AKAD BISNIS di LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH Program Studi Magister Akuntasi Fakultas Ekonomi danBisnis Universitas Padjdjaran.

Slides:



Advertisements
Presentasi serupa
BANK DAN LEMBAGA KEUNGAN LAINNYA
Advertisements

Pengetahuan Dasar Akad Perbankan Syariah
“Skema Kerja Prinsip al-Wadi’ah yad Amanah
TEKNIK DAN STRATEGI PEMBUATAN KONTRAK DALAM PRODUK JASA
SISTEM OPERASIONAL BANK SYARIAH
PRINSIP-PRINSIP AKAD PADA PRODUK PERBANKAN SYARI’AH
HUKUM KONTRAK DALAM ISLAM
Entitas Ekonomi (Konvensional)
DASAR-DASAR BANK SYARIAH
Sumber : Sri Nurhayati – Wasilah (Akuntansi Syariah di Indonesia)
AKAD & TRANSAKSI DALAM OPERASI SYARI’AH Created by: Lili Syafitri, SE., Ak.,M.Si.
DASAR-DASAR BANK SYARIAH
JUAL BELI DALAM PANDANGAN ISLAM
Bank Syariah Lembaga perbankan yang menggunakan sistem dan operasional berdasarkan prinsip hukum atau syariah Islam yang secara utuh dan total menghidari.
Perbedaan Mendasar Antara Bank Syariah dengan Bank Konvensional Keterangan Bank Konvensional Bank Syariah Sistem yang digunakan dalam produk Berbasis.
UNIVERSITAS GUNADARMA
Kelompok 3 AKAD-AKAD DALAM BANK SYARIAH &
Pengertian, Fungsi dan peranan Lembaga Keuangan Bank dan Non-Bank
Operasional Lembaga Bisnis Syariah
BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN LAIN
BANK SYARIAH.
BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH
Bank Syariah ( UU no 10 thn 1998)
MANAJEMEN PERBANKAN SYARIAH
MATERI Ke-8: AKAD DAN PRODUK KEUANGAN SYARIAH Pola sewa dan lainnya
Pertemuan 3 dan 4 Rita Tri Yusnita
Prinsip dan nilai dasar Perbankan Syariah
BANK SYARIAH.
Hukum Muamalah Armein Muhammad Fikri (6) Husnul Khotimah Matoha (15)
MODUL II Tujuan Pembelajaran AKAD DAN TRANSAKSI DALAM BISNIS SYARIAH
BANK SYARIAH.
STIE DEWANTARA Produk Jasa Bisnis Syariah, Sesi 8.
Prinsip dan nilai dasar Perbankan Syariah
AKAD DALAM BERMUAMALAH
BANK SYARIAH.
MANAJEMEN BANK SYARIAH
JENIS JASA KEUANGAN ISLAM
Bank dan lembaga keuangan
العلم الإقتصادية الإسلا مية
MANAJEMEN BANK SYARIAH
SISTEM KEUANGAN SYARIAH
Oleh: Dr. Gemala Dewi, SH., LL.M Kuliah BAHI 28 September 2010
Oleh: Anton Sudrajat, MA
Pertemuan ke-2 Kegiatan Usaha Utama bank
JENIS JASA KEUANGAN ISLAM
DITIYA HIMAWATI, SE., MM Universitas Gunadarma
Bank Konvensional dan Bank Syariah
KONSEP OPERASIONAL BANK SYARIAH DAN AKAD-AKAD DALAM KEUANGAN SYARIAH
PERBANKAN SYARIAH Akuntansi Syariah: (Prof. Iwan Triyuwono) : sebagai proses akuntansi yang menyediakan informasi yang tepat/sesuai (yang tidak dibatasi.
KBI 321 HUKUM EKONOMI SYARIAH ERNAWATI , SHI. MH. FAKULTAS HUKUM.
KBI 321 HUKUM EKONOMI SYARIAH ERNAWATI , SHI. MH. FAKULTAS HUKUM.
Fungsi Sosial Bank Syariah
bank Disusun oleh: Puteri Asyifa Nurunnisa (XI IIS 2/15)
Akuntansi Transaksi Jasa-Jasa Syariah
EKONOMI : "BANK SYARIAH" - KELAS 10
PRODUK QORDH Oleh: Fahrunnisyah ( ).
Jual Beli dan Jual Beli Terlarang I
PERBANKAN SYARIAH Nama Kelompok 4 : Gadis wijayanti ( )
AKAD JUAL BELI.
MATERI Ke-8: AKAD DAN PRODUK KEUANGAN SYARIAH Pola sewa dan lainnya
BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN LAIN
Pertemuan ke-2 Kegiatan Usaha Utama bank. Bank Umum Konvensional Bank Umum Syariah Bank Perkreditan Rakyat KonvensionalBank Perkreditan Rakyat Syariah.
UNIVERSITAS GUNADARMA
Akuntansi Islam.
PRODUK PERBANKAN SYARIAH
1 PERBANKAN SYARIAH PART #1. Jenis-Jenis Bank Syariah 1.Bank Umum Syariah (BUS) Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa-jasa dalam lalu lintas.
SISTEM KEUANGAN SYARIAH
MANAJEMEN BANK SYARIAH
INSTRUMEN DAN MEKANISME KEUANGAN SYARI'AH
MANAJEMEN BANK SYARIAH
Transcript presentasi:

