السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Oleh : Asep Suryanto, S.Ag., M.Ag صيغة النهي Oleh : Asep Suryanto, S.Ag., M.Ag
Definisi : “Tuntutan untuk meninggalkan perbuatan tertentu dari yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah tingkatannya”. “Suatu lafal yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi kedudukannya untuk menuntut kepada orang yang lebih rendah derajatnya agar meninggalkan suatu perbuatan”.
Bawahan Atasan Larangan
Bentuk-Bentuk Lafal Nahyi Fi’il Mudhari’ yang disertai la-Nahiyah لَا تُفْسِدُوْا فِى الْأَرْضِ “Janganlah Kamu membuat kerusakan di bumi”. (QS. Al Baqarah, 2 : 11)
وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوْا مِمَّا أٰتَيْتُمُوْهُنَّ شَيْئًا 2. Jumlah Khabariyah (Kalimat Berita) yang diartikan selaku Jumlah Insya’iyah (Kalimat yang mengandung Tuntutan) وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوْا مِمَّا أٰتَيْتُمُوْهُنَّ شَيْئًا “Tidak halal bagi kamu mengambil sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka”. (QS. Al Baqarah, 2 : 229)
وَذَرُوْا ظاَهِرَ الْإِثْمِ وَبَاطِنَهُ 3. Uslub (Gaya Bahasa yang dipergunakan al Qur’an dalam menuntut untuk ditinggalkan suatu perbuatan) Menggunakan fi’il Mudhari’ yg dimasuki la- nahiyah Menggunakan Shighat amar, tetapi maksudnya perintah meninggalkan وَذَرُوْا ظاَهِرَ الْإِثْمِ وَبَاطِنَهُ “Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi”. (QS. Al An’am, 6 : 120)
وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَ الْمُنْكَرِ وَالْبَغْىِ c. Menggunakan ungkapan kalimat yang menggunakan suku kata نهى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَ الْمُنْكَرِ وَالْبَغْىِ “… dan melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan…”. (QS. An Nahl : 90) d. Menggunakan ungkapan kalimat yang menggunakan suku kata حرم وَحَرَّمَ الرِّبٰوا
e. Menidak halalkan يٰأَيُّهَا الَّذِيْنَ أٰمَنُوْا لَايَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوْا النِّسَاءَ كَرْهًا “Hai orang-orang yang beriman tidak halal bagimu mewarisi wanita dengan jalan paksa”. (QS. An Nisa : 19) f. Mensifati bahwa perbuatan tersebut jelek وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ بِمَا أٰتٰهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَّهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَّهُمْ سَيُطَوَّقُوْنَ مَا بَخِلُوْا بِهِ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat.”. (QS. Ali Imran : 180)
g. Dijadikan suatu perbuatan tsb sebagai sebab memperoleh dosa. فَمَنْ بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِيْنَ يُبَدِّلُوْنَهُ إِنَّ اللهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ “Maka barangsiapa mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya”. (QS. Al Baqarah : 181)
h. Menyatakan ancaman siksa وَالَّذِيْنَ يَكْنِزُوْنَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُوْنَهَا فِى سَبِيْلِ اللهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيْمٍ “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka akan adanya siksa yan pedih”. (QS. At taubah, 9 : 34)
الأَصْلُ فِى النَّهْيِ لِلتَّحْرِيْمِ Petunjuk Lafal Nahyi Jumhur Ulama : الأَصْلُ فِى النَّهْيِ لِلتَّحْرِيْمِ “Pada dasarnya lafal larangan itu menunjukkan kepada arti haram”.
Alasan : Setiap larangan Mengakibatkan kerusakan Akal sehat dapat menerima secara pasti tentang keharusan meninggalkan suatu perbuatan yg terkandung dalam lafal nahyi, bila tdk ada qarinah yg memalingkan kepada arti yg lain. Para Ulama salaf menggunakan lafal nahyi yg tidak menggunakan qarinah untuk mengharamkan sesuatu. Jumhur ulama dan pendapat yg kuat : lafal nahyi secara lugowi menunjukkan keharaman.
Contoh : 1 وَإِذَا قِيْلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوْا فِى الْأَرْضِ قَالُوْا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُوْنَ “Dan apabila dikatakan kepada mereka : ‘janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi’. Mereka menjawab : ‘Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan’”. (QS. Al Baqarah, 2 : 11 )
وَلَا تَقْرَبُوْا الزِّنىٰ إِنّهُ كَانَ فٰحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلًا Contoh : 2 وَلَا تَقْرَبُوْا الزِّنىٰ إِنّهُ كَانَ فٰحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلًا “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al Isra, 17 : 32)
Contoh : 3 اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ إِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِى يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّ ذٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوْا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰوا وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا “Orang-orang yang mengambil (makan) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syetan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat) : sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba …”. (QS. Al Baqarah, 2 : 275)
Ikhtilaf Ulama tentang Hukum asal lafal Nahyi اَلْأَصْلُ فِى النَّهْىِ لِلْكَرَاهَةِ “Menurut asalnya larangan itu memakruhkan”. Alasan sebagian Ulama : Antara haram dan makruh yg sudah diyakini adalah makruh. Paling minimal : tidak menyukai dari perbuatan; tidak menyukai itu bukan berartyi mengharamkan
Jika larangan disertai dengan qorinah tertentu, maka arti lafal nahyi disesuaikan dengan konteks yang menyertainya.
