Aspek Hukum Pendaftaran Tanah Wakaf Oleh :Husnayadi Herlisa SH MH
Tak bisa disangkal, antara manusia dan tanah terdapat hubungan sangat erat. Hal ini terlihat dari dimanfaatkannya tanah untuk memenuhi segala macam aktivitas manusia dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Hubungan antara manusia dan tanah tidak hanya bersifat sosial ekonomis, tetapi juga bersifat religius. Misalnya dalam hubungan keagamaan, yakni dengan adanya lembaga tanah wakaf. Persoalan mengenai wakaf ini, sejak dulu diatur dalam hukum tidak tertulis dengan mengambil sumber dari Hukum Islam. Di samping itu, pemerintah kolonial mengeluarkan beberapa peraturan yang mengatur tentang wakaf. Misalnya, Edaran Sekretaris Governemen I pada 31 Januari 1905 termuat dalam Bijblad 1905, agar bupati membuat daftar rumah ibadat dan asal usulnya. Seperti ada pekarangan atau tidak, ada wakaf atau tidak.
Pengaturan mengenai perwakafan yang berasal dari zaman kolonial itu, pada masa kemerdekaan dirasakan kurang memadai dan sangat ketinggalan. Dalam rangka pembaruan Hukum Agraria di negara kita, wakaf tanah mendapatkan perhatian khusus. Seperti diatur dalam Pasal 49 ayat 3 UUPA yang menentukan perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bahkan kemudian dikeluarkan PP Nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Latar belakang dikeluarkan peraturan ini, dikarenakan perwakafan tanah sebelumnya berjalan seperti apa adanya dan tanpa melalui penanganan sungguh-sungguh. Umumnya, persoalan perkawafan hanya dipandang dari segi keagamaan dan kurang memperhatikan segi administrasi.
Hal seperti ini di kemudian hari menimbulkan permasalahan rumit berkaitan dengan status tanah wakaf tersebut. Misalnya, terjadi sengketa antara ahli waris wakif dan nadzir. Di samping itu, terjadi berbagai penyimpangan dari hakikat dan tujuan wakaf. Bahkan keadaan tanah wakaf tersebut tidak diketahui lagi, malah seolah-olah menjadi milik ahli waris pengurus. Membicarakan perwakafan umumnya dan perwakafan tanah khususnya, tentu tidak akan lepas dari pembicaraan tentang konsepsi wakaf menurut Hukum Islam, tempat lembaga ini muncul. Tetapi, dalam Islam sendiri tidak ada konsep tunggal tentang wakaf, karena apabila mendalami tentang hal ini maka akan dihadapkan pada pendapat yang sangat beragam mengenai wakaf tersebut (Abdurrahman, 1994).
Menurut Ahmad Azhar Basyir (1987), wakaf berasal dari Kata Arab wakf yang menurut lughat berarti menahan. Menurut istilah, wakaf berarti menahan harta benda yang dapat diambil manfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk penggunaan yang mubah serta dimaksudkan untuk mendapatkan keridhaan dari Allah SWT. Adijadi Al-Alabij (1989) menyatakan, wakaf menurut Bahasa Arab berarti al-habsu yang berasal dari kata kerja habasu-yahbisu-habsan, menjauhkan orang dari sesuatu atau memenjarakan. Kemudian kata ini berkembang menjadi habasa dan berarti mewakafkan harta karena Allah. Kata wakaf sendiri berasal dari kata kerja waqafa (fiilmadi) - yaqifu (fiil mudari) - waqfan (isim masdar) yang berarti berhenti atau berdiri. Sedangkan menurut syara, adalah menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusakkan bendanya (sinnya) dan digunakan untuk kebaikan.
Menurut jumhur ulama, wakaf ialah suatu harta yang mungkin dimanfaatkan selagi barangnya utuh, dengan putusnya hak penggunaan dari si wakif untuk kebajikan yang semata-mata demi mendekatkan diri kepada Allah. Harta yang diwakafkan itu telah lepas dari hak milik wakif dan menjadi ditahan sebagai milik Allah SWT (Abdurrahman, 1994). Sedangkan menurut PP Nomor 28 tahun 1977, wakaf ialah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya berupa tanah milik dan melembagakannya selamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai ajaran Agama Islam.
