Analis Jurisprudensi Positivisme dan Konsep Hukum

Slides:



Advertisements
Presentasi serupa
PANDANGAN TENTANG HUKUM (dari masa ke masa)
Advertisements

PROBLEMATIK & TEORI KEADILAN
Topik : Struktur Sosial dan Hukum
PENYUSUN REFERENSI COVER e MATERI SK KD TP INDIKATOR.
PANCASILA 10 PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA PENGANTAR
Rasionalisme dalam Kebijakan Publik
PANCASILA SEBAGAI DASAR CIVIL RELIGION
TEORI ASAL MULA DAN TERJADINYA NEGARA
FILSAFAT PENDIDIKAN ALIRAN REALISME
PERKEMBANGAN EPISTEMOLOGI
PANCASILA 8 FILSAFAT, PANCASILA, DAN FILSAFAT PANCASILA
Penelitian Kualitatif
MK Filsafat dan Etika Kesejahteraan Sosial Arif Wibowo
SEJARAH & PENDEKATAN ILMU POLITIK LENI ANGGRAENI, S.PD., M.PD.
MASHAB HUKUM YANG BERPENGARUH TERHADAP SOSIOLOGI HUKUM
PERKEMBANGAN FILSAFAT HUKUM SEJAK JAMAN PURBAKALA HINGGA SAAT INI
MANUSIA, HUKUM DAN MORAL
ALIRAN HUKUM SEJARAH.
PROBLEMATIK & TEORI KEADILAN
Heru Susetyo, SH. LL.M. M.Si. Metode Penelitian Hukum April 2012
Pandangan Agama Terhadap Politik
(2)KARAKTERISTIK IPS SD
PENGANTAR HAK ASASI MANUSIA
HUKUM PERBANKAN INDONESIA
Aliran-Aliran Filsafat Hukum
Dr. Drs. Widodo Suryandono SH, MH.
Dr. Utary Maharany B.,SH.,M.Hum
Tertib Sosial Keadaan yang aman, damai, tenteram atau stabil/ harmonis. MENGAPA DIPERLUKAN KEADAAN YANG TERTIB? Agar upaya kebutuhan hidup itu dapat.
Pemahaman tentang bangsa, negara, hak dan kewajiban warga negara
F I L S A F A T Oleh: DEDY WIJAYA KUSUMA, ST., M.Pd.
Teori dalam Komunikasi Organisasi dan Implikasinya
PEMIKIRAN TOKOH – TOKOH DALAM ILMU SOSIAL
Pertemuan ke – 4 HUKUM ADAT DALAM HUKUM TANAH NASIONAL
PENGERTIAN PHI Pengertian PHI atau Pengantar Hukum Indonesia terdiri dari tiga kata “Penghantar”, “Hukum”, dan “Indonesia”. Pengantar berarti menantarkan.
ALIRAN-ALIRAN & TOKOH-TOKOH FILSAFAT ILMU
Etika Dan Regulasi Maria Christina.
Dr. Utary Maharany B, SH.,M.Hum
Sistem Pers.
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Pancasila Sebagai Ideologi nasional (2)
Aliran-aliran pemikiran dalam ilmu hukum
MANUSIA, HUKUM DAN MORAL
Hubungan Antara Hukum dengan Struktur Sosial, serta Dinamika Sosial
SEJARAH FILSAFAT HUKUM
PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT Dalam wacana ilmu pengetahuan, banyak orang yang memandang bahwa filsafat adalah merupakan bidang ilmu yang rumit, kompleks.
UNIVERSITAS PAKUAN PROGRAM PASCA SARJANA JURUSAN ADMINISTRASI PENDIDIKAN 2015 Hakikat Ilmu Filsafat Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah : FILSAFAT.
SISTEM HUKUM Isnaini.
Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi Politik
Kekuasaan Negara.
Definisi Etika Pemerintahan
MASHAB HUKUM YANG BERPENGARUH TERHADAP SOSIOLOGI HUKUM
Pancasila sebagai sistem filsafat, perbandingan filsafat pancasila dengan sistem filsafat lainnya didunia.
KONSEP ETIKA DAN ETIKET
Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi Politik
ILMU POLITIK NAMA ANGGOTA : RISKI RIANDA ALBERTUS ARYO ANDIKA TITO NUR
Dr. Drs. Widodo Suryandono SH, MH.
PENGENALAN FILSAFAT A. Arti Filsafat a. Dari segi etimologi FALSAFAH
ALIRAN-ALIRAN HUKUM WINDY SRI WAHYUNI, SH., MH.
PANCASILA 10 PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA PENGANTAR
Aliran Pemikiran Tentang Sosíologi Hukum
CHAPTER 1 PENGENALAN TEORI AKUNTANSI KELOMPOK 1 1.SUKMA OKTAVIANINGSARI NIKEN SUSANTI
Konsep dan pendekatan sosiologi
POSITIVISME HUKUM Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang bertitik tolak bahwa ilmu alam (fakta yang positif) sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.
Pengenalan Mata Kuliah
Bahan Dasar ETIKA ADMINISTRASI NEGARA SMT. 6
ETIKA & NORMA Baham 02 a.
Pertemuan 1 Tinjauan Umum.
Teori dalam Komunikasi Organisasi dan Implikasinya
“PANCASILA SEBAGAI IDENTITAS NASIONAL”
PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA
Transcript presentasi:

