RKUHP MENGUTAMAKAN “PENJARA” ? OLEH: AGUSTINUS POHAN DISAMPAIKAN DALAM: KONSULTASI NASIONAL “MELETAKAN (KEMBALI) PROSES PEMBARUAN HUKUM PIDANA DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL DISELENGGARAKAN OLEH : ELSAM JAKARTA 2 MEI 2018
BERBAGAI KRITIK TERHADAP RKUHP, PADA DASARNYA MELIPUTI: SIFAT RETRIBUTIVE RKUHP YANG DIKAITKAN DENGAN BANYAKNYA PASAL-PASAL YANG MENGANCAN DENGAN PIDANA PENJARA (RKUHP memuat 1251 perbuatan pidana, 1198 di antaranya diancam dengan pidana penjara). KRIMINALISASI TERHADAP BEBERAPA PERBUATAN TERTENTU YANG DIPANDANG BERLEBIHAN DAN TIDAK PADA TEMPATNYA, BAIK KARENA MERUGIKAN ANAK, MENGANCAM KEBEBASAN PERS, MENGANCAM DEMOKRASI DAN MEMASUKI RANAH PRIVAT. DAN PERSOALAN TERKAIT DENGAN PENGATURAN TINDAK PIDANA KHUSUS, KHUSUSNYA TIPIKOR.
Hukum pidana, terlepas dari teori apapun yang dianut pada dasarnya tetap bersifat punitive, yaitu suatu perlakuan dengan tujuan untuk menimbulkan derita. Gagasan “pembalasan” sesungguhnya melekat pada “hukum pidana”. Masalahnya, sejauh mana hal tersebut dapat ditolerir/diterima atau dibenarkan. Justifikasi penghukuman tidak dapat dilepaskan dari legitimasi atas perilaku yang dikriminalisasi. Hukuman, apapun alasannya tidak akan pernah dapat dibenarkan bila diterapkan kepada pelanggar suatu perilaku yang tidak sepatutnya dikriminalisasi. Karenanya sangat penting untuk menjamin bhw kriminalisasi telah dilakukan dengan benar, dalam hal ini, prinsip “ultimum remedium” menjadi penting.
ULTIMUM REMEDIUM MENGAPA ULTIMUM REMEDIUM : BIAYA YANG RELATIF TINGGI; ADA KECENDERUNGAN MELESTARIKAN KONFLIK KETIMBANG SUNGGUH-SUNGGUH MENYELESAIKANNYA; ADA KECENDERUNGAN BERSIFAT DISKRIMINATIF BAIK BERBASIS SARA MAUPUN STATUS SOSIAL EKONOMI; CENDERUNG MENGABAIKAN KORBAN; CENDERUNG MENIMBULKAN KETERGANTUNGAN KEPADA NEGARA; TINGKAT KEBERHASILANNYA DIRAGUKAN. SELAIN ITU PERLU PULA DIPERHATIKAN AGAR : KRIMINALISASI TIDAK MEMBAHAYAKAN KEBEBASAN MASYARAKAT KRIMINALISASI BUKAN BAGIAN DARI PENYALAHGUNAAN KEWENANGAN ATAU SARANA REPRESIF DARI PENGUASA.
ULTIMUM REMEDIUM DALAM UUD 1945 SEKALIPUN TIDAK TERLALU JELAS, NAMUN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM BEBERAPA PUTUSANNYA MEMANDANG PRINSIP ULTIMUM REMEDIUM SECARA KONSTITUSIONAL DILINDUNGI DALAM PASAL 28D AYAT (1) UUD 1945 YANG MENYATAKAN: "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum".
KRIMINALISASI DIBATASI HANYA PADA PERISTIWA YANG : MENGANCAM ATAU MENIMBULKAN KERUGIAN YANG SERIUS. TIDAK DAPAT DISELESAIKAN OLEH MASYARAKAT SENDIRI. TIDAK DAPAT DISELESAIKAN DENGAN BAIK OLEH PERANGKAT HUKUM LAINNYA.
