Hermeneutika al-Qur’an (Nashr Hamid Abu Zayd) Oleh : Zainul Adzvar
Peradaban : 1. Mesir terdahulu pasca kematiannya. 2 Peradaban : 1. Mesir terdahulu pasca kematiannya. 2. Yunani peradaban akal. 3. Arab – Islam peradaban teks. Kedudukan teks sangat sentral, ia menjadi “paradigma” :: situasi hermeneutis sudah muncul pada masa awal pembentukan masyarakat islam; ketika al-Qur’an harus dijelaskan. Faktor yang mendasari peradaban adalah “dialektika” manusia dengan realitas, dan proses dialog kreatif yang terjalin dengan “teks”
:: al-Qur’an adalah produk budaya (al-Muntaz al-tsaqafi) Konsep teks (mafhumun al-nas) adalah wajah lain dari interpretasi (al-Ta’wil). Sebab realitas sebagai sebuah teks (seperti kesejarahan manusia, teks keagamaan) berperan sebaga instrumen lahirnya kebudayaan (yaitu : Arab – Islam – agama) :: al-Qur’an adalah produk budaya (al-Muntaz al-tsaqafi) o.k.i ia bisa dikaji secara kritis sebab ia teks yang historis (mewakili masyarakat tertentu) caranya: Konteks Narasi + konteks kultural + konteks pembacaan pendekatan linguistik dan kritik sastra
Wahyu turun dalam sejarah manusia; interpretasi terhadap wahyu merepresentasikan kesejarahan yang berlaku saat itu. Karenanya butuh analisis konteks (yang menghubungkan realitas dengan teks asbabun nuzul hanya kejadian khusus Kalam Tuhan bersifat aktual, tidak hanya verbalistik Akustik (langsung, psikis, fisiologis, fisik) Wahyu hubungan komunikasi antara dua pihak yg mengandung pemberian informasi secara samar dan rahasia. Oleh karena “pemberian informasi” dlm proses komunikasi hanya dapat berlangsung bila melalui kode tertentu, maka konsep kode melekat dalam wahyu, dgn menggunakan kode bersama antara Pengirim dan Penerima (keduanya terlibat dalam proses pewahyuan)
Pengirim (Allah), penerima (Muhammad), kode (Bahasa Arab) Dikarenakan manusia memiliki keterbatasan epistemologis tentang eksistensi Allah, maka kajian kajian al-qur’an difokuskan pada Muhammad dan Bahasa Arab. Al-qur’an historis bukan berarti berasal dari manusia, tapi Kalam Allah telah di wahyukan pada Muhammad/Abad-7/Arabia [dalam realitas historis seperti itu misi kenabian lahir]. Teks historis inilah yang diinterpretasikan via pemahaman historis, sebab teks al-Qur’an merupakan refleksi atas problem sosial kemanusiaan
Hubungan dialektis bisa dilihat dalam pertahapan pewahyuan, ada perubahan konfigurasi wacana al-Qur’an dari indzar [menggunakan bahasa yang mengesankan, ayat pendek, berisi tentang problem eksistesial manusia] untuk masyarakat mekkah. Menjadi fase Risalah [mengarah ke transformasi informasi, ayatnya panjang, berisi tentang prinsip-prinsip etik bagi individual maupun sosial] di Madinah Cara pembacaannya : linguistik, semiotik, hermeneutik pembacaan kritis dengan menelusuri landasan epistemologis teks! IA MENGKRITIK WACANA
AL-Qur’an yang mana? yang lengkap dengan seluruh konteks yang melatarbelakanginya? atau sebagai Mushaf? Yang mushaf hanyalah rekaman dari proses pewahyuan selama -+ 20 tahun Pemahaman terhadap konteks sosial nabi harus dibarengi dengan konteks kebahasaan; bahasa arab sebagai kode komunikasi yang digunakan dalam proses pewahyuan. Bahasa arab merupakan perangkat sosial yang menagkap dan mengorganisasi dunia
teks al-Qur’an bukan teks pasif, ia melakukan pergeseran semantik melalui mekanisme linguistiknya sehingga dengan sendirinya telah mendekonstruksi pandangan dunia menjadi bersifat relegius al-Qur’an sekaligus sbg “produsen kebudayaan” Teks al-Qur’an tidak self sufficient (mencukupi dirinya), sebab ia adalah teks yang berjalin-berkelindan dengan teks lainnya Teks al-Qur’an bersifat intertekstual, berkelindan dengan sejarah sosial masyarakat Arab, tradisi literer pada zaman itu, konteks politik, hubungan kekuasaan, tradisi, kepercayaan dan keagamaan yang hidup pada abad-7 M di jazirah Arab.
