Konsep Bid’ah Menurut Pemahan Para Ulama
Mana Yang Lebih Baik? Orang-orang yang tidak shalat? Atau orang-orang yang shalat berjamaah namun setelah shalat selesai mereka berzikir dan berdoa berjamaah dengan suara keras dan berdoa dengan mengangkat tangan? Tidak shalat adalah maksiat Zikir dan doa berjamaah adalah bidah Maka orang yang tidak shalat lebih baik karena hanya melakukan maksiat? Apakah seperti itu????
Beberapa Pertanyaan? Apakah ada perbedaan pendapat dalam konsep dan definisi bid’ah? Apakah pendapat dalam masalah bidah berkisaran antara tepat ( ash-showab) dan tidak tepat (al-khoto)? Atau antara haq da bathil? Apakah pembahasan dalam masalah ini masuk dalam lingkup ijtihad?
Beberapa Pertanyaan? Apakah Ulama satu pendapat dalam menilai bid’ah atau tidaknya sebuah masalah baru dalam agama yang berhubungan dengan ibadah? Apakah Terlalu mudah mem-bid’ahkan suatu amalan ibadah baru dalam agama adalah dibenarkan?
Masalah bidah adalah masalah krusial Orang-orang yang tidak shalat? Atau orang-orang yang shalat berjamaah namun setelah shalat selesai mereka berzikir dan berdoa berjamaah dengan suara keras dan berdoa dengan mengangkat tangan? Tidak shalat adalah maksiat Zikir dan doa berjamaah adalah bidah Maka orang yang tidak shalat lebih baik karena hanya melakukan maksiat? Apakah seperti itu????
Masalah bidah adalah masalah krusial Konsep Bidah harus dipelajari dengan sempurna dan secara amanah. Samar dalam memahami konsep bidah menimbulkan keresahan bahkan perpecahan yang dimulai dengan saling mencaci. Contoh : Orang-orang yang merayakan maulid Nabi lebih berdosa dari peminum khamr, pencuri, pejina dan pembunuh. memakai ayat-ayat mengenai orang kafir untuk diterapkan kepada orang mukmin.
Contoh Ayat Tentang Orang Kafir Yang Dituduhkan Kepada Orang Mukmin وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا [الفرقان/23] Ayat Ini ditiduhkan kepada yang merayakan maulid وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى [الزمر/3] Ayat ini dituduhkan kepada mukmin yang melakukan tawasul dengan Nabi saw
Tiga Hal Penting Pertama: Ahlu sunnah wal Jamaah harus menyatukan kata, hati dan barisannya. Kedua: Dialog dan diskusi adalah suatu hal yang wajar. Namun jangan sampai merusak rasa saling menghormati. Hal tersebut terwujud dengan dua syarat; satu: Diskusi dilakukan dengan cara ilmiah, dalil dilawan dengan dalil, argument dibalas dengan argument. Kedua: setiap pihak yang terlibat diskusi hendaknya berpegang dengan adab dialog Ketiga: buku ini diharapkan menjadi sebab mendekatnya pandangan yang berbeda dalam masalah bidah
Kesempurnaan Agama Dan Realita Adanya Masalah Baru (Nawazil)
Ulama Sepakat Kesempurnaan syariat Islam , maka tidak butuh tambahan dan tidak mengalami pengurangan Peringatan keras tentang melakukan bid’ah dalam agama baik dengan cara menambah, mengurangi ataupun merubah. Kejadian dan masalah baru (nawazil) terus bermunculan dan tidak berakhir. Setiap Nawazil pasti ada hukum Allah yang berkenaan dengannya. Hukum tersebut ada dalam Al-Quran dan sunnah. ijtihad disyariatkan bagi Ulama muslimiin. Hakikat ijtihad adalah mencari hukum dari kejadian dan masalah
Apa Yang Dilakukan Kalau Muncul Nawazil Dalam Ibadah? Apakah Divonis bid’ah atau dilakukan ijtihad? Contoh: Do’a khatam Quran dalam sholat taraweh atau sholat qiyam di bulan Ramadhan. ‘Asyaul-walidain. (jamuan makan mlam yang diadakan setelah satu atau dua bualan dari meninggalnya orang tua. Dalam acara ini diundang kerabat, rekan dan tetangga. Dengan harapan pahalanya sampai kepada orangtua yang sudah meninggal.) Merubah bentuk masjid: membuat garis diatas karpet masjid untuk meluruskan shaf shalat
Bagaimana Memahami al-Muhdatsaat? Apakah al-muhdats termasuk dalam masalah baru sehingga memungkinkan hukum yang lima? atau al-muhdatsaat otomatis menjadi bid’ah? Ada perbedan pendapat: kelompok pertama berpendapat bahwa seluruh hal yang baru dalam agama mempunyai hukumnya masing-masing. Kelompok kedua berpendapat bahwa seluruh hal baru dalam agama bid’ah yang sesat. disebabkan tidak adanya penentuan makna bidah dalam agama secara jelas dan terang Kalau Ulama belum sepakat dalam makna jelas dari bidah jelek dalam syariat , maka jalan satu-satunya adalah saling memaklumi satu sama lainnya
Makna Bid’ah
Definisi Bid’ah Definisi al-Iz bin Abdussalam rahimahullah: “mengerjakan sesuatu yang tidak ada dan tidak dikenal di zaman Rasulullah SAW , Ia terbagi menjadi wajib, haram , mandub (sunah) , makruh dan mubah, Cara menentukannya dengan jalan menakar bidah tersebut dengan kaidah syariah”. Definisi Ibnu Hajar: “hal baru yang diciptakan , tidak memiliki dalil dalam syariat” Definisi Ibnu Rajab rahimahullah :”Hal baru yang diciptakan , dalam syariat tidak ada dalil yang menunjukkan hal baru tersebut”
Definisi Syatibi rahimahullah. Pertama: “sebuah cara dalam agama yang ditemukan, cara tersebut menyamai syariat , maksud dari mengerjakannya adalah berlebihan dalam beribadah kepada Allah SWT.” Kedua: “ sebuah cara dalam agama yang ditemukan , cara tersebut menyamai syariat , maksud dari mengerjakannya sama dengan maksud mengerjakan sesuatu yang dilakukan dengan cara syariat”
Ibnu Taimiyah Tentang Bidah Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata:” hal yang bertentangan dengan tex-tex Islam adalah bidah , hal ini merupakan kesepakatan ulama. Dan hal yang belum diketahui bertentangan terkadang tidak disebut bidah” (Kitab Daru-tta’arudh karangan Ibnu Taimiyah. Jilid;1 hal:140 , semakna dengannya di buku al-fatawa jilid 20 hal: 159 ) ungkapan Ibnu Taimiya menunjukkan bahwa hal baru kalau tidak bertentangan dengan nushush terkadang tidak dinamai bidah.
