CIRI-CIRI PERSONAL PELANGGAR HUKUM
Tujuan tulisan ini”…melihat karakteristik individu yang berfungsi sebagai disposisi atau yang menyiapkan individu untuk melakukannya.” Karakteristik tersebut meliputi trait sosial, trait temperamental, kompetensi, nilai, belief, dan tujuan-tujuan hidup
Telah banyak penelitian dilakukan, namun sedikit sekali yang direplikasi demikian pula berbagai keterbatasan metodologi dan konseptual Pertama, kebanyakan studi adalah method-driven, penggunaan instrumen pengukuran lebih didasarkan atas ketersediaan Pemilihan subyek dan pendefinisian ttg siapa itu “kriminil”. Konsentrasi pada ‘incarcerated offenders’ Kuatnya asumsi bahwa offenders itu kelompok homogen.
Fungsi intelektual Telah menjadi perhatian kriminologi psikologi sejak Goddard (1914). Survey awal: kriminil itu feebleminded,kecerdasan rendah berkontribusi langsung pada perilaku antisosial. Umumnya overrepresented minority di kalangan napi. Batas IQ 70 adalah arbitrer dan sulit menjelaskan seberapa besar kontribusi intelektual pada kejahatan. Namun umumnya IQ rendah berkorelasi negatif dengan delinkuensi (p.170) Ada dugaan awal, delinkuen yang ‘bodoh’ tidak mampu melakukan penyamaran dan mudah ketahuan. Tidak jelas, domain intelektual mana yang sesungguhnya menyumbang pada kejahatan: verbal ability, school performance, atau interaksi antara tingkat kecerdasan dan kecenderungan psikopatik atau kecerdasan tinggi.
Ketidakmampuan belajar dan capaian dalam pendidikan Adalah diskrepansi antara apa yang diharapkan dari anak didik berkaitan dengan kemampuan yang ada, dan capaian faktual dalam pendidikan. Penyebabnya mulai dari problem kognitif dan persepsi, dyslexia, aphasia dan ketidakmampuan memperhatikan Pandangan umum: capaian rendah dalam pendidikan berkorelasi dengan perilaku antisosial di usia sekolah awal maupun delinkuensi setelahnya (p. 189). Control theory: kegagalan pendidikan karena justru mengembangkan sikap negatif terhadap sekolah. Kemungkinan, juga ada pengaruh dengan kelas sosial, keluarga atau karakteristik temperamental
Self-control dan impulsivity Impulse control, self control, delay of gratification, tolerance for frustration – kemampuan menunda/menghentikan suatu respons. Kriminil diasumsikan berkemampuan rendah mengontrol impulse (p. 191). Juga orang dengan kepribadian psikopatik, penganut gaya hidup antisosial, kanak-kanak agresif Persoalan: mengendalikan “apa”, dalam “konteks” apa? Impulse control sebagai ‘vaguely defined term, highly dependent on theoretical presuppositions’ (p. 191) Saat mengukur disposisi impulsivitas pada kriminil, konsep ini juga multifaset
Penundaan kenikmatan (delay of gratification) Paradigma lain dari study tentang pengendalian diri: self-imposed delay of reward Kemampuan menunda dikaitkan dengan kemampuan mempertahankan perhatian, intelektual tinggi dan perkembangan kognisi, umumnya ciri kelas menengah dan ciri kelompok pengejar capaian Penggemar immediate reward umumnya delinkuen dan psikopat, demikian pula residivis
Time gratification Mengasumsikan konsekuensi di masa depan. Individu impulsif memiliki perspektif masa depan yang terbatas Dua masalah (p. 196): Pertama, heterogenits kelompok kriminil. Kedua, impulsivity bukan terdiri dari suatu domain perilaku
Konsep diri (p. 197) A deviant self concept may also mediate antisocial behavior Individu cenderung mencari konsistensi antara belief mereka dan informasi yang diterima. Juga berlaku bagi para penyimpang. Self-esteem rendah pada remaja berasosiasi dengan ketidakmampuan untuk konformis 3 pendekatan terkait dengan konsep diri dan perilaku menyimpang: developing inner containment, outcome of labelling and esteem enhancement
Nilai dan beliefs Moral values dan moral knowledge (p. 200) Cochrane (1971): perbedaan dalam prioritas nilai dari napi dewasa Agama dan kenakalan: lebih mungkin terjadi dengan bantuan tipe keluarga dan kelompok bermain Nilai berkaitan dengan kebutuhan atau tujuan
Netralisasi dan proses atribusi Mengapa nilai-nilai konvensional mencegah perilaku menyimpang karena dinetralisasi oleh temporary excuse atau rasionalisasi. 5 teknik netralisasi Sykes dan Matza Hubungan teknik netralisasi dan teori atribusi dan locus of contro
Role-taking, empati dan guilt Role taking sebagai konsep kritikal dalam teori perkembangan kognisi. Keterlambatan perkembangan role taking mengakibatkan masalah interpersonal Empati sebagai kemampuan mempergunakan perspektif orang lain. Ketidaksepakatan perihal hubungannya dengan role taking dan sympathy (p. 205) Guilt: “empathic distress aroused by the causal attribution of responsibility for another’s plight to the self”
Social skills Dengan asumsi delinkuen adalah orang yang memiliki kekurangan terhadap perilaku yang adaptif dan diterima secara sosial, social skills training diperlukan Masalah: apa itu social skill/s ? Dapatkah didefinisikan diluar konteks dari niat perilaku si individu dan arti yang dikandung dari suatu perilaku?