"Tax Holiday" Belum Bisa Membendung Impor Ponsel Pemerintah memberikan pembebasan atau pengurangan pembayaran pajak dalam waktu tertentu (tax holiday) kepada industri telekomunikasi. kebijakan tersebut sebenarnya sebagai langkah untuk meredam volume impor telepon genggam (ponsel). "Tax holiday kita berikan pada perusahaan telekomunikasi karena melihat banyaknya impor handphone ke Indonesia, tapi sampai sekarang tidak ada perusahaan bidang telekomunikasi yang berinvestasi di Indonesia," tutur Dirjen Industri Berbasis Manufaktur Kementerian Perindustrian Panggah Susanto, usai rapat koordinasi di Kementerian Perekonomian, Senin (22/8/2011). Pemerintah memutuskan menyisipkan sektor telekomunikasi menjadi salah satu penerima tax holiday untuk memancing minat perusahaan yang bergerak di bidang telekomunikasi berinvestasi di Indonesia. Pengalokasian tax holiday pada sektor telekomunikasi itu diberikan tanpa melihat rekam jejak perusahaan telekomunikasi asing yang sempat mendominasi perusahaan dalam negeri. Namun, dia menegaskan, tax holiday itu harus diberikan tanpa membedakan status perusahaan apakah asing atau lokal. Dikonfirmasi terpisah, Dirjen Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kementerian Perindustrian Budi Darmadi mengutarakan, industri telekomunikasi sebenarnya memiliki celah untuk dikembangkan melalui investasi baru. Sebab, selama ini industri telekomunikasi mulai dari komponen, sub komponen, hingga perakitan sebagian besar mendatangkan bahan bakunya dari luar negeri. Misalnya, sistem jaringan serat optik, tiang, dan kabel bawah. Untuk belanja kerja industri telekomunikasi setidaknya membutuhkan dana sekitar Rp 150 triliun. Sebagian besar impor. Oleh karena itu, tax holiday diharapkan dapat mengalihkan porsi impor itu menjadi investasi di pasar dalam negeri. Meski enggan menyebut nama perusahaan, Budi menuturkan, setidaknya beberapa perusahaan dari Eropa Barat, Korea Selatan, China, Jepang, dan Amerika Utara telah menyatakan minatnya berinvestasi dalam pembangunan industri komponen telekomunikasi. "Seperti perusahaan asal Amerika yang katanya mau investasi pembuatan radar dan CCB circuit box," katanya. Untuk investasi langsung perusahaan yang memproduksi telepon genggam, dia mengaku, belum mengetahui secara pasti. Hanya, katanya, telah ada enam perusahaan merek terkenal yang sudah memasarkan produknya di Indonesia meski tanpa insentif tax holiday. Selain telepon genggam dan komponen, perusahaan yang memproduksi netbook bisa menikmati fasilitas tax holiday itu karena kategori industri telekomunikasi termasuk peralatan yang bisa digunakan untuk internet. "Intinya peralatan telekomunikasi yang bisa internet, kalau netbook tergantung, bisa atau tidak buat internet," paparnya. Berdasarkan data impor yang dirilis Kementerian Perdagangan, produk elektronika asal China menguasai pasar impor elektronik selama Januari-Mei 2011. Nilai impor barang elektronik asal negara itu mencapai 559,8 juta dollar AS atau 35,9 persen dari total angka impor pada periode itu yang mencapai 1,55 miliar dollar AS. Total impor periode Januari-Mei 2011 itu naik 11,95 persen dari periode yang sama pada tahun sebelumnya dengan nilai 1,39 miliar dollar AS. Secara proporsi, China menduduki posisi pemasok impor Indonesia yang terbesar disusul Hongkong 353,3 juta dollar AS, Singapura 334,8 juta dollar AS, India 113 juta dollar AS, dan Korea Selatan 72,8 juta dollar AS. Penyumbang produk elektronik impor lainnya berasal dari Malaysia senilai 66,6 juta dollar AS, Thailand 44,4 juta dollar AS, Jepang 2,6 juta dollar AS, Amerika Serikat 2,6 juta dollar AS, dan Rusia 1,6 juta dollar AS. Ketua Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) Ali Soebroto Oentaryo menjelaskan, impor itu mencakup semua kategori produk elektronika. Seperti peralatan elektronik rumah tangga sampai teknologi informasi (TI). "Kenaikannya bukan elektronik saja, tapi handphone juga," tuturnya. Dari porsi total nilai impor itu, sekitar 49 persen merupakan porsi telepon genggam. Disusul notebook dan sub netbook sebesar 27 persen dan 24 persen dikontribusikan mesin cuci, lemari pendingin, lampu hemat energi, dan ratusan ragam produk lainnya. Tingginya porsi impor telepon genggam dan netbook, menurutnya, lantaran tidak adanya pabrik dalam negeri yang memproduksi barang itu. "Handphone belum ada produksi dalam negeri, impor semua. Notebook hampir tidak ada, hanya pabrik elektronik yang ada," paparnya. Meski demikian, perusahaan dalam negeri bermerek global yang memiliki cabang di Indonesia juga mengekspor produknya ke negara lain. Sebagian besar produk berbasis teknologi informasi seperti printer.