Sebab Perselisihan Definisi Perbedaan pendapat tentang penerapan bidah sesat pada setiap hal baru yang memiliki warna agama dan tidak ditemukan dalam kurun waktu pertama, namun tidak bertentangan dengan nushush syariat Islam dan kaidah-kaidahnya. Apakah hal baru seperti ini termasuk bidah sesat atau tidak?
Tiga konsep bidah Setiap hal baru yang berhubungan dengan agama mempunyai hukum yang sesuai dengannya. Ia tercakup dalam lima. Disebut hasanah kalau boleh dan disebut sayyiah kalau dilarang. (Al-muwassi’uun) Hal baru dalam agama mempunyai satu hukum saja yaitu haram. Setiap hal baru bidah, setiap bidah sesat , dan setiap kesesatan di neraka. (al-Mudhoyyiquun) Al-Muhdast kalau termasuk dalam kaidah-kaidh syariat atau ada Nushush yang menunjukkannya tidak disebut bidah. Akan tetapi diberi nama dengan hukum syar’i yang sesuai. Kalau tidak termasuk dalam kaidah-kaidh syariat atau tidak ada Nushush menunjukkannya maka disebut bidah. Maka menurutnya semua bidah sesat. Perbedaan pendapat pertama dan ketiga hanya perbedaan lafadh saja. Perbedaan pertama dan kedua perbedaan secara substansi
Secara Substansi Ada Dua Konsep Bid’ah المضيقون Al Mudhoyyiquun Sempit Memahami Bidah Mudah dan Cepat Membidahkan الموسعون Al-Muwassi’uun Luas Memahami Bid’ah Hati-hati dalam membidahkan
Apakah Syatibi Sependapat Dengan Mudhoyyiqin? Secara Konsep Syatibi Bersama Muwassi’iin! Saya menyimpulkan bahwa Syathibi rahimahullah berpendapat bahwa bidah adalah sebuah terminology syariat , maksud dari bidah adalah setiap hal baru yang bertentangan dengan dalil-dalil syariat dan kaidah-kaidahnya. Sedangkan al-muhdats yang tidak bertentangan dengan dalil-dalil syariat maka tidak disebut kata bidah. Ia adalah hal baru yang disyariatkan sesuai dengan hukumnya yang sesuai. Karena nushush syariah kulliyyah (umum, yang mencakup bagian-bagiannya) dan kaidah-kaidah umum syariat mendukungnya.
Bidah Dalam Ibadah Ada Tidak Ada Al-Muqtadho المقتضى Al-mani’ المانع Sesuatu yang menghalangi dilakukannya sebuah perbuatan Sebab Terjadi sebuah perbuatan Ada Tidak Ada
Terdapat Muqtadho Namun Ada Mani’ Shalat Tarawih Berjamaah setiap malam: Dizaman Rasulullah shalat tarawih ada Berarti muqtadho diturunkannya hukum ada. Namun terdapat mani’ , yaitu khawatir diwajibkan. Rasulullah tidak Tarawih jamaah di masid tiap malam karena ada mani’. Ketika Rasulullah meninggal maka mani’ dari tidak tarawih berjamaah setiap malam sudah hilang maka mengadakan tarawih berjamaah tiap malam tidak bidah.
Terdapat Muqtadho Dan Tidak Ada Mani’ Zakat Sayuran: Dizaman Rasulullah ada Sayuran Berarti muqtadho diturunkannya hukum ada. Tidak ada mani’ , yaitu hal yang menghalangi terjadinya hukum. Ketika Rasulullah tidak mewajibkan zakat untuk sayuran difahami bahwa sayuran tidak ada zakatnya. Mewajibkan zakat sayuran termasuk bidah.
Pembagian Sukutu Syari’ Tidak menurunkan hukum karena tidak terdapat sebab atau hal yang mengharuskan diturunkannya hukum Disebut al-muqtdho (المقتضى) Berhubungan dengan nawazil (masalah baru) Berhunbungan dengan Mashlahah Mursalah Tidak menurunkan hukum padahal terdapat sebab atau hal yang mengharuskan diturunkannya hukum Dan tidak terdapat mani’ (المانع) Berhunbungan dengan masalah bidah Khusus dalam Ibadah
Memahami Tiga Hadis Tentang Bid’ah
Hadis Pertama Rasulullah SAW berkata dalam khutbahnya: أما بعد ، فإن أصدق الحديث كتاب الله وإن أفضل الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم ، وشر الأمور محدثاتها ، وكل محدثة بدعة ، وكل بدعة ضلالة ، وكل ضلالة في النار Amma ba’du, sebaik-baiknya pembicaraan adalah kitab Allah, sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuknya Muhammad SAW , seburuk-buruknya perkara agama adalah hal-hal baru dalam agama, setiap yang baru adalah bidah, setiap bidah sesat, dan setiap sesat di neraka.
Memahami Hadis Pertama Ada perbedaan pendapat tentang makna kata “seluruh” (كل ) dalam hadis. Kelompok mudhoyyiquun : sabda Rasulullah saw “setiap hal baru bidaha” adalah makna umum yang tidak ada pengecualiannya. Oleh karenanya pembagian bidah menjadi lima adalah bertentangan dengan hadis ini. Kelompok muwassi’iin memahaminya dengan makna seluruh tapi ada pengecualiannya, maka maknanya sebagian besar.
