PLURALISME DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA (Suatu catatan pengantar) Oleh : TOPO SANTOSO
1. Pluralisme Hukum 2. Pluralisme Hukum Pidana 3. Hukum Pidana Adat dan Pluralisme Hukum Pidana (Contoh PidanaAdat Bali) 4. Hukum Pidana Islam dan Pluralisme Hukum Pidana (Pidana Islam di NAD) 5. Penutup
Pluralisme Hukum Adanya lebih dari satu sistem hukum yang secara bersama-sama berada dalam lapangan sosial yang sama “Legal pluralism is generally defined as a situation in which two or more legal systems coexist in the same social field” (Sally Engle Merry) “… The presence in a social field of more than one legal order.” (Grifiths) Dalam area pluralisme hukum terdapat hukum negara di satu sisi dan di sisi lain adalah hukum rakyat (hukum adat, hukum agama, kebiasaan-kebiasaan atau konvensi sosial lain yang dipandang hukum)
Melalui pandangan pluralisme hukum : dapat menjelaskan bagaimanakah hukum yang beraneka ragam secara bersama-sama mengatur suatu perkara. dalam kenyataan terdapat sistem-sistem hukum lain di luar hukum negara (state law). dapat diamati bagaimanakah semua sistem hukum tersebut “beroperasi” bersama-sama dalam kehidupan sehari-hari. dapat diamati dalam konteks apa orang memilih (kombinasi) aturan hukum tertentu, dan dalam konteks apa ia memilih aturan dan sistem peradilan yang lain.
Pluralisme hukum lemah dan kuat Pluralisme hukum lemah : bentuk lain sentralisme hukum, meski pluralisme hukum diakui tetapi hukum negara tetap dipandang sebagai superior, sementara hukum yang lain disatukan dalam hirarki di bawah hukum negara. Pluralisme hukum kuat : fakta adanya kemajemukan tatanan hukum yang terdapat di semua kelompok masyarakat. Semua sistem hukum yang ada dipandang sama kedudukan dalam masyarakat, tiak terdapat hiharki lebih tinggi dan rendah.
Perkembangan konsep Legal Pluralism Tidak menonjolkan dikotomi antar sistem hukum negara di satu sisi dan sistem hukum rakyat di sisi lain Pluralisme hukum lebih menekankan pada : “a variety of interacting, competing normative orders – each mutually influencing the emergence and operation of each other’s rules, process and institutions” (Kleinshans dan MacDonald). Pemikiran pluralisme hukum terakhir menunjukkan adanya perkembangan baru, yaitu memberi perhatian kepada terjadinya saling ketergantungan atau saling pengaruh (interdependensi, interfaces) antara berbagai sistem hukum, terutama antara hukum internasional, nasional, dan lokal.
Pluralisme dalam Hukum Pidana Bagi kebanyakan sarjana hukum, kenyataan adanya sistem hukum lain disamping hukum negara masih sulit diterima. Hal ini terutama dalam bidang hukum pidana; dan tidaklah terlalu mengejutkan dalam bidang hukum perdata (mis. Perikatan, perkawinan, kewarisan) Keberadaan asas Legalitas sebagaimana dikandung dalam Pasal 1 (1) KUHP misalnya merupakan “benteng yang sangat kuat” untuk menafikan keberadaan hukum pidana lain selain hukum pidana negara. Meski demikian, dalam sejarah perkembangan hukum pidana Indonesia, ada lebih dari satu sistem hukum pidana yang digunakan yaitu hukum pidana barat (Belanda) sesuai WvS dan Hukum Pidana Adat.
Hukum Pidana Adat dan Pluralisme Hukum Pidana (Contoh Pidana Adat Bali) Hukum pidana adat : tindakan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat, sehingga menyebabkan terganggunya ketentraman serta keseimbangan masyarakat. Untuk memulihkan kentraman dan keseimbangan, maka terjadi reaksi adat. Jembatan yuridis untuk mengaktualisasi hukum pidana adat dalam kerangka hukum pidana nasional adalah dalam pasal 5 (3) sub b UU No. 1 Drt 1951. Di Bali terdapat beberapa sumber hukum pidana adat yang tertulis. Berdasarkan tempat terjadinya tindak pidana adat dibagi menjadi dua : tindak pidana adat yang dilakukan di tempat sudi (pura) dan tindak pidana adat di luar tempat suci. Proses penyelesaian tindak pidana adat di Bali ada yang diselesaikan melalui saluran formal yaitu melalui pengadilan (khususnya PN) dan saluran informal (diselesaikan melalui lembaga adat).
