu amat beragam, bahkan kadang saling bertentangan satu dengan yang lain.
Perbedaan ragam dalam mengetahui dan memahami realitas ini, tidak jarang seringkali memberi bobot persoalan sendiri bagi dunia pengetahuan dan juga implikasinya bagi kehidupan masyarakat. Satu memberi bobot pemutlakan yang ekstrim sehingga banyak melahirkan cara pandang yang dogmatis, beku dan absolut
Satu pendulum yang lain memberi bobot relatif yang ekstrim sehingga pada dimensi tertentu melahirkan nihilisme-nihilisme pemikiran dalam memandang realitas kenyataan yang ada. Hingga saat ini, ketegangan-ketegangan di antara batas absolut dan batas relatif itu masih hadir dan dalam posisi tertentu sering mengutub pada konflik-konflik epistemik yang keras.
Sejarah telah mencatat bagaimana pertentangan abadi dari kutub pengandaian kebenaran yang diusung oleh pemikiran ‘objektivisme’ dan ‘subjektivisme’. Kebenaran objektif selalu mengandaikan bahwa ada kebenaran objektif di luar sana yang bediri sendiri tanpa campur tangan dan intervensi manusia.
Kebenaran objektif itu eksis sebagai sebuah realitas yang berdiri sendiri, bahkan sebelum manusia itu memikirkannya melalui bahasa-bahasa pengetahuan dan penafsiran yang dihasilkan. Kebenaran objektif adalah sesuatu yang primer (utama) yang menjadi basis dari munculnya kesadaran-kesadaran atau pengetahuan manusia.
Pandangan subjektif melihat bahwa kebenaran dan kenyataan itu sejatinya eksis saat manusia memikirkannya atau menafsirkannya. Subjektivitas penafsiran manusia dan pemahaman manusia tentang realitas di luar sana menjadi yang primer dan utama.
Kenyataan tidak akan menjadi kenyataan sebelum manusia memikirkannya dan menafsirkannya dalam bahasa-bahasa yang dikembangkannya. Kenyataan yang manusia lihat sejatinya hanyalah cermin dan pantulan dari pikiran dan interpretasi manusia.
Dalam perkembangannya, dikotomi biner tadi sudah dianggap tak relevan untuk dibenturkan, sehingga relasi keduanya banyak dipertemukan Ada dialog dan pertemuan interaksi keduannya. Apa yang disebut ‘ilmu pengetahuan manusia’ mempunyai dimensi ‘personal’ dan dimensi ‘sosio kultural’.
Epistemologi Bahasa dan Zaman Penafsiran Bahasa yang hadir tidak dimaknai sebagai sarana pesan tetapi jauh melebihi dari itu yakni sebagai syarat eksistensi dari sebuah pengenalan tentang realitas. Bagi penganut pandangan ini, semua yang ada hanyalah beragamnya berbaga penafsiran.
Kesadaran tsb yang menyebabkan sebagian orang melihat bahwa di luar sana sejatinya tak ada ‘fakta’ tetapi ‘penafsiran’. Gianni Vattimo, salah seorang pemikir kontemporer hari ini menyebut secara dalam bahwa “realitas dalam semua aspeknya telah terciptakan menjadi pesan”.
Zaman penafsiran dan berkembangnya kesadaran bahasa sebagai sentral dalam pengenalan realitas ini yang akhirnya menjadi tiang penting lahirnya berbagai kesadaran semiotik. Bagi keyakinan kesadaran ini, realitas amat ditentukan bagaimana subjektifitas penafsiran manusia.
Sebuah benda tak akan eksis dan bermakna sebelum manusia menggunakan bahasa. Zaman modernitas atau nalar modernitas meletakkan pada kekuatan ‘kesadaran’, ‘akal’, ‘rasio’ dan juga ‘pengalaman’ manusia, namun dalam era postmodernitas filsafat beralih pada titik tekan ‘bahasa’
Tapi banyak dari tiang-tiang konsep pemikiran dan teori modern yang masih sangat berpengaruh dalam perkembangan semiotik. Misal ; fakta sosial objektif yang mempengaruhi cara pemahaman semiotik struktural, yang dikembangan oleh Ferdinand de Saussure.
Saussure sangat terinspirasi oleh pandangan pemikir sosiologi besar Emile Durkheim mengenai ‘fakta sosial’. Durkheim meyakini bahwa realitas sosial masyarakat adalah kumpulan fakta-fakta yang berdiri objektif di luar diri kesadaran manusia. Fakta sosial adalah fakta kolektif yang mengatasi kesadaran individu.
Oleh Saussure pandangan fakta social ini ditempatkan ke bahasa. Bahasa dianggap sebagai sebuah bentuk fakta konsensus sosial masyarakat. Dalam pandangan strukturalisme ini, makna bahasa tidak bisa bebas menjadi otoritas individu tetapi menjadi konsensus kolektif yang mengikat semua orang - universal.
Pandangan penting kesadaran semiotik : Pertama, bahwa bahasa bukanlah ‘substansi’ tetapi hanyalah tetapi ‘bentuk’ (form). Dalam diri bahasa tidak ada substansi atau esensi yang ada pada dirinya. Pandangan ini meyakini bahwa bahasa hanyalah ‘citra akustik’ (kesan bunyi) yang kemudian diimajinasikan dalam pikiran penutur.
Kedua, Bahasa tidaklah sebuah fakta ‘struktural’ melainkan ‘kultural’. Artinya makna bahasa bukanlah sesuatu yang tetap dan tak berubah melainkan sebuah fakta kultural yang dinamis. Sebuah bahasa akan sangat ditentukan oleh relasi dan konteks kulturalnya masing-masing.
ketiga adalah bahwa bahasa bukanlah berdiri sendiri sebagai pengertian tunggal pada dirinya sendiri. Setiap bahasa ataupun tanda mempunyai unsur relasi di dalamnya. Setiap tanda akan selalu menghubungkan, tanda-tanda yang lain. Setiap bahasa dan tanda mengandung dimensi relasionalnya.