AKAD BISNIS di LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH Program Studi Magister Akuntasi Fakultas Ekonomi danBisnis Universitas Padjdjaran

Terminologi Akad Akad berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata العقد. Kata tersebut merupakan bentuk mashdar yang berarti menyimpulkan, membuhul tali, perjanjian, persetujuan, penghitungan, mengadakan pertemuan. Akad dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah perjanjian, perikatan,atau kontrak. Perjanjian berarti suatu peristiwa yang mana seseorang berjanji kepada orang lain atau pihak lain (perorangan maupun badan hukum) atau suatu peristiwa yang mana dua orang atau pihak saling berjanji untuk melakukan suatu hal

Muhammad Salâm Madkûr dalam kitabnya, al-Fiqh al-Islâmî, menjelaskan pengertian akad sebagai: Akad adalah apa saja yang diikatkan oleh seseorang atas suatu urusan yang harus ia kerjakan atau untuk tidak ia kerjakan, karena adanya suatu kemestian (yang mengikat) atasnya. Defenisi yang dikemukakan Madkûr tersebut di atas mencakup segala bentuk perjanjian atau perikatan yang mempunyai konsekuensi untuk dilaksanakan bagi semua pihak yang mengadakannya. Dengan demikian dapat dipahami

Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam definisi akad terdapat beberapa unsur yang harus ada. 1. adanya pihak yang mengikatkan diri atau saling mengikatkan diri. 2. adanya suatu perjanjian yang ingin ditaati dan mengikat. 3. adanya objek perjanjian yang jelas bagi pihak yang mengikatkan diri. Dalam unsur-unsur tersebut terdapat suatu konsekuensi, yaitu melahirkan hak di satu sisi dan kewajiban pada sisi yang lain.

Hasbi Ash-Shiddiqy dalam bukunya, Pengantar Fiqh Mu’amalah, menyebutkan bahwa unsur-unsur yang harus ada dalam akad disebut sebagai rukun. Adapun rukun akad yaitu:  Pertama, ‘âqid atau para pelaku akad atau dua belah pihak yang saling bersepakat untuk memberikan sesuatu hal dan yang lain menerimanya.  Kedua, mahal al-‘aqd atau ma‘qûd ‘alayh, yaitu benda yang menjadi objek dalam akad.  Ketiga, îjâb dan qabûl atau shîgah al-‘aqd, yaitu ucapan atau perbuatan yang menunjukkan kehendak kedua belah pihak

Akad harus memenuhi beberapa ketentuan sehingga tidak akan terjadi kesamaran di dalamnya. Ketentuan tersebut antara lain:  Pertama, ijab-kabul dalam akad harus terang pengertiannya;  Kedua, akad tersebut harus sesuai dengan ijab-kabul yang dilakukan;  Ketiga, para pihak yang berakad harus memperlihatkan kesungguhannya, tidak main-main, hazl, istihzâ, maupun ragu-ragu dalam berakad

Sayyid Sâbiq menjelaskan bahwa akad secara umum harus memenuhi beberapa syarat pokok, yaitu:  Pertama, tidak menyalahi hukum syariat.  Kedua, harus sama-sama rida dan ada hak memilih (khiyâr) ketika terdapat cacat dalam akad.  Ketiga, akad tersebut harus jelas dan gamblang (mudah dimengerti oleh kedua belah pihak dengan pengertian yang sama)

Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan syarat-syarat yang harus ada pada akad.  Pertama, kedua belah pihak adalah orang/pihak yang dipandang cakap/berwenang untuk mengadakan akad. Akad yang dilakukan oleh anak kecil, orang gila, dan orang berada di bawah pengampuan dipandang batal dengan sendirinya.  Kedua, akad tersebut diizinkan dan sesuai dengan ketentuan syariat.  Ketiga, masing-masing pihak menyadari dan menyetujui konsekuensi hukum dari akad yang mereka sepakati.

 Keempat, akad dan objek akad bu lah hal yang dilarang oleh syariat. Syarat ini merupakan konsekuensi dari syarat nomor dua sebelumnya.  Kelima, akad yang dibuat harus memberi manfaat bagi pihak yang berakad maupun bagi orang lain;  Keenam, pernyataan penyerahan akan terus berjalan (apabila tidak dinyatakan batal) sebelum terjadinya kabul (pernyataan penerimaan). Kecuali mujîb (orang yang menyatakan ijab) membatalkan sendiri ijabnya sebelum ada kabul dari muqbîl (orang yang menerima atau menjawab ijab);  Ketujuh, bertemu dalam majelis akad. Syarat ini dikemukakan oleh mazhab Syâfi‘î yang mensyaratkan orang yang berijab kabul haruslah satu majelis, dan dianggap batal apabila mujîb dan muqbil tidak bertemu dalam satu majelis.

 Rukun dan syarat yang dikemukakan oleh para ulama bertujuan agar akad yang dilakukan menjadi sempurna, sehingga tidak ada peluang bagi seseorang mencari cela untuk berbuat curang kepada sesamanya dan akad yang dilakukan akan memberikan hasil yang maksimal bagi semua pihak yang berakad.  Rukun dan syarat akad sangat menentukan sahnya sebuah akad (perjanjian/ perikatan) dalam hukum Islam. Kurang atau cacatnya salah satu rukun atau syarat sebuah akad akan menjadikan akad tersebut terhalangi atau cacat, yang dapat menyebabkannya tidak sah menurut hukum Islam.

Terhalanginya Akad Suatu akad dapat terhalangi karena dua hal.  Pertama, ikrâh (adanya pemaksaan) sehingga pihak yang berakad melakukannya bukan atas kehendaknya sendiri.  Kedua, haq al-ghayr (objek yang diakadkan merupakan hak atau milik orang lain), sehingga kedua belah pihak tidak berhak atas benda atau objek yang diakadkan. Sayyid Sâbiq mengemukakan bahwa suatu akad menjadi cacat (cedera) apabila dalam akad tersebut terdapat: ikrâh (paksaan, sehingga cacat dalam kehendak), khilâbah (bujukan yang menipu), ghalath (adanya salah sangka), ikhtilât al-tanfîdz (cacat yang muncul belakangan). Menurutnya, apabila ada cacat dalam akad tersebut, maka pihak yang melakukan akad mempunyai hak khiyâr (hak memilih meneruskan ataupun membatalkan pelaksanaan akad). Dalam jual beli, misalnya, ia akan menjadi cacat apabila salah satu maupunsemua penyebab cacat akad di atas ada dalam jual beli tersebu t

Akad di LK Syariah  Sepintas bila dilihat dari secara teknis, bertransaksi di bank syariah dengan yang berlaku di bank konvensional hampir tidak ada perbedaan. Hal ini karena, baik di bank syariah maupun di bank konvensional diharuskan mengikuti aturan teknis perbankan secara umum. Akan tetapi bila diamati lebih dalam, terdapat beberapa perbedaan mendasar diantara keduanya. Diantaranya terletak pada akadnya.  Pada bank syariah, semua transaksi harus berdasarkan akad yang dibenarkan oleh syariah Islam. Dengan demikian, semua transaksi itu harus mengikuti kaidah dan aturan yang berlaku pada akad-akad dalam fiqh muamalah. Dengan akad-akd yang ada tersebut bank akan mengimplikasikannya dalam berbagai bentuk produk yang ditawarkan kepada masyarakat.  Dalam prakteknya ada beberapa produk yang perlu disesuaikan lagi oleh bank syariah dengan akad yang diatur dalam fiqh muamalah.