Hermeneutika al-Quran Pembacaan al-Qur’an dalam wacana kontemporer (konservatif, moderat, liberal) sangat dipengaruhi oleh bias ideologis. 1) memanipulasi ayat demi kepentingan pragmatis tertentu 2) interpretasi mereka tidak memiliki pijakan di dalam teks yang diinterpretasikan. Misalnya kaum sosialis mengutip ayat tentang tauhid dan kaum mustadh’afin untuk menyatakan bahwa islam adalah agama sosialis. Dll. Dalam agama juga muncul kesadaran palsu dalam praktek sosial (merealisasikan potensi kebenaran), sebab ia jadi Ideologis! Karenanya diperlukan “pembacaan produktif”.
Interpretasi ada 2 (dua), yaitu: 1). Interpretasi obyektif (ta’wil) = pembacaan produktif yang didasarkan atas prinsip-prinsip epistemologis tentang objektivitas membiarkan teks berbicara sendiri tentang dirinya. 2) interpretasi Ideologis (talwin) = pembacaan yang subyektif-ideologis-tendensius ia memaksa agar teks berbicara tentang apa yang diinginkan pembaca.
Adanya perdebatan muhkam, mutasyabih, aqidah, siyasah d. l Adanya perdebatan muhkam, mutasyabih, aqidah, siyasah d.l.l, penafsir sudah membawa nilai ideologis sebelumnya yang mempengaruhi “metodologis” yang dipakainya. Karenanya harus dikupas “Psychological side of interpretation”, terlebih jika dikaitkan dengan kajian sastra atau aspek linguistik , maka harus ditelusuri “lapisan epistemologi” penafsir serta wacananya
Tugas hermeneutika adalah mencari makna obyektif teks (ta’wil), mencari apa yang diinginkan teks. Sehingga tidak ada obyektivitas absolut pada satu sisi, dan juga menghindari subjectivisme disisi lain. Otoritas teks al-Qur’an dalam logika yang bersifat kebudayaan harus ditafsirkan dari setiap sisi tradisi, sebab setiap sisi tersebut memungkinkan gaya tersendiri dari bentuk ta’wil teks
Bagaimana agar al-Qur’an menjadi relevan tanpa terjebak dalam pembacaan ideologis? beda antara Makna dengan Signifikansi!, yaitu: makna (yang mengacu pada apa yang dipresentasikan oleh teks) apa yang dimaksudkan pengarang ketika menulis sebuah teks signifikansi (mengacu pada hubungan antara makna dengan “penafsiran produktif” oleh pembaca / interpreter) pemaknaan teks oleh pembaca untuk horison ke-kini-an dan ke-disini-an.
Ada 3 (tiga) level “makna pesan” yang melekat dalam al-Qur’an 1) makna yang menunjukkan kepada ‘bukti/fakta historis’ , (ia saksi sejarah) yang tidak dapat diinterpretasikan secara metaforis Untuk mengetahuinya harus mengetahui konteks sosio-budaya ayat al-Qur’an yang sedang ditafsirkan dengan kritik historis. 2) makna yang menunjuk pada ‘bukti/fakta historis’ yang dapat diinterpretasikan secara metaforis (majaz) Untuk mengetahuinya harus menganalisa linguistik dan kritik sastra, sehingga betul bahwa ayat tersebut bersifat metaforis 3) makna yang bisa diperluas secara signifikansi (makna teks terus berkembang). Dalam hal ini harus ada kreatifitas pembaca karena mencari ‘pesan pewahyuan baru’ yang relevan untuk konteks ke-kini-an dan ke-disini-an.