NASKAH AKADEMIK RKUHP, MENYATAKAN BAHWA KRIMINALISASI AKAN DILAKUKAN MELALUI SELEKSI DENGAN BERPEDOMAN PADA HAL-HAL SEBAGAI BERIKUT: (i) kriminalisasi tidak boleh berkesan menimbulkan “overcriminalization” yang masuk kategori “the misuse of criminal sanction”; (ii) kriminalisasi tidak boleh bersifat ad hoc; (iii) kriminalisasi harus mengandung unsur korban, baik secara actual maupun potensial; (iv) kriminalisasi harus mempertimbangkan analisa biaya dan hasil (cost benefit principle); (v) kriminalisasi harus memperoleh dukungan publik (public support);
(vi) kriminalisasi harus menghasilkan peraturan yang “enforceable”; (vii) kriminalisasi harus mengandung unsur subsosialitiet (mengakibatkan bahaya bagi masyarakat meskipun kecil sekali; (viii) kriminalisasi harus memperhatikan peringatan bahwa setiap peraturan pidana membatasi kebebasan rakyat dan memberikan kemungkinan kepada aparat penegak hukum untuk mengekang kebebasan itu
TERLEPAS DARI BERBAGAI KELEMAHAN DAN KETERBATASANNYA, HUKUM PIDANA DIBUTUHKAN UNTUK: MEMENUHI TUNTUTAN KEADILAN MASYARAKAT MENCEGAH TINDAKAN MAIN HAKIM SENDIRI MENJERAKAN ATAU SETIDAKNYA MENCEGAH PENGULANGAN TINDAK PIDANA UNTUK SEMENTARA. MENEGASKAN NORMA SETIDAKNYA GUNA MENCEGAH/MEMPERINGATKAN MEREKA YANG BERPOTENSI MELAKUKAN TINDAK PIDANA.
TUJUAN PEMIDANAAN DALAM RKUHP Pasal 58 (1) Pemidanaan bertujuan: a. mencegah dilakukannya Tindak Pidana dengan menegakkan norma hukum demi pelindungan dan pengayoman masyarakat; b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna; c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat Tindak Pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat; dan d. menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. (2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan manusia dan merendahkan martabat manusia.
Sanksi pidana seharusnya : Murah Dengan tujuan pidana sedemikian maka seharusnya RKUHP lebih memperlihatkan wajah utilitarian ketimbang retributive. Sanksi pidana seharusnya : Murah Menghindari wajah hukum pidana yang bersifat membalas dengan mengutamakan sanksi minimal/mengutamakan non penal Mendorong upaya penyelesaian konflik diantara para pihak the retributive approach was identified with an anachronistic, backward-looking, punishment-oriented concern with the wrong that had been done. The utilitarian approach, on the other hand, was seen as a modern, forward-looking, non-punishment oriented concern with protecting society by preventing future wrongs
ALTERNATIF PIDANA PENJARA Apapun tujuan hukum pidana, untuk mencapainya patut digunakan sarana yang “kurang menderitakan” (less harm), dan lebih efisien. Diwujudkan dlm RKUHP: Pasal 63 (1) Dalam hal suatu Tindak Pidana diancam dengan pidana pokok secara alternatif, penjatuhan pidana pokok yang lebih ringan harus lebih diutamakan jika hal itu dianggap telah sesuai dan dianggap dapat menunjang tercapainya tujuan pemidanaan. Pasal 76, pidana penjara, sebagai the last resort utk yang ancamannya dibawah 5 tahun
Penjara, the last resort , utk ancaman dibawah 5 tahun Pasal 76 Dengan tetap mempertimbangkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan Pasal 60, pidana penjara sedapat mungkin tidak dijatuhkan jika ditemukan keadaan sebagai berikut: terdakwa berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun atau di atas 75 (tujuh puluh lima) tahun; terdakwa baru pertama kali melakukan Tindak Pidana; kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar; terdakwa telah membayar ganti rugi kepada korban; terdakwa tidak menyadari bahwa Tindak Pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian yang besar;
tindak pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain; korban tindak pidana mendorong atau mengerakkan terjadinya Tindak Pidana tersebut; Tindak Pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak mungkin terulang lagi; kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan Tindak Pidana yang lain; pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau keluarganya; pembinaan di luar lembaga pemasyarakatan diperkirakan akan berhasil untuk diri terdakwa; penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat berat Tindak Pidana yang dilakukan terdakwa; Tindak Pidana terjadi di kalangan keluarga; dan/atau Tindak Pidana terjadi karena kealpaan.