Konsekuensi Akad Dalam bank syariah akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Sering kali nasabah berani melanggar kesepakatan atau perjanjian yang telah dialkukan apabila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka, tapi tidak demikian bila perjanjian tersebut memiliki pertanggungjawaban sampai yaumil qiyamah nanti.

wa’ad dengan akad Fiqh muamalah membedakan antara wa’ad dengan akad. Wa’ad adalah janji (promise) antara satu pihak kepada pihak lainnya, sementara akad adalaqh kontrak antara dua belah pihak. Wa’ad hanya mengikat satu pihak, yakni pihak yang memberi janji berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya. Sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. Dalam wa’ad, terms and condition-nya belum ditetapkan secara rinci dan spesifik (belum well defined). Bila pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka sanksi yang diterimanya lebih merupakan sanksi moral. Di lain pihak, akad mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat, yakni masing-masing pihak terikat untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu. Dalam akad, bila salah satu atau kedua belah pihak yang terikat dalam kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia /mereka menerima sanksi seperti yang sudah disepakati dalam akad.

Dari segi ada atau tidak adanya kompensasi, akad dibagi menjadi dua bagian, yakni: 1. Akad Tabarru’ Tabarru’ berasal dari bahasa Arab yaitu kata birr, yang artinya kebaikan. Akad tabarru’ (gratuitous contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut not for profit transaction (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil. Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong-menolong dalam rangka berbuat kebaikan. Dalam akad tabarru’ pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah SWT, bukan dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada counter part-nya untuk sekedar menutupi biaya (cover the cost) yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad tabarru’ tersebut. Tapi ia tidak boleh sedikitpun mengambil laba dari akad tabarru’ itu.

Akad tabarru Pada hakikatnya akad tabarru’ adalah akad yang melakukan kebaikan dengan mengharapkan imbalan dari Allah SWT semata. Itu sebabnya akad ini tidak bertujuan untuk mencari keuntungan komersil. Konsekuensi logisnya bila akad tabarru’ dilakukan dengan mengambil keuntungan komersil, maka ia bukan lagi tergolong akad tabarru’, namun ia akan tergolong akad tijarah. Bila ia ingin tetap menjadi akad tabarru’, maka ia tidak boleh mengambil manfaat (keuntungan komersil) dari akad tabarru’ tersebut. Tentu saja ia tidak berkewajiban menanggung biaya yang timbul dari pelaksanaan akad tabarru’. Artinya ia boleh meminta pengganti biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan akad tabarru’.

Akad tabarru’ terbagi dalam tiga jenis transaksi, yaitu a. Transaksi Meminjamkan uang (lending) 1. Qardh yakni transaksi pinjam meminjam uang. Di dalam Islam transaksi ini tidak bileh dikenakan tambahan atas pokok pinjaman atau yang umum dikenal sebagai bunga pinjaman. Hukum pengenaan bunga atas pinjaman adalah riba, suati hal yang harus dihindari karena haram. Di bank syariah akad qardh digunakan untuk pembiayaan talangan haji dan pembiayaan qardhul hasan. 2. Rahn yakni pemberian pinjaman uang dengan penyerahan barang sebagai agunan, contohnya transaksi gadai emas. 3. Hiwalah yakni pemberian peminjaman uang bertujuan untuk menutup pinjaman di tempat/pihak lain, contohnya transaksi pengalihan hutang.

b. Meminjamkan jasa (lending yourself) 1. Wakalah yakni transaksi perwakilan, dimana satu pihak bertindak atas nama/mewakili pihak lain. Contohnya transaksi jasa transfer uang, inkaso, kliring warkat cek dan bilyet giro. 2. Kafalah yaknu transaksi penjaminan satu pihak kepada pihak lain. Contohnya penerbitan L/C, bank garansi dan lain-lain 3. Wadiah yakni transaksi titipan, dimana satu pihak menitipkan barang kepada pihak lain. Contohnya tabungan wadi’ah, giro wadi’ah dan safe deposit box