Antara tafsiran teks dengan teks bisa disatukan dlm satu formasi Antara tafsiran teks dengan teks bisa disatukan dlm satu formasi. Antara: Pengarang, Teks sang pengkaji (maksud), Teks dan penafsiran Maka harus ditelusuri dan ditemukan = Konteks dari suatu teks Konteks dari sebuah penafsiran Konteks pembacaan / sang pengarang :: disini hubungan bahasa sebagai keseluruhan :: membahas awal mula sebuah pernyataan masuk dalam pikiran seseorang objective historical Reconstruction dan Objective divinatory Reconstruction (Schleirmacher)
Kalam Allah beda dengan teks manusia, artinya: Pemahaman hakikat teks dalam kebudayaan bukan karakter Allah. Teks al-Qur’an memiliki otoritas epistemologinya pada bahasa, tapi ia merupakan ‘kalam’ dalam bahasa yang dapat berubah-ubah. Inspirasi al-Qur’an adalah Tuhan, tapi ketika memasuki realitas semesta, wahyu tersebut tersejarahkan oleh “intervensi” budaya dalam bingkai sistem bahasa Karena itu pengandaian metafora (majaz) dalam teks terdapat unsur kesejarahannya Konteks Narasi
Apa itu Konteks Narasi al-Qur’an ? Pertama, Sosio – Kultural kedudukan teks bahasa secara umum (apa yang disampaikan oleh Nabi adalah teks yang berbahasa Arab = Spesifik) Sesuatu yang melalui otoritas epistemologinya mungkin terjadi interaksi yang bersifat kebahasaan, sebab bahasa merupakan kumpulan aksioma tradisi masyarakat Episteme = kesadaran masyarakat tanpa melihat perbedaan Ideologi = kesadaran kelompok yang terkait dengan kepentingan
Kedua, Konteks Ekstern (Pewacanaan) Faktor sosiologis dan psikologis yang bisa mempengaruhi Pewacana Al-Qur’an turun secara gradual, sehingga teksnya terbentuk oleh karakter zaman Perdebatannya tidak hanya asbabunnuzul, makiyyah, madaniyah d.l.l, tapi termasuk suasana pewacana; Muhammad yang sering berada di dalam kondisi psikologi yang berubah-ubah
Ketiga, Konteks Intern (isi wacana) Teks al-Qur’an a). tersusun dari juz-juz b) wacana al-Qur’an itu sendiri. Masa turunnya dimana tradisi ‘syair-sastra’ itu cukup kuat Struktur teks al-Qur’an sebagai teks yang diproduksi oleh kebudayaan. Konteks wacana, misal: cerita, amar, nahi, janji, bantahan, kecaman, surga, neraka, pensyari’atan, pensifatan, d.l.l terkait dengan ‘sistem bahasa yang umum’ dari suatu teks
Keempat, Konteks Linguistik (Narasi) Harus diperluas ke ‘makna yang tersembunyi’ dalam struktur wacana. Linguistik menilik apa itu “perintah”, “Diskriptif”. Contoh: perintah bermusyawarah, ini tradisi sebelum islam Deskriptif Simantik. Simantik = suatu makna dibalik suatu kalimat yang dapat dipertanyakan ulang
Kelima, Konteks Pembacaan (Interpretasi) Strukturnya: (1) kondisi pembaca itu sendiri, (2) beragamnya pembacaan. Pembaca harus melakukan transformasi wacana dari peradaban tertentu ke peradaban lain. Ilmu yang terkait dengan Pembacaan adalah Bahasa, sastra, kalam dan Filsafat. Mushaf al-Qur’an tidak berbicara, yang berbicara adalah manusia.