Syarah Imam Nawawi شرح النووي على صحيح مسلم ج6/ص154 ) قوله صلى الله عليه وسلم وكل بدعة ضلالة هذا عام مخصوص والمراد غالب البدع) “ , Imam Nawawi berkata:”Sabda Rasulullah SAW “dan setiap bidah sesat” , ini adalah makna umum yang ada pengecualiannya, yang dimaksud adalah sebagian besar bid’ah.” شرح النووي على صحيح مسلم ج7/ص104( ”من سن في الاسلام سنة حسنة فله أجرها ” إلى ....وفي هذا الحديث تخصيص قوله صلى الله عليه وسلم كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وأن المراد به المحدثات الباطلة والبدع المذمومة....) Hadis ini mengecualikan keumuman sabda Rasulullah saw “setiap muhdast bida’h”….dan yang dimaksud adalah bid’ah yang bathil dan tercela.”
Hadis Kedua: من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد Rasulullah bersabda: من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد “barang siapa membuat hal baru dalam agama ini dan bukan bagian dari agama ini, makka hal tersebut ditolak” Apakah “bukan bagian dari agama” adalah syarat lazim atau qoidun ? Al-Mudhoyyiquun: syarat lazim yaitu sifat yang pasti ada dalam setiap hal baru (al-muhdats). Artinya setiap hal baru pasti bukan bagian dari agama. Hadis tersebut tidak bisa difahami dengan sebaliknya (mafhum mukholafah). Maka tidak bermakna bahwa sebagian hal baru ada yang termasuk dalam agama. Al-Muwassi’un: qoidun, maka boleh mafhum mukholafah. Kalau bukan bagian dari agama ditolak, kalau ternyata bagian dari agama diterima
Hadis Ketiga: من سَنَّ في الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ من عَمِلَ بها بَعْدَهُ من غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ من أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ في الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كان عليه وِزْرُهَا وَوِزْرُ من عَمِلَ بها من بَعْدِهِ من غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ من أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ “Barang siapa membuat sunnah dalam Islam sunah-yang baik maka ia mendapat pahalanya dan mendapat pahala orang yang mengerjakannya setelah dia, tanpa mengurangi pahala orang yang mengerjakanya sedikitpun. Barang siapa membuat sunnah dalam Islam sunah-yang buruk maka ia mendapat dosanya dan mendapat dosa orang yang mengerjakannya setelah dia, tanpa mengurangi orang orang yang mengerjakanya sedikitpun
Memahami Hadis Ketiga Apa makna kata سن dalam hadis? سنَّ mempunyai dua makna : membuat dan menghidupkan. Mudhoyyiqun : bermakna menghidupkan Muwassi’un: menghidupkan dan membuat. kata سنَّ kalau hanya bermakna menghidupkan tidak selaras dengan akhir dari hadis diatas. Yaitu menghidupkan sunnah yang jelek. Dalam Islam tidak ada sunnah Jelek
Memahami Hal Yang Tidak Dilakukan Rasululah saw
Hal yang ditinggalkan Rasulullah SAW dan tidak dikerjakan , dengan sengaja, tidak mempunyai makna wajib, kadang bermakna haram, makruh, mubah atau dianjurkan (musthab). Rasulullah SAW tidak melakukannya karena ada sebab seperti menjelaskan bahwa yang ditingalkannya itu boleh tidak dikerjakan, atau khawatir menimbulkan kesulitan bagi umatnya, atau karena alasan maslahat lain. Dalam hal ini kita harus meliha al-qoroin (indikator yang bisa dipakai untuk memahami maksud tertentu) yang menyertai ketika Rasulullah SAW tidak mengerjakan hal tersebut. Kalau tidak ada qorinah yang mennjukkan sebabnya maka perbuatan yang tidak dikerjakan adalah mubah, boleh dikerjakan.Sedangkan tidak melakukan dengan tidak sengaja maka tidak ada hukum syariat apapun yang berhubungan dengannya.
Kaidah yang mengatakan bahwa suatu hal yang tidak dikerjakan Rasulullah SAW menunjukkan bahwa hal yang ditinggalkan tersebut adalah haram, kaidah ini dibatalkan dengan sabda Rasulullah SAW: دعوني ما تركتكم ، إنما أهلك من كان قبلكم سؤالهم واختلافهم على أنبيائهم ، فإذا نهيتكم عن شيء فاجتنبوه ، وإذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ما استطعتم Biarkan saya dengan apa yang sudah saya tinggalkan buat kalian, Umat sebelumkalian hancur karena pertanyaan mereka, penentangan mereka terhadap nabinya. , kalau saya melarang kalian dari sesuatu maka tinggalkanlah. Kalau saya memerintahkan sesuatu maka lakukanlah sekuat tenaga kalian
Melakukan Hal Yang Tidak Dilakukan Rasulullah adalah bidah Melakukan Hal Yang Tidak dilakukan Rasulullah adalah tidak ada hukumnya. Tergantung Baik dan Tidaknya Melakukan Hal Yang Tidak Dilakukan Rasulullah adalah bidah )وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ ( )فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بها وَعَضُّوا عليها بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فإن كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ( :(مَن عملَ عملاً ليس عليه أمرُنا ؛ فهو رَدّ ( ما أحل الله في كتابه فهو حلال وما حرم فهو حرام وما سكت عنه فهو عفو فاقبلوا من الله عافيته وما كان ربك نسيا إن الله عز وجل فرض فرائض فلا تضيعوها وحرم حرمات فلا تنتهكوها وحد حدودا فلا تعتدوها وسكت عن أشياء من غير نسيان فلا تبحثوا عنها
Manhaj Rasulullah saw. Dalam Menerima Atau Menolak Hal Baru dalam Agama.