Pasal76 ayat (2) RKUHP : Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih atau diancam dengan pidana minimum khusus atau Tindak Pidana tertentu yang sangat membahayakan, merugikan masyarakat, atau merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Penjara sebagai the last resort dibatasi psl 77 Pasal 77 (1) Jika seseorang melakukan Tindak Pidana yang hanya diancam dengan pidana penjara di bawah 5 (lima) tahun, sedangkan hakim berpendapat tidak perlu menjatuhkan pidana penjara setelah mempertimbangkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan Pasal 60, orang tersebut dapat dijatuhi pidana denda. (2) Pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dijatuhkan jika: tanpa korban; korban tidak mempermasalahkan; atau bukan pengulangan Tindak Pidana.
ALTERNATIF PIDANA PENJARA Pasal 85 ”Terdakwa yang melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dapat dijatuhi pidana pengawasan”. Pasal 95 ( 1)”Pidana kerja sosial dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 5 (lima) tahun dan hakim menjatuhkan pidana penjara tidak lebih dari 6 (enam) Bulan atau pidana denda tidak lebih dari Kategori I”. Kewajiban utk mengupayakan diversi utk anak yang diancam dengan pidana penjara dibawah 7 tahun (psl 123 rkuhp)
PEMBATASAN DALAM PENERAPAN SANKSI INTERMEDIATE : PERBUATAN DENGAN ANCAMAN MAKSIMUM 5 TAHUN (PIDANA PENGAWASAN) PERBUATAN DENGAN ANCAMAN MAKSIMUM DIBAWAH 5 TAHUN (PIDANA KERJA SOSIAL) PEMBATASAN DENGAN ANCAMAN MAKSIMUM DI BAWAH 5 TAHUN DAN TAMBAHAN SYARAT tanpa korban; korban tidak mempermasalahkan; atau bukan pengulangan Tindak Pidana. (PIDANA DENDA)
PENERAPAN SANKSI INTERMEDIATE SELAIN DIBATASI JUGA TIDAK BERSIFAT IMPERATIF, SANGAT BERGANTUNG PADA PANDANGAN KEADILAN HAKIM.
PELAKSANAAN PIDANA PENJARA/DENDA SECARA MENGANGSUR Kemungkinan mengangsur pidana penjara (psl 78 rkuhp/ancaman dibawah 5 tahun dan pidana max 1 tahun), mengangsur pidana denda (psl 91)
Pemidanaan Anak RKUHP tidak mengatur secara khusus tujuan pemidanaan anak, sekalipun UU SPPA (UU SPPA tidak secara spesifik merumuskan tujuan pemidanaan thd anak) tetap akan berlaku beriringan dengan KUHP, namun menegaskan adanya perbedaan tujuan pemidanaan anak tentu perlu dilakukan, tidak hanya untuk menghindari perbedaan penafsiran tetapi juga bersifat mengukuhkan adanya kekhususan tersebut. UU SPPA Pasal 5 (1) “Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif”. Karena RKUHP mengatur pemidanaan anak, maka perlu dinyatakan di dalamnya bahwa terhadap anak diutamakan pendekatan keadilan restorative.
KUHP baru tidak menjauhkan pidana (penjara) dari anak Pasal 76 RKUHP, usia anak tdk dapat digunakan untuk pertimbangan tidak menjatuhkan pidana penjara, bila ancaman pidana lebih dari 5 tahun. UU SPPA psl 82 (3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh Penuntut Umum dalam tuntutannya, kecuali tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun. (apakah tetap berlaku) Bila Psl 82 (3) ditafsirkan tetap berlaku maka, untuk anak yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 tahun atau lebih, pidana (penjara) adalah merupakan satu2nya alternative. Bila Psl 82 (3) UU SPPA dipandang bertentangan dengan pasal 76 ayat (2) KUHP, maka untuk anak yang melakukan tindak pidana yang diancam lebih dari 5 tahun, pidana (penjara) merupakan satu-satunya alternative. Lalu apa makna psl 81 (5) UU SPPA “Pidana penjara terhadap Anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir” ?