1. النهي bermakna makruh (كراهة) وَلَا تُصَلُّوا فِى أَعْطَانِ الْإِبِلِ “Janganlah kamu salat di kandang unta”. (HR. Ahmad dan Turmudzi). Qarinah : Ketakutan dari Unta sehingga lari yang dapat mengganggu kekhuusuan salat
2. النهي bermakna harapan (do’a) رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَّسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا “Ya Tuhan kami janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah”. (QS. Al Baqarah, 2 : 286)
3. النهي bermakna petunjuk (Irsyad) يٰأَ يُّهَا الَّذِيْنَ ءاَمَنُوْا لَا تَسْىَٔلُوْا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْ كُمْ وَ إِنْ تَسْىَٔلُوْا عَنْهَا حِيْنَ يُنَزَّلُ الْقُرْءَانُ تٌبْدَ لَكُمْ عَفَا اللهُ عَنْهَا وَاللهُ غَفُوْرٌ حَلِتْمٌ “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu menanyakan (kepada Nabi-mu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu al Qur’an itu turun, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”. (QS. Al Maidah, 5 : 101)
4. النهي bermakna penjelasan akibat وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ قَتَلُوْا فِى سَبِيْلِ اللهِ أَمْوٰتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki”. (QS. Ali ‘Imran : 165)
5. النهي bermakna I’tinas (Menghibur) لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللهَ مَعَنَا “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita”. (QS. At Taubah, 9 : 40)
6. النهي bermakna Iltimas (larangan biasa) Misalnya : Seseorang melarang kepada teman sebayanya.
اَلنَّهْيُ عَنِ الشَّيْءِ اَمْرٌ بِضِدِّهِ Kaidah-kaidah النهي النهي dan kebalikannya; اَلنَّهْيُ عَنِ الشَّيْءِ اَمْرٌ بِضِدِّهِ “Larangan pada sesuatu berarti perintah kebalikannya”. (Abdul Hamid Hakim, 1983 : 31) Contoh : Larangan berzina, berarti perintah meninggalkannya Larangan mencuri, berarti perintah meninggalkan mencuri
النهي dan Pengulangan اَلْأَصْلُ فِى النَّهْيِ الْمُطْلَقِ يَقْتَضِى التِّكْرَارَ فِى جَمِيْعِ الْاَزْمِنَةِ “Pada dasarnya larangan itu mutlak menghendaki adanya pengulangan sepanjang masa”.
Penyebab larangan dalam nahyi : Nahyi menghendaki adanya pengulangan setiap larangan, karena larangan itu menimbulkan kerusakan. Penyebab larangan dalam nahyi : Adanya ilat yg menyertainya seperti larangan shalat atau puasa bagi wanita haid; Disertai penyerta batasan waktu, misalnya larangan puasa di dua hari raya.
اَلْأَصْلُ فِى النَّهْيِ يَقْتَضِى الْفَوْرَ النهي dan Kesegeraan اَلْأَصْلُ فِى النَّهْيِ يَقْتَضِى الْفَوْرَ “Pada dasarnya larangan itu menghendaki kesegeraan”. Larangan berorientasi pada penyegeraan pelaksanaannya, sebab jika tidak maka menimbulkan kerusakan.
اَلْأَصْلُ فِى النَّهْيِ يَقْتَضِى الْفَسَادَ مُطْلَقًا النهي dan Kerusakan اَلْأَصْلُ فِى النَّهْيِ يَقْتَضِى الْفَسَادَ مُطْلَقًا “Pada dasarnya larangan itu menunjukkan pada kerusakan secara mutlak”. Jumhur ulama : Disyariatkannya hukum nahyi karena terdapat kerusakan
Ikhtilaf Abu Husain, al Ghazali dan ar Razi : Membatasi kerusakan sebatas pada hukum ibadah saja, jika larangan itu hukum mu’amalah maka belum tentu menimbulkan kerusakan. Syafi’iyah, Hanafiyah, dan Muktazilah : Larangan itu tidak menunjukkan pada kerusakan secara mutlak.
Klasifikasi ketentuan kerusakan pada النهي Menurut Abu Zahrah : Pendapat Ulama Hanafiyah : “Nahyi itu tidak menunjukkan kerusakan selama larangan itu belum terlaksana dengan syarat dan rukunnya”. Baik hukum ibadah maupun mu’amalah, larangan itu selalu menunjukkan kerusakan, karena semua transaksi maupun ketentuan ibadah harus berpijak pada ketentuan syariah, bila tidak, akan menimbulkan kerusakan.
Jika larangan itu berkaitan dengan ibadah, maka menimbulkan kerusakan, seperti puasa pada waktu yang diharamkan. Tetapi jika berkaitan dengan mu’amalah belum tentu mendatangkan kerusakan. Misalnya jual beli pada hari jum’at walaupun tidak diperbolehkan namun transaksinya tetap sah.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
حَرَامٌ Maslahat Madharat
دَرْءُ الْمَفَاسِدٍ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ Maslahat Madharat