Seorang Sahabat Dari Anshor, mengimamai Sholat Di Masjid Quba dengan Membaca Al-Ikhlas setelah Fatihah Sebelum Surat وقال عُبَيْدُ اللَّهِ عن ثَابِتٍ عن أَنَسِ رضي الله عنه كان رَجُلٌ من الْأَنْصَارِ يَؤُمُّهُمْ في مَسْجِدِ قُبَاءٍ وكان كُلَّمَا افْتَتَحَ سُورَةً يَقْرَأُ بها لهم في الصَّلَاةِ مِمَّا يَقْرَأُ بِهِ افْتَتَحَ قُلْ هو الله أَحَدٌ حتى يَفْرُغَ منها ثُمَّ يَقْرَأُ سُورَةً أُخْرَى مَعَهَا وكان يَصْنَعُ ذلك في كل رَكْعَةٍ فَكَلَّمَهُ أَصْحَابُهُ فَقَالُوا إِنَّكَ تَفْتَتِحُ بِهَذِهِ السُّورَةِ ثُمَّ لَا تَرَى أنها تُجْزِئُكَ حتى تَقْرَأَ بِأُخْرَى فَإِمَّا تَقْرَأُ بها وَإِمَّا أَنْ تَدَعَهَا وَتَقْرَأَ بِأُخْرَى فقال ما أنا بِتَارِكِهَا إن أَحْبَبْتُمْ أَنْ أَؤُمَّكُمْ بِذَلِكَ فَعَلْتُ وَإِنْ كَرِهْتُمْ تَرَكْتُكُمْ وَكَانُوا يَرَوْنَ أَنَّهُ من أَفْضَلِهِمْ وَكَرِهُوا أَنْ يَؤُمَّهُمْ غَيْرُهُ فلما أَتَاهُمْ النبي e أَخْبَرُوهُ الْخَبَرَ فقال يا فُلَانُ ما يَمْنَعُكَ أَنْ تَفْعَلَ ما يَأْمُرُكَ بِهِ أَصْحَابُكَ وما يَحْمِلُكَ على لُزُومِ هذه السُّورَةِ في كل رَكْعَةٍ فقال إني أُحِبُّهَا فقال حُبُّكَ إِيَّاهَا أَدْخَلَكَ الْجَنَّةَ ( صحيح البخاري ج1/ص268)
Bahwa seorang dari ansor menjadi imam di masji Quba. Ia selalu memulai surat yang akan ia baca dalam shalat dengan surat al-Ikhlas sampai selesai. Setelah itu ia membaca surat lain setelah al-ikhlas. Ia melakukannya disetiap rakaat. Sahabat yang lainnya menegurnya. Mereka berkata: “engkau memulainya dengan surat ini. dan engkau merasa tidak cukup dengan surat al-ikhlas sampai engkau membaca surat lain. Pilih saja salah satunya, cukup membaca al-Ikhlas atau tidak membaca al-Ikhlas namun membaca surat lain.
Ia menjawab: “saya tidak akan meninggalkannya Ia menjawab: “saya tidak akan meninggalkannya!” kalau kalian setuju aku mengimami kalian dengan cara saperti itu saya akan jadi imam. Kalau kalian tidak setuju saya tidak akan jadi imam. Jamaah sholat melihat bahwa Ia adalah orang terbaik diantara mereka. Mereka tidak ingin orang lain mengimami. Ketika Nabi saw menginjungi mereka mereka menceritakan kejadian itu.. Kemudian Rasulullah bertanyakepada imam tadi:”Apa yang membuat engkan menolak untuk mengerjakan apa yang diminta sahabatmu?
Apa yang membuatmu selalu membaca surat ini disetiap rakaat? Imam masjid menjawab: “saya mencintainya” Rasulullah saw berkata:”Kecintaanmu terhadap surat al-Ikhlas membuatmu masuk surga” Kesimpulan : Rasulullah menyetujui dua hal: Pertama: selalu membaca surat al-ikhlas setelah al-fatihah Kedua: Cara Sahabat mengambil kesimpulan, yaitu sesuai dengan perintah umum membaca Quran setelah al-fatihah.
Seorang Sahabta Selalu membaca al-Ikhlas Sebelum Ruku’ Rasulullah SAW mengutus sebuah pasukan perang (sariyah). Pasukan tersebut dipimpin seseorang. Pimpinan pasukan selalu membaca surat al-Ikhlas untuk mengakhiri bacaanya. Ketika pasukan kembali mereka bertanya kepada Rasulullah saw tentang perbuatan pimpinan mereka. Rasulullh saw menyuruh mereka untuk menanyakan hal itu pada pimpinan mereka. Beliau berkata: “tanyakan kepada dia, kenapa melakukan hal itu?” kemudian mereka menanyakannya . Ia menjawab:”karena surat tersebut sifat Ar-Rahman ( Allah ) , dan saya suka membacanya . Rasulullah saw berkata: “kabarkan kepada dia bahwa Allah mencinyainya. (Hadis Riwayat Bukhori, Muslim dan Nasai )
Seorang Sahabat Membuat Bacaan Dalam Shalat Dan Nabi SAW Tidak Mengajarkannya عن أَنَسٍ أَنَّ رَجُلًا جاء فَدَخَلَ الصَّفَّ وقد حَفَزَهُ النَّفَسُ فقال الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فيه فلما قَضَى رسول اللَّهِ ص م صَلَاتَهُ قال أَيُّكُمْ الْمُتَكَلِّمُ بِالْكَلِمَاتِ فَأَرَمَّ الْقَوْمُ فقال أَيُّكُمْ الْمُتَكَلِّمُ بها فإنه لم يَقُلْ بَأْسًا فقال رَجُلٌ: جِئْتُ وقد حَفَزَنِي النَّفَسُ فَقُلْتُهَا. فقال: لقد رأيت اثْنَيْ عَشَرَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَرْفَعُهَا ( صحيح مسلم ج1/ص419 )
disebutkan bahwa seseorang datang tergesa-gesa menuju shalat disebutkan bahwa seseorang datang tergesa-gesa menuju shalat. Nafas dia mendorongnya , kemudian dia bisa mendapatkan ruku, kemudian takbir dan mengucapkan hamdalah. الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فيه Rasulullah bertanya siapa yang mengucapkan kalimat tadi. Tidak seorangpun menjawab. Rasulullah saw mengulang pertanyaanya dan berkata sesungguhnya ia tidak mengucapkan hal yang buruk. Kemudian ia mengaku dan memberikan alasan bahwa ia terdorong oleh nafanya dan mengucapkan hamdalah dengan lafadh tadi Setelah itu Rasulullah saw bersabda:”saya melihat duabelas malaikat berlomba sipa diantara mereka yang duluan menuliskannya.”