Rumusan ini mirip dengan rumusan wakaf dalam Kompilasi Hukum Islam Rumusan ini mirip dengan rumusan wakaf dalam Kompilasi Hukum Islam. Namun kompilasi mengatur wakaf secara umum, sedangkan PP No 28 tahun 1977 mengatur wakaf tanah saja. Dari berbagai rumusan wakaf di atas, menurut Adijadi al-Alabij (1989), dalam Fiqih Islam wakaf sebenarnya dapat meliputi berbagai benda. Walaupun dalam berbagai riwayat yang menceritakan masalah wakaf ini adalah mengenai tanah, tetapi berbagai ulama memahami bahwa wakaf nontanah pun boleh asal bendanya tidak langsung musnah/habis ketika diambil manfaatnya.
Pendaftaran Tanah Wakaf Salah satu yang selama ini belum dilaksanakan secara seksama adalah pendaftaran tanah yang diwakafkan. Pendaftaran tanah wakaf ini sangat penting artinya, baik ditinjau dari tertib hukum maupun administrasi penguasaan dan penggunaan tanah sesuai peraturan perundangan pertanahan yang berlaku. Untuk menjamin kepastian hak dan hukum atas tanah, UUPA menggariskan adanya keharusan untuk melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia. Tanah wakaf termasuk yang harus didaftarkan, baik menurut PP No 28/1997 maupun PP No 24/1997.
Secara prosedural, setelah Akta Ikrar Wakaf (AIW) dilaksanakan, maka PPAIW atas nama Nadzir bersangkutan mengajukan permohonan kepada Kantor Pertanahan setempat untuk mendaftar perkawafan tanah milik tersebut. Setelah menerima permohonan, kepala Kantor Pertanahan mencatat perwakafan tanah milik pada buku tanah dan sertifikatnya. Jika tanah milik yang diwakafkan belum mempunyai sertifikat, maka pencatatan dilakukan setelah tanah tersebut dibuatkan sertifikatnya. Menurut PMDN No 6/1977, permohonan pendaftaran perwakafan tanah milik yang belum bersertifikat di Kantor Pertanahan, dilakukan bersama-sama dengan permohonan pendaftaran haknya (sertifikat) kepada Kantor Pertanahan setempat menurut ketentuan yang berlaku.
Untuk perwakafan tanah sebelum berlakunya PP No 28/1997, maka nadzir yang mendaftarkan ke KUA setempat. Apabila nadzirnya tidak ada lagi, dapat dilakukan oleh wakif, ahli warisnya, atau anak keturunan nadzir, atau anggota masyarakat yang mengetahui adanya wakaf tersebut. Demi keperluan membuktikan pendaftaran tanah wakaf tersebut, maka ditetapkan Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf (APAIW) yang dibuat oleh dan di hadapan PPAIW (Adijadi al-Alabij, 1989). APAIW ini selanjutnya didaftarkan di Kantor Pertanahan untuk dicatat perwakafannya pada buku tanah dan sertifikatnya.
Beberapa kendala yang dihadapi dalam pendaftaran tanah wakaf ialah adanya tanah wakaf yang surat-suratnya tidak ada atau tidak ada lagi, sehingga Nadzir kesulitan mendaftarkan tanah tersebut dan akhirnya didiamkan saja. Selain itu, masih ada anggapan bahwa tanpa sertifikat pun kedudukan tanah wakaf sudah cukup kuat. Pembuktiannya dirasa cukup dengan segel adat atau surat keterangan lainnya, ditambah tanah wakaf tersebut dikuasai berpuluh tahun dan tidak ada gugatan dari pihak mana pun. Dengan konstruksi pemikiran demikian, timbul keyakinan bahwa tanpa sertifikat pun kepastian hukum tanah wakaf tidak berkurang.
Kendala lain, adanya anggapan bahwa perwakafan tersebut cukup dilakukan secara lisan, sehingga tata cara perwakafan seperti itu tidak mengharuskan didaftarkannya tanah wakaf sebagaimana diinginkan PP No 28/1977. Penerbitan sertifikat hak atas tanah yang berfungsi sebagai alat bukti, merupakan jaminan bagi kepastian hukum atas tanah termasuk tanah wakaf. Adanya suatu keharusan untuk mendaftarkan tanah wakaf guna mendapatkan sertifikat, dimaksudkan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari dan mencegah terbawanya lembaga wakaf ke dalam perselisihan yang dapat memerosotkan wibawa dan Syariat Islam.
Kalaupun terjadi sengketa mengenai tanah wakaf, dengan adanya sertifikat tanah wakaf tersebut maka status hukumnya kuat secara yuridis. Dengan demikian, pendaftaran tanah wakaf sangat penting dari segi administrasi, hukum dan tetap terpelihara/terjaganya tanah wakaf tersebut.