KUHP BARU SEHARUSNYA DIGUNAKAN UNTUK SEMAKIN MENJAUHKAN PIDANA (PENJARA) DARI ANAK INDONESIA HAL INI DAPAT DILAKUKAN DENGAN MEMBERIKAN RUANG LEBIH BESAR BAGI HAKIM UNTUK MENJATUHKAN SANKSI INTERMEDIATE TERHADAP ANAK. SECARA KONKRIT DAPAT DILAKUKAN DENGAN MENGATUR SECARA KHUSUS PEMBATASAN PENGGUNAAN SANKSI INTERMEDIATE BAGI ANAK. DALAM RKUHP PEMBATASAN PENGGUNAAN SANKSI INTERMEDIATE TIDAK DIBEDAKAN ANTARA ANAK DENGAN ORANG DEWASA.
Pidana Tambahan Pidana tambahan memperberat pidana sehingga ancaman pidana maksimum sesungguhnya belum maksimium. Penjatuhan pidana tambahan sepatutnya diperhitungkan untuk mengurangkan pidana pokoknya. RKUHP, mengaturnya secara sangat terbatas dalam Pasal 100 : (1) Pidana perampasan Barang tertentu dan/atau tagihan dapat dijatuhkan tanpa pidana pokok jika ancaman pidana penjara terhadap Tindak Pidana yang bersangkutan tidak lebih dari 5 (lima) tahun. Perampasan barang hasil kejahatan tidak dapat dikualifikasi sebagai pidana tambahan. DIPERLUKAN PEDOMAN PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN YANG MEMPERHITUNGKAN PIDANA POKOK.
PIDANA UTK MENYELESAIKAN KONFLIK Meningkatnya penggunaan system peradilan pidana dalam menyelesaikan konflik diantara anggota masyarakat, terlebih lagi dalam persoalan2 sederhana seperti “ketersinggungan, percekcokan dll” hendaknya tidak di apresiasi sebagai peningkatan kesadaran hukum tetapi menunjukan rendahnya kemampuan masyarakat dalam menyelesaikan persoalan, yang sangat memprihatinkan. Konflik2 kecil tersebut tidak saja membebani SPP tetapi juga tidak pernah sungguh2 dapat diselesaikan oleh SPP dan menjadi sekam perpecahan, yang dapat melemahkan sosial kontrol.
Pidana sebagai penyelesai konflik RKUHP perlu mendorong berkembangnya kemampuan masyarakat dalam menyelesaikan konfliknya sendiri. Hal ini dapat dilakukan dengan mempertimbangkan upaya penyelesaian konflik sebagai alasan yang meringankan pidana yang lebih terukur. Dalam RKUHP, diatur kewajiban hakim untuk mempertimbangkan: sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan Tindak Pidana; pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; Ketentuan ini sedikit banyak dapat dikaitkan dengan upaya Perdamaian antara pembuat dan korban. Namun demikian, tidak cukup memberikan jaminan/insentif bagi pembuat yang berhasil melakukan Perdamaian dengan korban.
DIPERLUKAN ATURAN YANG LEBIH KONKRIT UNTUK MENGAPRESIASI KEBERHASILAN PENYELESAIAN KONFLIK YANG INDIKATORNYA DAPAT BERUPA ADANYA PERDAMAIAN ATAU PEMBAYARAN GANTI RUGI. PERDAMAIAN DAN/ATAU PEMBAYARAN GANTI RUGI MENGURANGI MAKSIMUM PIDANA YANG DAPAT DIJATUHKAN SECARA TERUKUR. PERINTAH PEMBAYARAN GANTI RUGI YANG DIGABUNGKAN DENGAN PIDANA LEBIH RINGAN, MEMPUNYAI KESEMPATAN LEBIH BESAR UNTUK BISA DITERIMA PIHAK-PIHAK YANG BERKONFLIK. HAL INI PADA GILIRANNYA AKAN DAPAT MENGURANGI BEBAN SISTEM PERADILAN PIDANA.