Beberapa Muhdatsat Yang dibuat Sahabat Bilal bin Rabah ra selalu komitmen dengan berwudhu setiap kali beliau batal wudhu dan beliau selalu melakukan sholat dua rakaat setelah wudhu dan setelah adzan Sholat Khubaib bi ‘Adi ra dua rakaat sebelum dibunuh Seorang sahabat selalu membaca surat al-Ikhlas di setiap rakaat sholat malam Munajat seorang sahabat kepada Allah saw dengan doa yang belum pernah didengar dari Rasulullah saw. Seorang sahabat ra menambah lafadh zikir setelah ia bangun dari ruku’ Sunnahnya Muaz bin Jabal ra dalam hal sholat masbuk Abu Said al-Khudriy ra meruqyah seseorang yang digigit ular
Pertanyaan? Kenapa Sahabat ra yang melakukan muhdatsaat tidak Betanya Kepada Rasulullah Sebelum melakuakannya? Bahkan yang bertanya bukan pelaku? Apakah Pelaku Tidak Takut Bidah? Atau Karena sesuai dengan Syariat?
Apakah termasuk Sunnah Taqririyah? Sahabat melakukan amalan-amalan baru di atas sebelum Rasulullah Saw. menjelaskan hukumnya kepada mereka, padahal sangat mungkin dan mudah bagi mereka untuk bertanya. Hal ini menunjukkan bahwa Sahabat tidak merasa bersalah untuk melakukannya dan tidak menilainya sebagai perkara bid’ah yang tercela. Sebab jika hal itu bid’ah, pastilah mereka akan meninggalkannya. Rasulullah Saw. membenarkan perbuatan para Sahabatnya dan perkara-perkara baru yang berkaitan dengan agama yang mereka lakukan. Hal ini memberikan dalil jelas bahwa tidak semua yang Rasulullah Saw. tinggalkan, berarti haram. Jikalau tidak, pastilah semua perkara baru yang dilakukan oleh para Sahabat termasuk hal-hal yang diharamkan, sebab Rasulullah Saw. tidak pernah melakukannya.
Rasulullah Menolak Sujud Muaz kepadanya. Rasulullah saw tidak setuju dengan sujudnya Muadz bin Jabal ra kepadanya. Muadz ra ketika berkunjung ke Syam atau yaman melihat Nashrani sujud kepada pendeta. Juga melihat yahudi sujud kepada pendeta. Rasulullah saw bertanya kepada Muadz:”untuk apa mereka melakukan hal ini? Mereka menjawab:”Ini adalah penghormatan kepada para Nabi. “ Aku mnjelaskan:”Kami lebih berhak untuk melakukannya kepada nabi kami.” Kemudian Rasulullah saw berkata:”mereka berbohong kepada Nabi-nabi mereka, sebagaimana mereka merubah kitab suci mereka, kalau saya disuruh untuk memerintahkan sujud seorang manusia kepada seorang manusia maka saya akan menyuruh perempuan untuk sujud kepada suaminya.” (Hasi riwayat Ahmad, ibnu Majah, Hakim, Thabrani, Haitsami dalam al-mujmma’ ilid:4 hal:568 )
Kesimpilan Manhaj Rasulullah Dalam Menilai Menerima atau menolak hal baru dalam Agama. Kalau melihat atau mendengar yang baru, Rasulullah saw tidak langsung memvonis bidah. Rasulullah saw. bertanya sebab dilakukannya amalan baru tersebut Kemudian Rasulullah saw menilai apakah diterima atau ditolak. Menerima yang sesuai dengan Syariat Menolak yang tidak sesuai
Manhaj Para Sahabat Tentang Hal-hal Baru Setelah Rasulullah Saw. Wafat.
Hal Baru YangDiterima Abu Dzar ra.banyak melakukan shalat sunnah tanpa memperhatikan jumlah rakaatnya. Mutharrif bin Abdillah berkata, “Saya duduk bersama beberapa orang Quraisy. Tiba-tiba datang seorang laki-laki, kemudian ia shalat, ruku dan sujud, namun tidak duduk setelah dua rakaat. Aku pun berkata, ‘Menurutku, orang itu tidak tahu apakah dia menyudahi rakaat shalatnya dalam jumlah genap atau ganjil.’ Mereka berkata, ‘Kenapa tidak kamu temui dia dan beritahu dia?’ Aku pun berdiri menemuinya seraya berkata, ‘Wahai hamba Allah, saya tidak tahu, apakah kamu shalat dengan jumlah rakaat genap atau ganjil.’ Ia menjawab, ‘Tetapi, Allah Maha Mengetahui. Saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda: مَنْ سَجَدَ لِلَّهِ سَجْدَةً، كَتَبَ اللهُ لَهُ بِهَا حَسَنَةً، وَحَطَّ بِهَا عَنْهُ خَطِيئَةً، وَرَفَعَ لَهُ بِهَا دَرَجَةً. “Barangsiapa sujud (shalat) kepada Allah sebanyak satu kali, Allah akan mencatat baginya satu kebaikan karenanya; akan menghapus satu kesalahan karenanya; dan mengangkat satu derajat untuknya.”