Di Bali, tindak pidana adat yang terjadi sebagian besar diselesaikan di luar pengadilan. Dasar hukum yang digunakan dalam penyelesaian di PN adalah KUHP atau Kitab Adi Agama jo Pasal 5 (3) UU No. 1 Drt 1951. Sanksi adat yang dikenal : upacara pembersihan, denda, minta naaf, dibuang, tidak diajak bicara, diusir, dsb.
Hukum pidana adat dalam RUU KUHP (draft 2004) Pasal 1 (1) Tiada seorangpun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Penjelasan Pasal 1 (3) RUU KUHP (draft 2004) Adalah suatu kenyataan bahwa dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan hukum pidana yaitu yang biasanya disebut dengan tindak pidana adat. Untuk memberikan dasar hukum yang mantap mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka hal tersebut mendapat pengaturan secara tegas dalam KUHP ini. Ketentuan dalam ayat ini merupakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana diatur dalam perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu.
Hukum Pidana Islam dan Pluralisme Hukum Pidana (Pidana Islam di NAD) Otonomi Khusus Aceh UU No. 44 Tahun 1999 ttg Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Di Aceh UU No. 18 Tahun 2001 ttg Otonomi Khusus bagi Provinsi NAD UU No. 11 Tahun 2006 ttg Pemerintahan Aceh Qanun Pergub
Hukuman Cambuk Qanun No. 12/2003 ttg Khamr/ minuman keras Qanun No. 13/2003 ttg Maisir / perjudian Qanun No. 14/2003 ttg Khalwat Pergub No. 10 tahun 2005 ttg Petunjuk Pelaksanaan Teknis Hukuman Cambuk Hukuman cambuk antara lain telah diterapkan di Bireun, Kuala Simpang, Banda Aceh, dan Langsa.
Implikasi dari penerapan syariat Islam sebagaimana diatur dalam UU adalah dapat mengenyampingkan peraturan sejenis yang mengatur hal yang sama. Sesuai UU No. 32/2004 dan UU No. 10/2004 Di daerah lain Perda hanya dapat memuat tindak pidana dengan jenis Pelanggaran dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp 50 juta. Tidak dikenal jenis sanksi pidana yang lain.
Syariat Islam di Aceh syariat Islam yg diterapkan termasuk Jinayah (hukum pidana) Pasal 125 UU No. 11/2006 Peradilan Syariat Islam diAceh adalah bagian dari sistem peradilan nasional dalam lingkungan peradilan agama Salah satu kompetensi mahkamah Syariah adalah jinayah (hukum pidana) Pasal 128 UU No. 11/2006 Ketentuan lebih lanjut mengenai Syariat Islam dan bidang yang menjadi kompetensi Mahkamah Syariah serta hukum acaranya diatur dalam Qanun Sebelum hukum acara sesuai Qanun ada maka hukum acara pidana berlaku hukum acara pada peradilan umum
Masalah Pilihan Hukum Pidana? Pasal 129 UU 11/2006 (1) Dalam hal terjadi perbuatan jinayah yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama yang diantaranya beragama bukan Islam, pelaku yang beragama bukan Islam dapat memilih dan menundukkan diri secara sukarela pada hukum jinayah. (2) Setiap orang yang beragama bukan Islam melakukan jinayah yang tidak diatur dalam KUHP atau ketentuan pidana di luar KUHP berlaku hukum jinayah. (3)Penduduk Aceh yang melakukan perbuatan jinayah di luar Aceh berlaku KUHP
Hukum Pidana dalam Qanun Pasal 241 UU No.11/2006 (2) Qanun dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp 50 juta. (3) Qanun dapat memuat ancaman pidana atau denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya. (4) Qanun mengenai jinayah (hukum pidana) dikecualikan dari ketentuan ayat (1), (2), dan ayat (3).
Penutup Baik dalam pengakuan hukum pidana adat melalui UU No. Drt 1 Tahun 1951 dan RUU KUHP maupun pengakuan jinayah melalui UU No. 11/2006 sesuai dengan pernyataan Von Savigny “hukum itu tidak dibuat , melainkan berada dan berkembang denagn bangsa” serta Eugen Ehrlich The positive law can be effective only when it corresponds to the living law : that is, when legal codes are based on underlying social norms, or real live. In other words, law is to be understood as part of the social order.”