Kyai haji Ibrahim By:Aulia Alifiani 6D
Profil k.h. Ibrahim K.H. Ibrahim lahir di Kauman Yogyakarta pada tanggal 7 Mei 1874. Ia adalah putra K.H. Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim Kesultanan Yogyakarta pada zaman Sultan Hamengkubuwono ke VII OGRE(Soedja‘. 1933: 227), dan ia merupakan adik kandung Nyai Ahmad Dahlan. Ibrahim menikah dengan Siti Moechidah binti Abdulrahman alias Djojotaruno (Soeja‘, 1933:228) pada tahun 1904. Pernikahannya dengan Siti Moechidah ini tidak berlangsung lama, karena istrinya segera dipanggil menghadap Allah. Selang beberapa waktu kemudian Ibrahim menikah dengan ibu Moesinah, putri ragil dari K.H. Abdulrahman (adik kandung dari ibu Moechidah).
K.H. Ibrahim Sebelum Kyai Haji Ahmad Dahlan wafat, ia berpesan kepada para sahabatnya agar tongkat kepemimpinan Muhamadiyah sepeninggalnya diserahkan kepada Kiai Haji Ibrahim, adik ipar KHA. Dahlan. Mula-mula K.H. Ibrahim yang terkenal sebagai ulama besar menyatakan tidak sanggup memikul beban yang demikian berat itu. Namun, atas desakan sahabat-sahabatnya agar amanat pendiri Muhammadiyah bisa dipenuhi, akhirnya dia bisa menerimanya. Kepemimpinannya dalam Muhammadiyah dikukuhkan pada bulan Maret 1923 dalam Rapat Tahunan Anggota Muhammadiyah sebagai Voorzitter Hoofdbestuur Moehammadijah Hindia Timur (Soedja‘, 1933: 232)
K.H. Ibrahim Ibu Moesinah (Nyai Ibrahim yang ke-2) dikaruniai usia yang cukup panjang yaitu sampai 108 tahun, dan baru meninggal pada 9 September 1998. Menurut penilaian para sahabat dan saudaranya, Ibu Moesinah Ibrahim merupakan potret wanita zuhud, penyabar, gemar sholat malam dan gemar silaturahmi. Karena kepribadiannya itulah maka Hj. Moesinah sering dikatakan sebagai ibu teladan (Suara ‘Aisyiyah. No.1/1999: 20). Masa kecil Ibrahim dilalui dalam asuhan orang tuanya dengan diajarkan mengkaji Al-Qur’an sejak usia 5 tahun. Ia juga dibimbing memperdalam ilmu agama oleh saudaranya sendiri (kakak tertua), yaitu KH. M. Nur. Ia menunaikan ibadah haji pada usia 17 tahun, dan dilanjutkan pula menuntut ilmu di Mekkah selama lebih kurang 7-8 tahun. Pada tahun 1902 ia pulang ke tanah air karena ayahnya sudah lanjut usia.
K.H. Ibrahim K.H. Ibrahim yang selalu mengenakan jubah panjang dan sorban dikenal sebagai ulama besar dan berilmu tinggi. Setibanya di tanah air, K.H. Ibrahim mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat. Banyak orang berduyun-duyun untuk mengaji ke hadapan K.H. Ibrahim. Beliau termasuk seorang ulama besar yang cerdas, luas wawasannya, sangat dalam ilmunya dan disegani. Ia hafal (hafidh) Al-Quran dan ahli qira’ah (seni baca Al-Quran), serta mahir berbahasa Arab. Sebagai seorang Jawa, ia sangat dikagumi oleh banyak orang karena keahlian dan kefasihannya dalam penghafalan Al-Qur’an dan bahasa Arab. Pernah orang begitu kagum dan takjub, ketika dalam pidato pembukaan (khutbah al-’arsy atau sekarang disebut khutbah iftitah) Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi Sumatera Barat pada tahun 1939, ia menyampaikan dalam bahasa Arab yang fasih.
K.H. Ibrahim K.H. Ibrahim juga memimpin kaum ibu supaya rajin beramal dan beribadah, senantiasa mengingat Allah, rajin mengerjakan perintah agama Islam dan diberi nama Adz-Dzakiraat (Soedja‘, 1933: 136). Perkumpulan Adz-Dzakiraat ini banyak memberikan jasa kepada Muham-madiyah dan ‘Aisyiyah, misalnya banyak membantu pencarian dana untuk Kas Muhammadiyah, ‘Aisyiyah, PKU, Bagian Tabligh, dan Bagian Taman Poestaka. Pengajian yang diasuh K.H. Ibrahim itu memakai metode sorogan dan weton. Pengajian dilaksanakan setiap hari, kecuali hari Jum‘at dan Selasa. Dalam menerapkan dua macam metode tersebut, dipakai waktu yang berbeda, yaitu : 1. Pada pagi hari mulai pukul 07.00 sampai 09.00 dengan cara sorogan, yaitu mengaji dengan diajar seorang demi seorang/satu persatu, terutama untuk anak-anak muda yang ada di Kauman pada saat itu. 2. Pada waktu sore hari sesudah Ashar sampai kurang lebih pukul 17.00 dengan cara weton, yaitu mengajar mengaji dengan cara Kyai membaca sedang santri-santrinya mendengarkan dengan memegang kitabnya masing-masing.
K.H. Ibrahim Semenjak kepemimpinan K.H. Ibrahim, kemajuan Muhammadiyah begitu pesat. Muhammadiyah berkembang di seluruh Indonesia, dan meresap di seluruh Jawa dan Madura. Kongres-kongres mulai diselenggarakan di luar kota Yogyakarta, seperti Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, Kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan, Kongres Muhammadiyah ke-17 di Solo, Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi, Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar, dan Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang. Dengan berpindah-pindahnya tempat kongres tersebut, maka Muhammadiyah dapat meluas ke seluruh wilayah Indonesia. Menurut catatan K.H. AR. Fachruddin (1991), pada masa kepemimpinan K.H. Ibrahim, kegiatan-kegiatan yang dapat dikatakan menonjol, penting dan patut dicatat adalah: tahun 1924, K.H. Ibrahim mendirikan Fonds Dachlan yang bertujuan membiayai sekolah untuk anak-anak miskin. Pada tahun 1925, ia juga mengadakan khitanan massal. Disamping itu, ia juga mengadakan perbaikan badan perkawinan untuk menjodohkan putra-putri keluarga Muhammadiyah. Dakwah Muhammadiyah juga secara gencar disebarluaskan ke luar Jawa (AR Fachruddin, 1991).
THANK YOU.... SUMBER:www.muhammadiyah.or.id/content-157-det-kyai-haji-...