Aku bertanya, ‘Kamu siapa?’ Ia menjawab, ‘Abu Dzar.’ Aku pun kembali kepada teman-temanku dan berkata, ‘Semoga Allah membalas kalian dengan keburukan, hai teman-teman yang buruk! Kalian menyuruhku untuk mengajari salah seorang Sahabat Rasulullah!’” (h.r. Ahmad)) Abu Dzar ra. memperbanyak rukuk dan sujud. Beliau tidak duduk setelah dua rakaat untuk membaca tasyahud. Beliau tidak juga mengucapkan salam di antara dua rakaat. Bahkan, Beliau tidak berniat melakukan shalat dalam jumlah rakaat tertentu. Semua ini beliau lakukan karena senang memperbanyak jumlah sujudnya. Imam Haitsami berkata, “Imam Ahmad dan Al-Bazzar meriwayatkan hadits ini dengan beberapa sanad. Sebagian diriwayatkan oleh para perawi hadits shahih. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Thabrani dalam Al-Mu’jamu al-Ausath.” (Al-Majma’, 2/514).
Hal Baru Dalam Agama Yang Ditolak Sahabat Ibnu Abbas ra. mengingkari perbuatan Muawiyah bin Abu Sofyan ra. yang mencium rukun Iraqi dan rukun Syami ketika tawaf. Ibnu Abbas ra. berkata kepada Muawiyah ra., “Rasulullah Saw. hanya mencium Hajar Aswad dan Rukun Yamani ketika tawaf.” Muawiyah ra. menjawab, “Tidak ada satu pun bagian Ka’bah yang tidak dihormati.” Ibnu Abbas ra. membaca ayat:“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu, suri teladan yang baik bagimu.” (q.s. Al-Ahzab: 21) Muawiyah ra. berkata, “Ya. Kamu benar.” (h.r. Bukhari, Ahmad dan Tirmidzi) Imam Syafi’i berkata, “Kita tidak mencium keduanya --Rukun Iraqi dan Rukun Syami—bukan karena mengabaikannya. Bagaimana mungkin Ibnu Abbas mengabaikannya, padahal ia sedang bertawaf mengelilinginya? Akan tetapi, kami mengikuti Sunnah Rasulullah Saw., baik dalam hal melakukan atau meninggalkan sesuatu. Jikalau meninggalkan Rukun Iraqi dan Rukun Syami termasuk mengabaikan keduanya, pastilah meninggalkan bagian-bagian Ka’bah di antara keduanya juga dianggap mengabaikannya; padahal tidak ada seorangpun yang mengatakan seperti itu.”
Kesimpulan Manhaj Sahabat Sahabat membedakan, dengan ilmu dan pemahaman yang Allah karuniakan kepada mereka, antara perkara-perkara baru yang baik yang diperbolehkan untuk dilakukan dengan perkara-perkara baru yang buruk dan diharamkan untuk dilakukan. setiap perbuatan baik yang dianjurkan dan sesuai dengan dalil-dalil serta kaidah-kaidah umum syariat, termasuk bagian dari perkara-perkara baru yang baik dan terpuji, dengan syarat tidak bertentangan dengan dalil syar’i, tidak menimbulkan kerusakan, tidak menafikan atau bertentangan dengan petunjuk Rasulullah Saw. Sebaliknya, perkara-perkara baru yang bertentang dengan dalil-dalil dan kaidah umum syariat, atau bukan bagian perkara yang diperintahkan secara umum, atau menimbulkan masalah kerusakan ajaran agama atau perkara duniawi, atau bertentangan dengan contoh dan petunjuk Rasulullah Saw., merupakan perkara-perkara baru yang tercela dan bid’ah sesat yang diperingatkan oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya: كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ، وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ. “Setiap perkaara baru adalah bid’ah; semua bid’ah adalah kesesatan; dan semua kesesatan berada dalam neraka.”
Qiyas Dalam Ibadah
Selama Bisa Difahami Boleh Dilakukan Qiyas walaupun dalam Bab Ibadah Qiyas Dalam Ibadah Bisa difahami. Disebut ‘Illah Boleh dilakukan qiyas. Sebab Hukum Tdak bisa difahami Disebut sebab (السبب) Dalam kategori ta’abbudi, tidak boleh dilakukan qiyas. Selama Bisa Difahami Boleh Dilakukan Qiyas walaupun dalam Bab Ibadah
Contoh Qiyas Dalam Ibadah Mengucapkan “الصلاة جامعة” sebelum pelaksanaan shalat Ied; dikiaskan pada shalat gerhana Melafalkan niat shalat boleh menurut sebagian ulama; dikiaskan pada niat (ihram) haji dan ibadah kurban. Mengucapkan salam dua kali pada shalat jenazah; dikiaskan pada shalat biasa. Orang yang pingsan tidak wajib mengqadho’ shalat; dikiaskan pada orang gila (hilang ingatan). Mengeluarkan zakat untuk hasil tanaman yang dijadikan sebagai makanan pokok; dikiaskan pada biji gandum.
Dalil yang membolehkan qiyas dalam masalah ibadah, hadits yang menjelaskan bahwa Umar bin Khattab ra. pernah mencium istrinya ketika ia sedang berpuasa. Ia pun berkata kepada Rasulullah Saw.,”Wahai Rasulullah, saya telah berbuat kesalahan besar hari ini; saya mencium istriku, padahal aku sedang berpuasa.” Rasulullah Saw. pun bertanya, “Bagaimana menurutmu, jika kamu berkumur-kumur dalam keadaan berpuasa?” Umar ra. menjawab, “Tidak apa-apa.” Rasulullah Saw. pun menjawab, “Kalu begitu, ada apa dengan mencium?”
Contoh-contoh Perbedaan Salaf dalam Menerapkan Hukum Perkara Bid’ah ( 36 Masalah)
Kendati seluruh ulama menjauhi bid’ah dan meyakini bahwa membuat perkara baru dalam urusan agama adalah haram, namun para ulama –salaf ataupun khalaf—berbeda pendapat dalam memberikan hukum untuk sebuah perkara bid’ah.
