PROSEDUR TINDAKAN KEPOLISIAN TERHADAP PEJABAT NEGARA Jakarta, 5 Desember 2018
DASAR 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana. 2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. 3. Undang-Undang Nomor: 5 Tahun 2014 tentang ASN. 4. Undang-Undang Nomor: 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD. 5. Undang-Undang Nomor: 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
5. PUTUSAN MK Nomor: 76/PUU-XII/2014, tanggal 20 5. PUTUSAN MK Nomor: 76/PUU-XII/2014, tanggal 20 November 2014 yang diucapkan dalam. 6. Perkap Nomor: 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. 7. Perkabareskrim Nomor: 4 Tahun 2014 tentang Pengawasan Penyidikan. 8. Surat Kapolri Nomor: B/566/I/2017/Bareskrim tanggal 31 Januari 2017 tentang Arahan Binfung dalam melakukan tindakan kepolisian terhadap pejabat negara.
Pengertian Tindakan Kepolisian adalah upaya paksa dan/atau tindakan lain yang bertanggung jawab menurut hukum yang berlaku untuk mencegah, menghambat, atau menghentikan tindakan pelaku kejahatan yang mengancam harta benda atau kehormatan kesusilaan, guna mewujudkan tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman masyarakat (Perkap No. 1 Tahun 2009 ttg gun kuat dlm tindakan kepolisian). Upaya Paksa adalah upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan dalam rangka melaksanakan proses peradilan.
DASAR UPAYA PAKSA Upaya Paksa pasal 112 ayat 1 dan ayat 2 KUHAP 1. Penangkapan; 2. Penahanan; 3. Penggeledahan; 4. Penyitaan; 5. Pemeriksaan; 6. Wajib lapor; Upaya paksa (Perkabareskrim no. 3 tahun 2014) 1. Pemanggilan; 2. Penangkapan; 3. Penahanan; 4. Penggeledahan; 5. Penyitaan dan pemeriksaan surat.
Pejabat Negara adalah pejabat yang lingkungan kerjanya berada pada lembaga negara yang merupakan alat kelengkapan negara beserta derivatifnya berupa lembaga negara pendukung. Pejabat negara menjalankan fungsinya untuk dan atas nama negara. ARTI PEJABAT NEGARA
Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 UU Nomor 5 tentang Aparatur Sipil Negara yaitu: Presiden dan Wakil Presiden; Ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc;
f. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; g. Ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial; h. Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; i. Menteri dan jabatan setingkat menteri; j. Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh; k. Gubernur dan wakil gubernur; l. Bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota; m. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang- Undang.
Pemberian ijin dlm proses hukum kepada pejabat negara telah diatur dalam beberapa Undang-Undang. NO. PEJABAT UNDANG-UNDANG KETERANGAN 1. Kepala Daerah UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah Izin presiden untuk tahap penyelidikan dan penyidikan tidak dibutuhkan kecuali untuk tindakan penahanan 2. Hakim Mahkamah Kontitusi UU Nomor Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Hakim Konstitusi hanya dapat dikenai tindakan kepolisian atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan tertulis dari Presiden
3. Hakim Mahkamah Agung UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung juncto UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung dapat ditangkap atau ditahan hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Presiden 4. Hakim Pengadilan UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan umum juncto UU Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 2 Tahun 1984 tentang Peradilan Umum; UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara juncto UU Nomor 9 Tahun Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; dan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Penangkapan dan penahanan terhadap hakim dilakukan atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan dari Ketua Mahkamah Agung
Lanjutan NO. PEJABAT UNDANG-UNDANG KETERANGAN 5. Pimpinan dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Tindakan Kepolisian terhadap anggota BPK guna pemeriksaan suatu perkara dilakukan atas perintah Jaksa Agung setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari presiden 6. Pimpinan dan Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia juncto UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Pemanggilan, permintaan keterangan dan penyidikan terhadap anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia harus mendapat persetujuan tertulis dari presiden Lanjutan
7. Jaksa UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Apabila melaksanakan tugas jaksa diduga melakukan tindak pidana, maka pemanggilan pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan dan penahanan terhadap Jaksa yang bersangkutan hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung
Ketentuan Asal Pasal 245 UU MD3 (1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan. (2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 (tiga puluh) Hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau c. disangka melakukan tindak pidana khusus. Tindak pidana khusus adalah suatu tindak pidana yang diatur dalam ketentuan khusus diluar KUHP , yang memiliki kriteria sebagai tindak pidana khusus, mempunyai Undang-Undang tersendiri yang mengenyampingkan ketentuan-ketentuan dalam KUHP sebagaimana yang terdapat dalam Buku satu dari Bab I sampai dengan Bab VIII Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Pasca Keputusan MK Nomor: 76/PUU-XII/2014 tanggal 20 November 2014 Terhadap Anggota MPR, DPR dan DPD. Agar mempedomani Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 76/PUU-XII/2014 tanggal 20 November 2014 yang diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada tanggal 22 September 2015 yang menyatakan bahwa: 1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap Anggota MPR, DPR dan DPD yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden;
2) Dalam hal persetujuan tertulis tidak diberikan oleh Presiden, paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan dapat dilakukan; 3) Ketentuan tdk berlaku apabila Anggota MPR, DPR & DPD: a) Tertangkap tangan melakukan tindak pidana; b) Disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau c) Disangka melakukan tindak pidana khusus.
