Universitas Esa Unggul Hukum Perikatan Minggu Ke-3
Hukum Perikatan Hubungan Perjanjian Dengan Perikatan. Hubungan perjanjian dan perikatan berada dalam ruang lingkup perdata. Hukum perdata adalah bidang hukum yg cakupannya sangat luas serta beraneka ragam pengaturan dan ketentuannya. Hukum perdata di Indonesia bersumber dari Kitab Undang2 Hukum Perdata yang berasal dari Burgeliijke Weetboek yang berasal dari Negeri Belanda. KUH Perdata terdiri dari 4 (empat) buku yaitu sebagai berikut : 1. Buku I : Perihal Orang 2. Buku II : Perihal Kebendaan 3. Buku III : Perihal Perikatan 4. Buku IV : Perihal Pembuktian dan Daluarsa
Hukum Perikatan Hukum Perikatan dianggap paling penting karena ia paling banyak digunakan dalam lalu lintas hukum sehari2. Adapun yang dimaksud dgn perikatan adalah suatu hubungan hukum antara 2 orang atau dua pihak, berdasarkan hubungan tersebut pihak yang satu berhak mrenuntut sesuatu dari pihak yg lain dan pihak yg lain berkewajiban utk memenuhi tuntutan tersebut. Pihak yang berhak menuntut sesuatu dsb Kreditur atau pihak berpiutang. Sementara itu pihak yg berkewajiban untuk memenuhi tuntutan disebut Debitur atau pihak berutang. Hubungan antara dua pihak tersebut merupakan hubungan hukum yg berarti bahwa hak kreditur atau berpiutang itu dijamin oleh hukum atau UU, apabila tuntutan itu tdk dipenuhi secara suka rela, Kreditur dapat menuntut di depan hakim.
Hukum Perikatan Asas2 Hukum Perjanjian Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata : suatu perbuatan dgn mana satu orang lebih mengikatkan dirinya terhadap terhadap orang lain atau lebih. Lebih lanjut pengertian tersebut sebagai peristiwa ketika seseorang berjanji kpd orang lain atau ketika dua orang itu saling berjanji utk melakukan sesuatu hal. Dapat dikatakan bahwa hubungan antara perikatan dgn perjanjian adalah perjanjian menerbitkan perikatan Asas2 Hukum Perjanjian Sebagian besar dari peraturan hukum mengenai perjanjian bermuara dan mempunyai dasar pada asas2 hukum. Asas2 hukum merupakan dasar atau pokok karena bersifat fundamental. Lebih lanjut asas2 yg dikenal di dalam hukum perjanjian klasik adalah asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servada, asas kepribadian.
Hukum Perikatan Asas Kebebasan Berkontrak. Asas ini memperbolehkan setiap masyarakat utk membuat perjanjian yg berisi apa pun asalkan tdk bertentangan dgn ketertiban umum, kesusilaan dan UU. Hukum Perjanjian memberikan kebebasan yg seluas2nya kpd masyarakat utk mengadakan perjanjian yg berisi apa saja bahkan diperbolehkan utk membuat ketentuan2 sendiri yg menyimpang dari Pasal2 hukum perjanjian dalam Buku III BW. Asas kebebasan berkontrak yg isinya memberikan kebebasan kpd para pihak utk : 1. membuat atau tdk membuat perjanjian ; 2. mengadakan perjanjian dgn siapa pun ; 3. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya ; 4. menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis atau lisan
Hukum Perikatan Asas Kepribadian (Personalitas) Asas kepribadian disimpulakan dari 1315 KUH Perdata “Pada umumnya tiada seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji, melainkan utk dirinya sendiri” Perikatan hukum yg dilahirkan oleh suatu perjanjian hanya mengikat orang2 yg membuat perjanjian itu dan tdk mengikat orang lain. Sebuah perjanjian hanya melekatkan hak2 dan kewajiban antara para pihak yg membuatnya. Orang lain atau pihak ketiga tdk mempunyai sangkut pautnya dgn perjanjian tersebut.
Asas Itikad Baik Hukum Perikatan Bahwa semua perjanjian yg harus dibuat harus dilandasi dgn itikad baik. Lebih lanjut, pengertian itikad baik mempunyai dua arti yaitu : 1.Perjanjian yg dibuat harus memperhatikan norma2 kepatutan dan kesusilaan ; 2.Perjanjian yg dibuat harus mencerminkan suasana batin yg tdk menunjukkan adanya kesengajaan utk merugikan pihak lain.
Hukum Perikatan Asas Konsensualisme Perjanjian terbentuk karena adanya perjumpaan kehendak dari pihak. Perjanjian pada dasarnya dpt dibuat secara bebas tdk terikat bentuk tertentu dan perjanjian itu lahir pada detik tercapainya kata sepakat dari para pihak. Dgn kata lain perjanjian itu sdh sah apabila sudah sepakat mengenai hal2 yg pokok dan tdklah diharuskan adanya suatu formalitas tertentu.