Perbedaan Pendapat Ulama Terdahulu Amalan yang Diadakan Fatwa Bid’ah Fatwa Boleh Melafazkan Niat Dalam Shalat Ibnu Taimiyah Ulama dari mazhab Hanafi dan Syafii, serta sebagian ulama mazhab Hambali Membaca Basmalah Dengan Keras Dalam Shalat Ibrahim An-Nakhai , Waki’ bin Jarrah mazhab Syafii Membaca Doa Kunut Pada Sholat Subuh Mazhab hanafi Mazhab Syafi’i
Perbedaan Pendapat Ulama Terdahulu Amalan yang Diadakan Fatwa Bid’ah Fatwa Boleh Azan Pertama Sebelum Matahari Tergelincir Pada Hari Jum’at Ibnu Umar Utsman bin Affan Dan Sahabat Menghidupkan Malam Nisfu Sya’ban dan keutamaanya Ulama Hijaz, Imam Malik bin Anas tabiin yang hidup di Negeri Syam ,Imam Ahmad, Ibnu Taimiyah , Mentalkini Mayit Sebagian ulama Sebagian besar ulama mazhab Syafii dan Hambali, sebagian ulama mazhab maliki dan hanafi
Contoh Perbedaan Kelompok “Mudhoyyiqiin” Dalam Menghukumi Masalah Baru (20 masalah)
Manhaj Mudhoyyiqiin dalam menilai bidah: Tidak pernah dilakukan salaf sholeh. kalau seandainya baik maka salaf sholeh akan terlebih dahulu melakukannya. Ketika terdapat muqtadho ( sesuatu yang mengharuskan terjadinya suatu hal) dan tidak terdapat hal yang menghalanginya (al-mani’) dan sahabat tidak melakukannya maka hal ini menunjukkan bahwa hal baru tesebut haram Syariat Sudah sempurna «اليومَ أَكْملتُ لكم دينَكم وأَتممتُ عليكم نِعْمتي ورضيتُ لكم الِإسلامَ دِيناً» Adanya Bidah mengisyaratkan bahwa Islam Belum Sempurna dan Ini bertentangan
Pertanyaan Yang Menggangu Apakah mudhoyyiqun konsisten dalam menerapkan konsep dan manhaj bidah? Apakah bidah antara haq dan bathil? Apakah Pelaku bidah tidak usah didengar perkataanya? Apakah setiap Bidah sesat dan setiap yang sesat di neraka?
Perbedaan Pendapat Ulama Amalan yang Diadakan Fatwa Bid’ah Fatwa Boleh ‘Asya’ul Walidain Ibnu Utsaimin Ibnu Baz, Ibnu Jabrain, Al-Fauzan Berdzikir dengan tasbih Al-Fauzan, Albani Ibnu Baz, Ibnu Jabrain, Ibnu Utsaimin Membaca doa khataman Al-Qur’an dalam shalat Albani, Bakr Abu Zaid, Ibnu Ibnu Utsaimin Ibnu Baz, Ibnu Jabrain, Al-Fauzan, Ibnu Utsaimin
Perbedaan Pendapat Ulama Amalan yang Diadakan Fatwa Bid’ah Fatwa Boleh Shalat qiyam pada 10 malam terakhir bulan Ramadhan Tidak diketahui Ibnu Utsaimin, Ibnu Jabrain Membaca Al-Qur’an untuk membuka acara Bakr Abu Zaid, Afifi, dan Ibnu Utsaimin Al-Fauzan, Albani Garis-garis untuk meluruskan shaf Albani Ibnu Baz, Al-Fauzan, Afifi, Lajnah Daimah
Perbandingan Antara Tiga Amalan Baru Dalam Agama pertama: perayaan maulid Nabi kedua: sholat qiyam lail di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ketiga: Asyaul-walidain Kesimpulan: ketiga amalan tersebut mirip dari berbagai sisi. seharusnya hukumnyapun mirip. Seluruh argumen yang dipakai untuk menolak maulid nabi seharusnya dipakai pula untuk menolak sholat qiyam Ramadhan dan ‘asyaul-walidain.
Lanjutan …. Barang siapa mengharamkan perayaan maulid Nabi karena berbagai sebab, maka seharusnya mengharamkan sholat qiyam di sepuluh terkhir bulan Ramadhan. Juga harus mengharamkan ‘asyaul-walidain karena sebab yang sama. Usaha untuk membedakan ketiganya dalam hukum sama sekali tidak berdasarkan dalil yang diakui. Usaha membedakannya hanya berdasarkan pada salah satunya terbiasa dilakukan dan yang lainnya tidak terbiasa dilakukan. Ada pepatah mengatakan: “barang siapa tidak mengenal sesuatu maka ia akan memusuhinya”
Toleransi Syeikh Utsaimin Dalam Bid’ah Dalam sebuah fatwa, Syeikh Muhammad bin Utsaimin pernah menentukan sikap bahwa dirinya tidak akan mudah membid’ah sebuah amalan yang berbeda dengan sunnah, ketika amalan itu boleh masuk dalam kategori ijtihad para ulama. Beliau pernah ditanya tentang bersedikap tangan ketika berdiri setelah ruku’, yang telah dibid’ahkan oleh Syeikh Albani.
Toleransi Syeikh Utsaimin Dalam Bid’ah.....Lanjutan Beliau menjawab, “Aku tidak akan mudah membid’ahkan sebuah amalan yang berbeda dengan sunnah, ketika amalan itu boleh masuk dalam kategori ijtihad para ulama. Orang-orang yang meletakkan tangannya di dada ketika, mendasarkan amalan ini dengan dalil sunnah. Ketika amalan ini dibid’ahkan, tentu akan sangat berat bagi mereka. Oleh karena itu, tidak tepat kalau orang menyebut kata “bid’ah” dalam kasus seperti ini. Karena hal itu akan menyebabkan orang mudah membid’ahkan orang lain dalam masalah-masalah yang sebenarnya masih merupakan perbedaan pendapat para ulama. masalah seperti itu, belum bisa dipastikan mana pendapat yang benar dan mana pendapat yang salah. Kalau sepert itu, maka akan terjadi perpecahan yang sangat parah.”
