Realitas & “Kesadaran” Semiotika

Slides:



Advertisements
Presentasi serupa
Fenomena Komunikasi Massa
Advertisements

SOSIOLOGI AGAMA PRODI PENDIDIKAN SOSIOLOGI SEMESTER VI PERTEMUAN II
Sosiologi Pedesaan Pertemuan I I
Isyu-isyu penting dalam teori Kepribadian.
Mutia Rahmi Pratiwi Jurusan Ilmu Komunikasi UDINUS Semarang
OPINI Publik Dari TINJAUAN ilmu Sosial
«Sosiologi Komunikasi»
Pengantar Kesusastraan Umum
IDENTITAS NASIONAL.
Pendekatan dalam sastra
ILMU SEJARAH DI PRANCIS
Paradigma Positivistik & Konstruktivistik
HAKIKAT PENGETAHUAN Pranarka: pengetahuan adalah persatuan intrinsik antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui. Pengetahuan selalu berada.
BERBAGAI PENDEKATAN DALAM PENGKAJIAN SASTRA
PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT
TEORI KRITIS DALAM HAZANAH SAINS MODERN
STRUKTURALISME Dewi Puri Astiti.
Dosen: ADE SURYANI, M.Soc.Sc
TRADISI-TRADISI TEORI KOMUNIKASI
PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA
Teori perubahan sosial dan hukum
TEORI KOMUNIKASI Nuryadi, S.Sos. M.I.Kom..
PENGERTIAN DAN OBYEK LINGUISTIK
KOMUNIKASI VERBAL Pertemuan 09
FILSAFAT MANUSIA ESENSI MANUSIA.
TEORI-TEORI TENTANG MEDIA
POSTMODERNISME DAN TEORI-TEORI RELEVAN UNTUK PENELITIAN BUDAYA (SENI)
Teori – Teori Sosial Pip, Jones (2009).
Teori tindakan Elearning kedua.
IDENTITY RESTU RAHMAWATI, S.IP,. MA.
PEMIKIRAN TOKOH – TOKOH DALAM ILMU SOSIAL
Fikom UEU Halomoan Harahap
Bab 1. PENGETAHUAN DENGAN ILMU PENGETAHUAN TELAAH FILOSOFIS
Fenomena Komunikasi Massa
Paradigma Positivistik & Konstruktivistik
METODE PENELITIAN KEBUDAYAAN TENTANG PARADIGMA-PARADIGMA/ANALISIS-ANALISIS KEBUDAYAAN MENURUT PANDANGAN PROF. DR. HEDDY SHRI AHIMSA-PUTRA, M.A., M.Phil.
Posisi Semiotika dan Tradisi-tradisi Besar Filsafat Pemikiran
PERUBAHAN SOSIAL NUR ENDAH JANUARTI.
Paradigma Dalam Sosiologi
Paradigma Dalam Sosiologi
Fenomena Komunikasi Massa
Filsafat Sosiologi Komunikasi
«Sosiologi Komunikasi»
Muhammmad Noor Hidayat
Pancasila Sebagai Ideologi nasional (2)
Pancasila Sebagai Ideologi nasional (2)
Gimana Jadinya Negara Indonesia tanpa Ideologi Pancasila ?????
Muhammmad Noor Hidayat Jurusan Ilmu Komunikasi UDINUS Semarang
PENDEKATAN PENELITIAN (Strategi Penelitian) KUALITATIF
PENDEKATAN PENELITIAN (Strategi Penelitian) KUALITATIF
SEJARAH FILSAFAT ILMU.
AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL
FILSAFAT DAN PARADIGMA ILMU
Dosen: ADE SURYANI, M.Soc.Sc
PENGERTIAN OPINI PUBLIK
FILSAFAT MANUSIA ESENSI MANUSIA.
MASYARAKAT.
Dekonstruksi Kebenaran (Pengantar ke Pemikiran Aliya Harb)
Pertemuan III Filsafat Ilmu Dan Logika
Pengantar Kesusastraan Umum
KOMBINASI DAN KOORDINASI ANTARA BERBAGAI RANAH
PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA
FENOMENA KOMUNIKASI DALAM PRESPEKTIF EPISTEMOLOGIS
Komunikasi Nonverbal Kelompok 3 : Alfa Rabby Della Rizka Ibnu S.
PENGERTIAN OPINI PUBLIK
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
Paradigma Positivistik & Konstruktivistik
KONSTRUKTIVISME Pertemuan 6
INTERPRETIF Pertemuan 5
MANUSIA dan REALITAS.
Transcript presentasi:

Realitas & “Kesadaran” Semiotika 15 Maret 2016

Apakah sejatinya realitas itu ? “Kalau orang tidak bisa mencapai pengetahuan yang utuh dan pasti tentang realitas, tentulah ‘pesan’ itu sendiri tidak pernah mencapai keutuhan yang pasti”. (Karlina Supeli) Apakah sejatinya realitas itu ?

Realitas Kumpulan berbagai situasi dan kondisi dalam kehidupan manusia dan masyarakat Benda-benda alam, peristiwa-peristiwa alam, ataupun seluruh fakta yang hadir dalam kehidupan sosial manusia yang bisa diserap panca indera dan dirasakan sepenuhnya oleh manusia

Seluruh perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan manusia tidak bisa lepas dengan bagaimana gambaran dan model cara pendekatan manusia terhadap realitas tersebut. Secara prinsip cara memahami dan melihat bagaimana realitas itu hadir dan dihadirkan tentu amat beragam, bahkan kadang saling bertentangan satu dengan yang lain.