Terhadap Anggota DPRD Provinsi dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota. Agar mempedomani Surat Menteri Dalam Negeri Nomor: 331/9914/OTDA tanggal 14 Desember 2016, yang berisi: 1). Di dalam ketentuan Pasal 409 huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa pada saat Undang Undang ini mulai berlaku maka Pasal 1 angka 4, Pasal 314 sampai dengan Pasal412, Pasal418 sampai dengan Pasal421, Pasal418 sampai dengan Pasal 421 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR,DPR,DPD dan DPRD (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;
2). Berkaitan dengan hal tersebut, maka pengaturan terkait penyidikan bagi Anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota tidak lagi dimuat pengaturannya dalam Undang-Undang tersebut, dengan demikian, pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap Anggota DPRD tidak perlu lagi mendapatkan persetujuan tertulis Menteri dalam Negeri untuk Anggota DPRD Provinsi dan persetujuan tertulis Gubernur untuk Anggota DPRD Kabupaten/Kota.
3). Dalam pelaksanaan penyidikan terhadap anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, Kapolda/wakapolda selaku Penyidik mengirimkan surat pemberitahuan kepada Ketua DPRD Provinsi atau Ketua DPRD Kabupaten/Kota dan Badan Kehormatan DPRD Provinsi atau Badan Kehormatan DPRD Kabupaten/Kota; 4). Penyidik mengirimkan laporan proses penyidikan perkara yang melibatkan Anggota DPRD Provinsi atau Anggota DPRD Kabupaten/Kota kepada Kabareskrim Polri tembusan Karowassidik Bareskrim Polri.
Terhadap Gubernur/Wakil Gubernur, Walikota/Wakil Walikota dan Bupati/Wakil Bupati : Agar pedomani Pasal 90 ayat (1) s.d. (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah: 1) Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan terhadap Gubernur dan/atau Wakil Gubernur memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden dan terhadap Bupati dan/atau Wakil Bupati atau Walikota dan/atau Wakil Walikota memerlukan persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri; 2) Dalam hal persetujuan tertulis tidak diberikan, dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, dapat dilakukan proses penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan;
3) Hal-hal yang dikecualikan adalah: a) Tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; atau b) Disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara. 4) Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan sebagaimana hal-hal yang dikecualikan setelah dilakukan wajib dilaporkan kepada Presiden untuk Gubernur dan/atau Wakil Gubernur dan kepada Menteri Dalam Negeri untuk Bupati dan/atau Wakil Bupati atau Walikota dan/atau Wakil Walikota paling lambat dalam waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan.
Persyaratan pengajuan surat permohonan persetujuan tertulis kepada Presiden dan Menteri Dalam Negeri a. Syarat administrasi: Direktur pada jajaran Bareskrim Polri atau Kapolda mengajukan surat permohonan persetujuan tertulis Presiden atau Menteri Dalam Negeri yang ditujukan kepada Kapolri u.p. Kabareskrim Polri dilengkapi dengan: 1) Laporan Polisi; 2) Surat Perintah Tugas; 3) Laporan Hasil Penyelidikan; 4) Surat Perintah Penyidikan;
5) Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP); 6) laporan kemajuan penyidikan (Lapju/resume); 7) Hasil audit BPK atau BPKP tentang kerugian Negara (khusus perkara tipidkor. 8) Notulasi gelar perkara di tingkat Direktorat Bareskrim Polri; 9) Notulasi gelar perkara khusus di tingkat Polda yang dihadiri unsur-unsur pengawasan internal Polda.
b. Syarat material: Perkara yang diajukan Penyidik dalam rangka permohonan "persetujuan tertulis Presiden/Menteri Dalam Negeri" untuk melakukan tindakan kepolisian terhadap anggota MPR, DPR, DPD dan Kepala Daerah adalah: 1) Anggota MPR, DPR dan DPD sebagai saksi dalam perkara pidana dengan bukti permulaan yang cukup; 2) Anggota MPR, DPR dan DPD sebagai tersangka utama atau tersangka penyertaan/membantu sebagaimana dimaksud Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 KUHP; 3) Kepala Daerah sebagai tersangka yang akan dilakukan tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan berdasarkan bukti yang cukup (2 alat bukti yang sah).
Mekanisme permohonan persetujuan tertulis Presiden atau Menteri Dalam Negeri di Bareskrim Polri a. Menerima surat dan berkas syarat mindik permohonan persetujuan tertulis Presiden/Menteri Dalam Negeri dari Penyidik; b. Birowassidik Bareskrim Polri melakukan penelitian administrasi penyidikan dan substansi perkaranya; c. Melaksanakan gelar perkara khusus;
d. Mengajukan permohonan persetujuan tertulis: Untuk melakukan tindakan kepolisian terhadap anggota MPR, DPR, DPD dan Kepala Daerah Gubernur/Wakil Gubernur yang ditandatangani oleh Kapolri ditujukan kepada Presiden dan ditembuskan kepada Seskab Rl; Untuk melakukan tindakan kepolisian terhadap Bupati dan/atau Wakil Bupati atau Walikota dan/atau Wakil Walikota yang ditandatangani oleh Kapolri ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri.
Mengirimkan asli tanda terima pengiriman surat permohonan persetujuan tertulis dari Presiden/Menteri Dalam Negeri pada Penyidik, dimana tanggal penerimaan surat permohonan tersebut menjadi start perhitungan waktu 30 (tiga puluh) hari permohonan sehingga pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan dapat dilakukan apabila surat permohonan tersebut belum/tidak dijawab; f. Mengirimkan surat jawaban Presiden/Menteri Dalam Negeri atas permohonan persetujuan tertulis kepada penyidik yang menangani perkaranya.
SEKIAN DAN TERIMA KASIH