c. Memberikan sesuatu (giving something) Yang termasuk kedalam golongan ini adalah akad-akad sebagai bertikut: seperti akad Hibah, Waqf, Shadaqah dan Hadiyah. Akad tabarru’ ini adalah berupa akad untuk mencari keuntungan akhirat bukan akad bisnis. Jadi akad seperti ini tidak bisa digunakan untuk akad komersil. Bank syariah sebagai lembaga keuangan yang bertujuan untuk mendapatkan laba tidak dapat mengandalkan akad tabarru’ untuk mendapatkan laba. Bila tujuannya untuk mendapatkan laba, maka bank syariah menggunakan akad-akad yang bersifat komersil, yakni akad tijarah. Namun demikian bukan berarti akad tabarru’ sama sekali tidak sapat digunakan dalam kegiatan komersil. Bahkan pada kenyataanya penggunaan akad tabarru’ sangat fital dalam transaksi komersil, karena akad tabarru’ ini dapat digunakan untuk menjembatani atau memperlancar akad-akad tijarah.

Seperti produk talangan haji pada bank syariah mandiri. Produk ini bank menggunakan akad Qardh wal Ijarah. Dalam hal ini bank memberikan talangan kepada nasabah untuk ongkos hajinya. Atas talangan yang diberikan ini bank menggunakan akad qardh dan nasabah akan membayarnya sejumlah talangan nasabah yang diberikan selama jangka waktu yang telah ditentukan. Disamping akad qardh ini, bank juga menggunakan akad ijarah, dalam akad ijarah ini bank mendapatkan keuntungan berupa fee/ujrah. Ujrah diberikan atas dasar pemakaian sistem komputerisasi haji.

2. Akad Tijarah Akad tijarah/muawadah (compensational contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for pofit transaction. Akad ini digunakan mencari keuntungan, karena itu akad ini bersifat komersil. Berdasarkan tingkat kepastian dari hasil yang diperolehnya, akad tijarah dibagi menjadi dua kelompok yaitu:

a. Natural Certainty Contracts (NCC) NCC adalah suatu jenis kontrak atau transaksi dalam bisnis yang memiliki kepastian keuntungan dan pendapatannya baik dari segi jumlah dan waktu penyerahannya.5 Dalam NCC kedua belah pihak saling mempertukarkan aset yang dimilikinya, karena objek pertukarannya (baik barang maupun jasa) pun harus ditetapkan di awal akad dengan pasti, baik jumlahnya (quantity), mutunya (quality), harganya (price), dan waktu penyrahannya (time of delivery). Jadi, kontrak-kontrak ini secara “sunnatullah” ( by their of nature) menawarkan return yang tetap dan pasti. Yang termasuk dalam kategori ini adalah akad jual beli dan sewa.

Pada dasarnya ada empat akad jual beli yaitu : 1. al-Bai’ Naqdan adalah akad jual beli yang pembayarannya biasa dilakukan secara tunai. Dengan kata lain pertukaran atau penyerahan uang dan barangnya dilakukan dalam waktu yang bersamaan 2. al-Bai’ Muajjal adalah akad jual beli yang pembayarannya biasa dilakukan secara tidak tunai atau secara cicilan. Dengan kata lain barangnya diserahkan di awal akad sedangkan uangnya diserahkan belakangan baik secara cicil atau lump sum. 3. Salam adalah akad jual beli dengan sistem pesanan sedangkan pembayarannya tunai atau bayar dimuka dan penyerahan barangnya belakangan. 4. Istishna’ adalah akad jual beli dengan sistem pesanan yang penyerahan barangnya belakangan dan pembayarannya bisa dicicil, bisa juga lump sum di akhir akad.

b. Natural Uncertainty contracts (NUC) Dalam NUC, pihak-pihak yang bertransaksi saling mencampurkan assetnya (baik real assets maupun financial assets) menjadi satu kesatuan dan kemudian menanggung resiko bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan. Keuntungan dan kerugianditanggung bersama oleh masing-masing pihak. Karena itu kontrak ini tidak memberikan kepastian pendapatan (return), baik dari segi jumlah (amount) maupun waktu (timing)-nya. Yang termasuk dalam kontrak ini adalah kontrak-kontrak investasi. Kontrak investasi ini secara “sunnatullah” (by their nature) tidak menawarkan return yang tetap dan pasti. Jadi sifatnya tidak “fixed and predetermined” seperti akad musyarakah, mudharabah, musaqah dan mukhabarah.