Hukum Perikatan Asas Pacta Sunt Servanda Asas ini dipatuhi sebuah prinsip yg menetapkan bahwa semua perjajian yg dibuat secara sah berlaku sbg UU bagi mereka yg membuatnya. Dgn kata lain, asas ini melandasi pernyataan bahwa sebuah perjanjian akan mengakibatkan suatu kewajiban hukum sehingga para pihak terikat utk melaksanakan perjanjian tersebut. Perjanjian yg dibuat secara sah tersebut memunculkan akibat hukum yg sama dgn UU bagi para pihak. Dalam pengertian ini, apabila salah satu pihak tidak atau lalai melaksanakan kewajibannya menurut isi perjanjian maka pihak lainnya yg dirugikan atau dilanggar haknya akan mendapat perlindungan hukum dari negara yg bersangkutan melalui pengadilan.
Hukum Perikatan Kata Sepakat Syarat Sahnya Perjanjian. Di dalam Pasal 1320 KUH Perdata telah menetapkan syarat sahnya suatu perjanjian : 1. sepakat mereka yg mengikatkan diri (kata sepakat) 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (kecakapan) 3. hal tertentu ; 4. Sebab yang halal ; Kata Sepakat - Kedua belah pihak yg mengadakan perjanjian harus sepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal2 yg pokok dalam perjanjian yg dibuat ; - Mereka menghendaki sesuatu yg secara timbal balik misalnya penjual mengingikan sejumlah uang dan pembeli menginginkan sebuah barang dari Penjual ; - Pernyataan kehendak oleh salah satu pihak adalah penawaran (offer) yg disampaikan kpd mitranya. Sebaliknya kehendak oleh mitranya yg menerima penawaran tsb merupakan penerimaan (acceptance)
Hukum Perikatan Kecakapan Hal2 Tertentu Pada prinsipnya setiap orang dianggap cakap atau mampu untuk membuat perjanjian, kecuali ditentukan lain ole UU. Prinsip ini bersumber dari Pasal 1329 BW yg berbunyi “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan2, terkecuali ia ole UU dinyatakan tdk cakap” Golongan orang yg oleh UU dianggap tdk cakap utk mmbuat perjanjian adalah : 1. Orang yg belum dewasa atau anak dibawah umur ; 2. orang yg ditempatkan di bawah pengampuan. Hal2 Tertentu Yang dimaksud dgn hal tertentu dalam Pasal 1320 BW adalah apa yg menjadi kewajiban dari debitur dan apa yg menjadi hak dari Kreditur atau sebaliknya. Hal tertentu sbg obyek perjanjian dapat diartikan sbg keseluruhan hak dan kewajiban yg timbul dari perjanjian. Suatu kewajiban dalam perjanjian dinamakan prestasi bagi debitur, sedangkan bagi Kreditur hal tersebut merupakan hak.
Hukum Perikatan Sebab Yang Halal. Sebab yang dimaksud adalah isi perjanjian itu sendiri atau tujuan dari para pihak mengadakan perjanjian yaitu mempunyai dasar yg sah dan patut atau pantas. Halal adalah tdk bertentangan dgn UU, ketertiban umum dan kesusilaan. Akibat Hukum Syarat Tidak Terpenuhi. Kesepakatan yg merupakan salah satu syarat subyektif dianggap tdk ada apabila perjanjian tersebut mengandung unsur paksaan, penipuan atau kekeliruan. Apabila perjanjian yg dibuat mengandung salah satu unsur serta apabila yg membuat belum dewasa maka akibat hukum terhadap perjanjian tersebut adalah perjanjian dpt diminta pembatalan. Sementara itu, apabila perjanjian tdk memuat syarat obyektif karena tdk adanya obyek perjanjian yg jelas atau perjanjian tsb tdk dibenarkan oleh hukum maka akibatnya perjanjian tersebut batal demi hukum
Hukum Perikatan Hapusnya Perikatan. KUH Perdata melalui Pasal 1381 BW telah menetapkan beberapa pokok sebab yang mengakibatkan berakhirnya perjanjian sebagai berikut : Pembayaran : pembayaran pelunasan utang atau tindakan pemenuhan prestasi oleh Debitur ke Kreditur. Penawaran pembayaran tunai diikuti dgn penyimpanan atau penitipan (konsinyasi). Konsinyasi adalah sebuah cara utk menghapus perikatan. Novasi (Pembaruan Utang) : adalah perjanjian antara Debitur dgn Kreditur saat perikatan yg sdh ada dihapuskan lalu dibuat sebuah perikatan yg baru. Perjumpaan utang (Kompensansi) adalah penghapusan masing2 utang yg sdh dapat ditagih secara timbal balik antara Debitur dan Kreditur
Hukum Perikatan 5. Pencampuran utang ; 6. Pembebasan utang ; 7. Musnahnya barang yg terutang ; 8. Batal atau pembatalan ; 9. Berlakunya suatu syarat batal ; 10. Lewat waktu atau kedaluarsa.