Kelompok 6 : Septi Indriasari 111301830003 Desy Iswara 1113018300045 Siti Rahmawati 1113018300078 Mata Kuliah : Fiqih Dosen Pengampu : Abdul Shomad,H.Drs,MA.
Jual Beli & Pinjam Meminjam
JUAL BELI
Pengertian Jual Beli Jual beli dalam istilah fiqh disebut dengan al-ba’i yang berarti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Menurut istilah syara’ Jual beli adalah
Dasar Hukum Jual Beli Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur’an dan sunnah Rasullullah Saw.,Sebagaimana yang terdapat dalam Quran Surah Al-Maidah : 2 yang Artinya “Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan”.
Hukum Jual Beli Para ulama fiqh mengatakan bahwa hukum asal dari jual beli itu adalah mubah (boleh), Artinya setiap orang Islam dalam mencari nafkahnya boleh dengan cara jual beli. Akan tetapi, pada situasi-situasi tertentu, menurut Imam asy-Syatibi, pakar fiqh Maliki, hukumnya boleh berubah menjadi wajib.
Rukun dan Syarat Jual Beli Jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu: Ada orang yang berakad atau almuta’aqidain (penjual dan pembeli) Ada shighat (lafal ijab dan qabul) Ada barang yang dibeli Ada nilai tukar pengganti barang
Adapun syarat-syarat jual beli sesuai rukun jual beli yang dikemukakan jumhur ulama adalah: Syarat orang yang berakad : a. Berakal. b. Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda. Artinya, seseorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual sekaligus pembeli.
2. Syarat yang terkait dengan ijab dan qobul : a 2. Syarat yang terkait dengan ijab dan qobul : a. Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal menurut jumhur ulama. b. Qabul sesuai dengan ijab c. Ijab dan qabul itu dilakukan dalam satu majelis.
3. Syarat barang yang dijualbelikan Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang diperjualbelikan adalah: a. Barang itu ada, atau tidak ada ditempat, tetapi pihak penjual menyatakan kesanggupan untuk mengadakan barang itu. b. Dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia. c. Milik seseorang. d. Boleh diserahkan saat akad berlangsung, atau pada waktu yang disepakati bersama ketika transaksi berlangsung
4. Syarat nilai tukar (Harga Barang) : a 4. Syarat nilai tukar (Harga Barang) : a. Harga yang disepakati kedua belah pihak, harus jelas jumlahnya. b. Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukum, seperti pembayaran dengan cek dan kartu kredit. c. Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang, maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan syara’ seperti babi dan khamar; karena dua jenis benda ini tidak bernilai syara’.
Khiyar & Macamnya Khiyar artinya “boleh memilih antara dua, meneruskan akad jual beli atau mengurungkan (menarik kembali, tidak jadi jual beli)”.
Khiyar ada tiga macam, yakni : 1 Khiyar ada tiga macam, yakni : 1. Khiyar majelis Artinya si pembeli dan si penjual boleh memilih antara dua perkara tadi selama keduanya masih tetap berada di tempat jual beli. 2. Khiyar syarat Artinya khiyar itu dijadikan syarat sewaktu akad oleh keduanya atau oleh salah seorang, seperti kata si penjual “Saya jual barang ini dengan harga sekian dengan syarat khiyar dalam tiga hari atau kurang dari tiga hari”
3. Khiyar ‘aibi (cacat) Artinya si pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya apabila pada barang itu terdapat suatu cacat yang mengurangi kualitas, barang itu, atau mengurangi harganya, sedangkan biasanya barang yang seperti itu baik; dan sewaktu akad cacatnya itu sudah ada, tetapi si pembeli tidak tahu; atau terjadi sesudah akad, yaitu sebelum di terimanya.
Berselisih Dalam Jual Beli Jika dua orang pelaku muamalah berselisih tentang suatu hal berkaitan dengan muamalah maka keberpihakan diberikan kepada yang lebih kuat alasannya. Jika terjadi perselisihan di antara mereka berkaitan dengan persyaratan, harga, atau hal-hal lainnya maka pihak yang lebih kuat alasannya yang lebih dikuatkan perkataannya. Dalam akad jual beli, misalnya yang lebih dikuatkan adalah perkataan si penjual dan adakalanya yang lebih dikuatkan adalah perkataan si pembeli.
Telah disebutkan dalam hadits Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu : إِذَا اخْتَلَفَ الْمُتَعَامِلاَنِ وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا بَيِّنَةٌ فَالْقَوْلُ مَا يَقُوْلُ رَبُّ السِّلْعَةِ أَوْ يَتَرَادَّانِ “Jika terjadi perselisihan antara dua orang yang melakukan muamalah dan tidak ada bukti pendukung antara keduanya maka perkataan berpihak kepada pemilik barang atau keduanya saling membatalkan jual beli itu”
Bentuk-bentuk jual beli yang dilarang Jual beli sesuatu yang tidak ada. Menjual barang yang tidak boleh diserahkan pada pembeli. 3. Jual beli yang mengandung unsur penipuan, yang pada lahirnya baik, tetapi ternyata di balik itu terdapat unsur-unsur tipuan, sebagaimana terdapat dalam sabda Rasulullah saw tentang memperjualbelikan ikan dalam air. Jual beli benda-benda najis Memperjualbelikan air sungai, air danau, air laut dan air yang tidak boleh dimiliki seseorang.