Realita permasalahan Bidah kesepakatan teori dalam definisi bidah tidak secara otomatis sepakat dalam menilai bidahnya hal-hal baru dalam agama. Adalah suatu hal yang sangat sulit untuk sepakat dalam menetapkan hukum bidah terhadap suatu hal yang baru dalam agama, bahkan dikalangan ulama yang memandang sempit makna bidahpun termasuk hal sulit. Padahal mereka memandang segala hal yang baru dalam agama adalah bidah. Sebagian orang yang tergesa-gesa menghukumi sesuatu dengan bidah terkadang tidak melandasinya dengan dalil syar’i dan kaidah syariat yang baku. Kaidah syar’i yang ada terkadang dilanggar. Menilai sesuatu bidah lebih disebabkan karena realitas lingkungan yang mereka hadapi. Sesuatu inovasi baru dalam agama yang menjadi tradisi mereka diberi fatwa boleh dan tidak ada keraguan bahwa hal tersebut tidak bidah. Sebaliknya inovasi baru dalam agama yang tidak sesuai dengan tradisi mereka diberi fatwa bid’ah dan haram yang tidak diragukan
Pesan buku ini Menjelaskan secara detail makna bidah dari berbagai sisi yang sangat komplek Perbedaan pendapat dalam hukum berbagai hal-hal yang baru dalam agama, secara khusus hal-hal praktis, antara disyariatkan dan bidah, terkadang masuk dalam lingkup perbedaan pendapat yang dibolehkan, berkisar antara ash-showab (tepat) dan al-khoto yang (tidak tepat). Tidak semua masalah berada dalam lingkup al-haq dal al-bathil.
Pesan buku ini Dari sisi teori, sepakat dalam definisi bidah dan hukumnya mungkin mudah. Namun sangatlah sulit sepakat dalam menerapkan hukum bidah kepada beberapa hal baru dalam agama. Sejak jaman salaf sholeh para ulama berbeda pendapat dalam menentukan definisi bidah dan hukumnya. Perbedaan tersebut sangat tajam. Mengarahkan para pemuda kebangkitan Islam yang peduli terhadap agamanya dan menjaga mereka dari melakukan sesuatu yang berakibat patal yang disebabkan pemahaman mereka yang sempit tentang bidah.
Pesan buku ini.........lanjutan. Bagi pihak yang menghukumi dan menilai hal-hal baru, apakah bidah atau tidak, hendaknya menahan diri dan berhati-hati dalam menuduh seorang muslim dengan tuduhan melakukan bidah dalam agama. Karena para ulama berselisih pendapat dalam banyak masalah. Perselisihan mereka sangat jelas dalam masalah-masalah tersebut, antara menilainya sunah, mustahab, boleh dan bidah. Kalaulah para ulama, benteng syariah, berbeda pendapat dalam penilaian sesuatu yang baru , bukankah lebih baik kalau seandainya kaum muslimin saling memaklumi dalam perbedaan pendapat mereka terhadap berbagai masalah yang dinilai bidah?
Hendaknya Menerapkan Konsep Syaikh Uthaimin Dalam Masalah Bid’ah Ijtihadiyah
Toleransi Dalam Masalah Ijtihadiyah Pasti Bidah Pasti Sunah Tidak Pasti
Pertanyaan Jika ada amalan masih diperdebatkan, apakah sebaiknya diamalkan? Atau lebh sunah Mash diperdebatkan, apakah harus konsisten atau memilih fatwa yang berbeda Berpartai? Apa syarat ulema yang boleh berijtihad? Bidah hasanah selain shalat tarawih apa lagi? Hadis shahih belum diamalkan, dhaif?
pertanyaan . Kesepakatan? Lbh baik! Usul dan furu? Yang baru dihapus oleh yang baru fatwa berdasarkan hadis dhaif? bidah , toleransi, Ibadah perlu dalil?
Pertanyaan dizaman Rasulullah melakukan bidah dan dianggap sesat? Ibadah pakai ilmu, beribadah sebaik mungkin, ilmu seperti apa yang bisa mengoptimalkan ibadah?
Pengantar Penerjemah
القطعي والظني في القرآن والحديث Qoth’I dan Dhonny dalam Al-Quran dan Hadist
Makna qoth’I dan Dhonny Pasti 100% Hanya memunyai satu kemungkinan Bukan lahan ijtihad Tidak Boleh berbeda pendapat Tegas. Mengingkarinya kafir Belum Pasti ( kurang dari 100%) memunyai lebih dari satu kemungkinan lahan ijtihad Mungkin berbeda pendapat Toleransi
Pembagian qoth’I dan Dhonny Periwayatan الورود Makna الدلالة Mencari kepastian apakah benar dari Rasulullah saw. Qoth’I wuruud قطعي الورود Dhonny wuruud ظني الورود Meneliti makna yang dimaksud dari sebuah lafadh Qoth’I Dilalah قطعي الدلالة Dhonny Dilalah ظني الدلالة
Dari sisi Periwayatan الورود Dhonny Wuruud ظني الورود Qoth’I Wuruud قطعي الورود Hadis Aahad Masih Ada Ijtihad tentang Shahih atau tidak shahihnya Kalaupun Shahih tetap masih dhonny wurud Kepastian dari Rasulullah saw kurang dari 100% Mungkin ada beda pendapat Toleransi Al-Quran Hadis Mutawatir Tidak ada Ijtihad Shahih atau tidaknya Ada kepastian 100% dari Rasulullah Tidak ada beda pendapat
Dari sisi Makna الدلالة Dhonny Dilalah ظني الدلالة Qoth’I Dilalah قطعي الدلالة Mempunyai lebih dari satu makna Lahan Ijtihad Mungkin Beda Pendapat Toleransi Tidak boleh mengklain saya benar dan yang lain salah Istilah yang dipakai al-khoto wa ash-showab Hanya Mempunyai satu makna Bukan Lahan Ijtihad Tidak boleh beda pendapat Tidak ada toleransi
pertanyaan keterangan, membaca yasin dan fatihah untuk yang meninggal. Dan sebelum/setelah doa Hadis mana yang menyebutkan , 40, 100, 3 hari Tahlilan dengan berhutang? Berdoa berjamaah. Tidak bidah?