TANTANGAN GURU PAI PADA ERA GLOBALISASI (Pokok-pokok pikiran disampaikan dalam Orientasi Instruktur Pedagogik, dilaksanakan oleh Kementerian Agama RI, bertempat di Makassar pada tanggal 1 November 2012)
KESADARAN ZAMAN SEKARANG BUKAN ERA PARA IMAM/ULAMA MASA LAMPAU PASTILAH ERA SEKARANG LEBIH KAYA DARI SEGI : **Bahan ilmu pengetahuan & informasi **Metodologi
KESADARAN TENTANG MASYARAKAT DUNIA YANG MAJEMUK, MULTIKULTURAL, PLURALISME, DAN MORALITAS YANG STANDAR
Ciri era globalisasi : >> tepat >> cepat >> berjejaring
Globalisasi (mendunianya maslahah dan mafsadah) Akibatnya: Rahmah atau Sampah
Laporan adalah alat komunikasi yang berisi keterangan, informasi, ide-ide,, yang dihimpun, diolah, dan disajikan secara tertulis dari serangkaian kegiatan, pengamatan, penyelidikan, dan studi PENGERTIAN
PIMPINAN PELAPORAN PENGAWASAN PENGENDALIAN PELAKSANAAN PERENCANAAN PENGORGANISASIAN PENGARAHAN Sikles Manajemen
Tantangan Guru PAI: 1 BELAJAR TERUS DAN SADAR LINGKUNGAN/INFORMASI
2 BERPIKIR KREATIF DAN BERORIENTASI KE DEPAN
3 MEMBERI MUATAN MORAL PADA MATA PELAJARAN YANG DIAJARKAN
• BEBERAPA CONTOH: • Dulu, guru agama mengajarkan kepada kami bahwa ada dua macam fardhu (kewajiban). Yang pertama adalah fardhu ‘ain, sedang yang kedua adalah fardhu kifayah. Fardhu ‘ain biasa dijelaskan sebagai kewajiban yang wajib ditunaikan bagi setiap diri. Contohnya, kewajiban shalat bagi setiap Muslim yang sudah dewasa. Adapun fardhu kifayah adalah kewajiban dari agama yang jika sudah ditunaikan (dilaksanakan) oleh satu atau beberapa orang, maka orang lain yang tidak melaksanakannya sudah terbebas dari dosa. Contoh fardhu kifayah ialah menyelenggarakan pengurusan jenazah. Jadi, fardhu kifayah boleh juga dipahami bahwa jika sudah ada orang yang melaksanakan kewajiban itu, maka yang lain boleh tidak mengerjakan kewajiban itu.
• Dengan penjelasan demikian berikut contohnya, kedua fardhu (kewajiban) itu semakin hilang relevansinya pada masa sekarang. Efek yang timbul dari kedua ajaran kewajiban itupun tidak menyentuh ke bagian- bagian penting kehidupan kita. Fardhu ‘ain dan kifayah semakin sempit ranahnya. Fardhu ‘ain hanya berputar di sekitar ibadah dalam arti yang sempit, seperti sembahyang, puasa, dan zakat. Sedang fardhu kifayah, mendorong semakin banyak orang tidak mengambil bagian di dalam kegiatan terpuji fardhu kifayah. Karena contohnya (selalu) pengurusan jenazah, maka efek sosial ekonominya hanya tampak pada munculnya kios atau toko yang menjual perlengkapan mayat.
• Selain itu ada kaidah yang sudah umum diterima oleh kaum Muslimin tentang ibadah dan muamalah (interaksi sosial). Yaitu, bahwa “dalam hal ibadah, semuanya dilarang, kecuali yang diperintahkan (oleh Kitab Suci), dan dalam hal muamalah (interaksi sosial), semua boleh, kecuali yang dilarang (oleh Kitab Suci)”. Tidak sedikit fakta (kenyataan), ibadah seseorang oke, namun perbuatannya bermasalah (misalnya, korupsi). Bisa saja seseorang berulang kali melakukan ibadah umrah, tapi tindakannya merugikan atau merusak secara sosial. Kaidah tersebut gagal mengintegrasikan antara ibadah dan muamalah (interaksi sosial). Memperhatikan penjelasan tentang kedua fardhu dan kaidah mengenai ibadah dan muamalah tersebut, dan melihat kenyataan adanya kesenjangan demikian rupa antara ibadah yang dilakukan dan perilaku sosial, serta semakin hilangnya daya dorong agama untuk menumbuhkembangkan kualitas kehidupan masyarakat, maka diperlukan upaya merumuskan kembali penjelasan mengenai kedua fardhu serta kaidah tentang ibadah dan muamalah.
• Fardhu kifayah sebaiknya dijelaskan sebagai “kewajiban bersama sehingga tidak seorangpun boleh melalaikannya”; atau lebih tegasnya, “kewajiban setiap individu yang berkaitan dengan kemaslahatan dan kemudaratan bersama”. Misalnya, kondisi kumuh dan kotor di suatu pemukiman, bukan hanya menjadi kewajiban setiap warga di pemukiman itu untuk mengatasi kekumuhan dan kekotoran itu, tetapi juga menjadi kewajiban warga tetangganya meski kondisi di pemukiman tetangga itu sudah teratur dan bersih. Berdosa warga di pemukiman itu dan warga tetangganya bila membiarkan kondisi kumuh dan kotor itu. Karena, lalat dari rumah yang kotor bisa membawa penyakit ke rumah yang bersih. Contoh ini bisa diperluas, misalnya, pemberantasan korupsi merupakan fardhu kifayah. Karena korupsi berakibat kesengsaraan umum, maka setiap warga, tentu yang bukan koruptor, wajib memberantasnya. Demikian juga kemiskinan adalah fardhu kifayah. Jadi fardhu kifayah adalah semacam “gerakan sosial”, tidak cukup dilakukan oleh satu, dua, atau segelintir orang. Dengan demikian, efek sosial ekonominya tidak hanya melahirkan toko perlengkapan mayat, tapi lebih luas dari itu. Begitu pula fardhu ‘ain bisa diluaskan contohnya, misalnya, menyekolahkan anak atau memberi nafkah bagi keluarga, adalah fardhu ‘ain bagi orang tua atau kepala rumah tangga.
• Adapun tentang ibadah dan muamalah, di sini ditawarkan kaidah, yaitu “Semua ibadah boleh, asal saja ada patronnya di dalam Kitab Suci, dan muamalah (interaksi sosial) harus sejalan dengan semangat ibadah yang dilakukan”. Semoga kaidah ini saling mendukung dengan rumusan ulang kedua fardhu di atas dan bisa memberi kebajikan meluas di dalam masyarakat kita.
• SYARAT “at-tartib” dlm pelajaran fikhi • TK “HANYA SATU TUHAN MILIK BERSAMA” • PENDIDIKAN MORAL DAN IBU MUDA DI AUSTRALIA DAN NYONYA TIONGHOA DI SINGAPURA • Tentang alokasi waktu “hanya” 2 jam (?!)
TERIMA KASIH