Perbedaan ragam dalam mengetahui dan memahami realitas ini, tidak jarang seringkali memberi bobot persoalan sendiri bagi dunia pengetahuan dan juga implikasinya bagi kehidupan masyarakat. Satu memberi bobot pemutlakan yang ekstrim sehingga banyak melahirkan cara pandang yang dogmatis, beku dan absolut

Satu pendulum yang lain memberi bobot relatif yang ekstrim sehingga pada dimensi tertentu melahirkan nihilisme-nihilisme pemikiran dalam memandang realitas kenyataan yang ada. Hingga saat ini, ketegangan-ketegangan di antara batas absolut dan batas relatif itu masih hadir dan dalam posisi tertentu sering mengutub pada konflik-konflik epistemik yang keras.

Sejarah telah mencatat bagaimana pertentangan abadi dari kutub pengandaian kebenaran yang diusung oleh pemikiran ‘objektivisme’ dan ‘subjektivisme’. Kebenaran objektif selalu mengandaikan bahwa ada kebenaran objektif di luar sana yang bediri sendiri tanpa campur tangan dan intervensi manusia.

Kebenaran objektif itu eksis sebagai sebuah realitas yang berdiri sendiri, bahkan sebelum manusia itu memikirkannya melalui bahasa-bahasa pengetahuan dan penafsiran yang dihasilkan. Kebenaran objektif adalah sesuatu yang primer (utama) yang menjadi basis dari munculnya kesadaran-kesadaran atau pengetahuan manusia.

Pandangan subjektif melihat bahwa kebenaran dan kenyataan itu sejatinya eksis saat manusia memikirkannya atau menafsirkannya. Subjektivitas penafsiran manusia dan pemahaman manusia tentang realitas di luar sana menjadi yang primer dan utama.

Kenyataan tidak akan menjadi kenyataan sebelum manusia memikirkannya dan menafsirkannya dalam bahasa-bahasa yang dikembangkannya. Kenyataan yang manusia lihat sejatinya hanyalah cermin dan pantulan dari pikiran dan interpretasi manusia.

Dalam perkembangannya, dikotomi biner tadi sudah dianggap tak relevan untuk dibenturkan, sehingga relasi keduanya banyak dipertemukan Ada dialog dan pertemuan interaksi keduannya. Apa yang disebut ‘ilmu pengetahuan manusia’ mempunyai dimensi ‘personal’ dan dimensi ‘sosio kultural’.

Epistemologi Bahasa dan Zaman Penafsiran Bahasa yang hadir tidak dimaknai sebagai sarana pesan tetapi jauh melebihi dari itu yakni sebagai syarat eksistensi dari sebuah pengenalan tentang realitas. Bagi penganut pandangan ini, semua yang ada hanyalah beragamnya berbaga penafsiran.

Kesadaran tsb yang menyebabkan sebagian orang melihat bahwa di luar sana sejatinya tak ada ‘fakta’ tetapi ‘penafsiran’. Gianni Vattimo, salah seorang pemikir kontemporer hari ini menyebut secara dalam bahwa “realitas dalam semua aspeknya telah terciptakan menjadi pesan”.

Zaman penafsiran dan berkembangnya kesadaran bahasa sebagai sentral dalam pengenalan realitas ini yang akhirnya menjadi tiang penting lahirnya berbagai kesadaran semiotik. Bagi keyakinan kesadaran ini, realitas amat ditentukan bagaimana subjektifitas penafsiran manusia.

Sebuah benda tak akan eksis dan bermakna sebelum manusia menggunakan bahasa. Zaman modernitas atau nalar modernitas meletakkan pada kekuatan ‘kesadaran’, ‘akal’, ‘rasio’ dan juga ‘pengalaman’ manusia, namun dalam era postmodernitas filsafat beralih pada titik tekan ‘bahasa’

Tapi banyak dari tiang-tiang konsep pemikiran dan teori modern yang masih sangat berpengaruh dalam perkembangan semiotik. Misal ; fakta sosial objektif yang mempengaruhi cara pemahaman semiotik struktural, yang dikembangan oleh Ferdinand de Saussure.

Saussure sangat terinspirasi oleh pandangan pemikir sosiologi besar Emile Durkheim mengenai ‘fakta sosial’. Durkheim meyakini bahwa realitas sosial masyarakat adalah kumpulan fakta-fakta yang berdiri objektif di luar diri kesadaran manusia.  Fakta sosial adalah fakta kolektif yang mengatasi kesadaran individu.

Oleh Saussure pandangan fakta social ini ditempatkan ke bahasa. Bahasa dianggap sebagai sebuah bentuk fakta konsensus sosial masyarakat. Dalam pandangan strukturalisme ini, makna bahasa tidak bisa bebas menjadi otoritas individu tetapi menjadi konsensus kolektif yang mengikat semua orang - universal.

Pandangan penting kesadaran semiotik : Pertama, bahwa bahasa bukanlah ‘substansi’ tetapi hanyalah tetapi ‘bentuk’ (form). Dalam diri bahasa tidak ada substansi atau esensi yang ada pada dirinya. Pandangan ini meyakini bahwa bahasa hanyalah ‘citra akustik’ (kesan bunyi) yang kemudian diimajinasikan dalam pikiran penutur.

Kedua, Bahasa tidaklah sebuah fakta ‘struktural’ melainkan ‘kultural’. Artinya makna bahasa bukanlah sesuatu yang tetap dan tak berubah melainkan sebuah fakta kultural yang dinamis. Sebuah bahasa akan sangat ditentukan oleh relasi dan konteks kulturalnya masing-masing.

ketiga adalah bahwa bahasa bukanlah berdiri sendiri sebagai pengertian tunggal pada dirinya sendiri. Setiap bahasa ataupun tanda mempunyai unsur relasi di dalamnya. Setiap tanda akan selalu menghubungkan, tanda-tanda yang lain. Setiap bahasa dan tanda mengandung dimensi relasionalnya.