Manfaat dan Hikmah Jual Beli Jual beli dapat menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat yang menghargai hak milik orang lain Penjual dan pembeli dapat memenuhi kebutuhannya masing-masing atas dasar kerelaan Masing-masing merasa puas. Penjual melepas barang dagangannya dengan ikhlas dan menerima uang, sedangkan pembeli memberikan uang dengan ikhlas dan menerima barang Menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang yang haram Penjual dan pemberi mendapat rahmat dari Allah swt Menumbuhkan ketenteraman dan kebahagiaan
PINJAM MEMINJAM (‘ARIYAH)
Pengertian Pinjam Meminjam ‘Ariyah ialah memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada yang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusakkan zatnya, agar zat barang itu dapat dikembalikan.
Dasar Hukum Pinjam Meminjam (‘Ariyah) Asal hukum meminjamkan sesuatu itu sunah, seperti tolong-menolong dengan yang lain. Kadang-kadang menjadi wajib, seperti meminjamkan kain kepada orang yang terpaksa dan meminjamkan pisau untuk menyembelih binatang yang hampir mati. Juga kadang-kadang haram, kalau yang dipinjam itu akan dipergunakan untuk sesuatu yang haram.
Rukun dan Syarat Pinjam Meminjam (‘Ariyah) Rukun Pinjam Meminjam : Ada yang meminjamkan. Ada yang meminjam, hendaklah seorang yang ahli (berhak) menerima kebaikan. Anak kecil atau orang gila tidak sah meminjam sesuatu karena ia tidak ahli (tidak berhak) menerima kebaikan. Ada barang yang dipinjam
Syarat Pinjam Meminjam : Ahli (berhak) berbuat kebaikan sekehendaknya. Anak kecil dan orang yang dipaksa, tidak sah meminjamkan. Manfaat barang yang dipinjam dimiliki oleh yang meminjamkan, sekalipun dengan jalan wakaf atau menyewa. Barang yang benar-benar ada manfaatnya Sewaktu diambil manfaatnya, zatnya tetap (tidak rusak).
Pembayaran Pinjaman dan Tanggung Jawab Peminjam Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain, berarti peminjam memiliki utang kepada yang berpiutang (mu’ir). Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk aniaya. Perbuatan aniaya termasuk perbuatan dosa. Rosulullah bersabda, Artinya “Orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang, adalah aniaya” (H.R Bukhari dan Muslim) Bila peminjam telah memegang barang barang peminjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya., baik karna pemakaian yang berlebihan maupun karna yang lainnya.
Tatakrama Berhutang Sesuai dengan QS. Al-Baqarah 282 utang piutang supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak berutang dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki atau dengan serorang laki-laki dengan dua perempuan Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam hati untuk membayarnya atau mengembalikannya Pihak berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak berutang. Bila yang berutang tidak mampu membayar atau mengembalikan maka hendaknya pihak yang berpiutang membebaskannya. Pihak yang berutang bila sudah membayar pinjaman, hendaknya dipercepat pembayarannya karena lalai dalam pembayaran pinjaman berarti berbuat dzalim.
Pengertian Hiwalah Secara etimologi, al-hiwalah berarti pengalihan, pemindahan, perubahan warna kulit, memikul sesuatu di atas pundak. Sedangkan secara terminology, al-hiwalah didefinisikan dengan: “Pemindahan kewajiban membayar utang dari orang yang berutang (al-muhil) kepada orang yang berutang lainnya (al-muhtal ‘alaih) atau Pengalihan kewajiban membayar utang dari beban pihak pertama kepada pihak lain yang berutang kepadanya, atas dasar saling mempercayai” Sedangkan jumhur ulama fiqh mendefinisikannya dengan: “Akad yang menghendaki pengalihan utang dari tanggungjawab seseorang kepada tanggungjawab (orang lain)”
Rukun & Syarat Hiwalah Rukun Hiwalah : 1. Pihak pertama 2. Pihak kedua 3. Pihak ketiga 4. Hutang pihak pertama kepada pihak kedua 5. Hutang pihak ketiga kepada pihak pertama 6. Shigat (pernyataan hiwalah)
Syarat Hiwalah : Cakap melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baligh dan berakal. Ada pernyataan persetujuan (ridha). Jika pihak pertama dipaksa untuk melakukan hiwalah maka akad itu tidak sah. qabul (pernyataan menerima akad) harus dilakukan dengan sempurna oleh pihak ketiga di dalam suatu majelis akad.
Beban Muhil Setelah Hiwalah Apabila Hiwalah berjalan dengan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andaikata Muhal’alaih mengalami kebangkrutan, membantah Hiwalah atau meninggal dunia maka Muhal tidak boleh kembali lagi pada Muhil, hal ini menurut pendapat ulama jumhur.
Syukron