Perkembangan bentuk karya tidak mengalami perubahan (statis) Sastra Lama: Pantun Berpuisi lewat pantun adalah tradisi masyarakat di Nusantara. Dalam budaya Jawa, pantun dikenal dengan istilah parikan dan dalam budaya Sunda dikenal dengan paparikan. Pantun termasuk karya sastra lama. Bentuk karya sastra lama mempunyai ciri: Dipengaruhi sifat masyarakat lama yang masih memegang kuat adat istiadat Perkembangan bentuk karya tidak mengalami perubahan (statis) Terikat oleh peraturan dan tata cara penulisan (khususnya puisi) Cenderung bersifat menghibur Sifat sastranya istana sentris Kebanyakan pengarangnya tidak diketahui namanya (anonim) Ciri-ciri pantun: Tiap bait dalam pantun umumnya terdiri atas 4 larik, kecuali pada karmina (2 larik dalam satu bait) dan taliban (6, 8, 10, atau 12 larik dalam satu bait) Tiap larik terdiri atas 8-12 suku kata Pantun memiliki sampiran dan isi Pola iramanya a-b-a-b (rima silang) Contoh: Ada pepaya ada mentimun (a) Ada mangga ada salak (b) Daripada duduk melamun (a) Mari kita membaca sajak (b) Pantun selesai dalam satu bait Pantun tidak diteruskan pada bait berikutnya, kecuali jika memang saling berkait Isinya mengandung pengungkapan perasaan Menurut isinya, pantun dapat dibagi menjadi pantun adat, pantun agama, pantun nasihat, pantun jenaka, pantun muda, pantun anak-anak, dan pantun perkenalan. Adapun menurut bentuknya, ada beberapa jenis pantun yang dapat diidentifikasi, yakni sebagai berikut: 1. Pantun biasa Pantun biasa adalah pantun yang terdiri atas 4 larik dalam satu bait. Pantun ini merupakan bentuk pantun secara umum yang biasa digunakan. Kalau ada jarum patah Jangan dimasukkan ke dalam peti Kalau ada kataku yang salah Jangan dimasukkan ke dalam hati 2. Pantun kilat (karmina) Pantun kilat hanya tersusun atas 2 larik dalam setiap baitnya. Larik pertama dapat dianggap sebagai sampiran, sedangkan larik kedua adalah bagian isi. Contoh : Dahulu parang sekarang besi (a) Dahulu sayang sekarang benci (a) 3. Pantun berkait (seloka) Pantun berkait adalah pantun yang tersusun secara berantai, selalu berkaitan antara bait pertama dan bait berikutnya. Keterkaitan ini pun didasarkan pada aturan tertentu, yakni larik kedua pada bait pertama diulang menjadi larik pertama pada bait kedua. Demikian kaitan itu dilakukan pada bait-bait berikutnya. Contoh : Lurus jalan ke Payakumbuh, Kayu jati bertimbal jalan Di mana hati tak kan rusuh, Ibu mati bapak berjalan Kayu jati bertimbal jalan, Turun angin patahlah dahan Ibu mati bapak berjalan, Ke mana untung diserahkan 4. Talibun Talibun adalah pantun yang lariknya lebih dari 4 dalam setiap baitnya, tetapi jumlahnya genap karena selalu berisi sampiran dan isi. Jadi, banyaknya larik dalam talibun biasanya terdiri atas 6, 8, 10, atau 12 larik setiap baitnya. sampiran Kalau anak pergi ke pekan Yu beli belanak pun beli Ikan panjang beli dahulu isi Kalau anak pergi berjalan Ibu cari sanak pun cari Induk semang cari dahulu Berdasarkan isinya, pantun dibedakan menjadi: Pantun anak-anak: § Pantun bersukacita § Pantun berdukacita Elok rupanya si kumbang jati Dibawa itik pulang petang Tidak terkata besar hati Melihat ibu sudah datang Pantun muda § Pantun perkenalan § Pantun berkasih-kasihan § Pantun perceraian § Pantun beriba hati § Pantun dagang Tanam melati di rama-rama Ubur-ubur sampingan dua Sehidup semati kita bersama Satu kubur kelak berdua Pantun tua § Pantun nasihat § Pantun adat § Pantun agama Asam kandis asam gelugur Kedua asam riang-riang Menangis mayat di pintu kubur Teringat badan tidak sembahyang Pantun jenaka Elok rupanya pohon belimbing Tumbuh dekat pohon mangga Elok rupanya berbini sumbing Biar marah tertawa juga Pantun teka-teki Kalau puan, puan cemara Ambil gelas di dalam peti Kalau tuan bijak laksana Binatang apa tanduk di kaki