Analis Jurisprudensi Positivisme dan Konsep Hukum TUGAS TEORI ILMU HUKUM ERWIN HIDAYAH HASIBUAN MARTONO ANGGUSTI KELOMPOK 1 SUHAIMI SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN - 2010

Thomas Aquinas (1225-1275) Hukum sebagai Wahyu dan Akal Budi Alam Pikiran Kuno Anaximander Herakleitos Parmenides Protagoras Filsafat Klasik Sokrates Plato Aristoteles Stoa Cicero Seneca Thomas Aquinas (1225-1275) Hukum sebagai Wahyu dan Akal Budi

Nominalisme (nomen=nama) (ide dari pengetahuan William dari Occam (1290/1300 -1350) Nominalisme (nomen=nama) (ide dari pengetahuan tidak pasti kebenarannya) Marsilius dari Padova (1270 -1340) Tentang negara sebagai masyarakat yang lengkap

Satu untuk semua, semua untuk satu Desiderius Erasmus (1469-1536) Pendapatnya tentang hidup bermasyarakat dan tentang gereja Thomas More (1478 -1535) Satu untuk semua, semua untuk satu

Seorang Raja mempunyai Marciavelli (1469-1536) Sang Raja Jean Bodin (1530 -1596) Seorang Raja mempunyai Kedaulatan; Absolutisme negara

Hugo Grotius (1583-1645) Hukum bangsa-bangsa Ius gentium Thomas Hobbes (1588 -1679) Mendahulukan Pengetahuan Empiris

Samuel Pufendorf Christian Thomasius (1632-1694) (1655 -1728) Moral merupakan bentuk dari fisik Christian Thomasius (1655 -1728) Hukum yang sungguh-sungguh adalah tata hukum; Thomasius membedakan 3 macam norma: Norma moral; norma adat istiadat; norma hukum

Perintis empirisme modern Christian Wolff (1679-1754) Sikap keadilan John Locke (1632 -1704) Perintis empirisme modern

Jean Jacques Rousseau Immanuel Kant (1712-1778) (1724 -1804) Kebebasan dan perasaan moral manusia diancam oleh situasi Masyarakat yang ditandai oleh kebudayaan Dan ilmu pengetahuan; Immanuel Kant (1724 -1804) Kritiknya yang mendalam atas pengetahuan dalam segala bentuknya

Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770 - 11831) Idealisme Jerman Perwujudan dari Roh Marx (1478 -1535) Penentang liberalisme maupun kapitalisme Milik masyarakat, dibuat oleh masyarakat dan bagi masyarakat

Tidak terdapat manusia individu Keluarga ; bangsa; negara Engels (1820 - 1895) Capitalism F. Von Savigny (1779 -1861) Tidak terdapat manusia individu Keluarga ; bangsa; negara

Perintis ilmu sosiologi modern Puchta (1798-1846) Negara mengesahkan hukum sebagai UU Auguste Comte (1798 -1857) Perintis ilmu sosiologi modern

Herbert Spencer (1820 - 1903) Rudolf von Jhring (1818 -1892) Hidup bermasyarakat yang kompleks Itu terwujud dalam masyarakat industri modern Rudolf von Jhring (1818 -1892) Teknik hukum (menguasai hukum positif secara rasional)

Adolf Merkl (1836 - 1896) John Austin (1790 -1859) Filsafat hukum harus menjadi bagian Dari ilmu hukum sendiri,dengan tugas Untuk menyelidiki dasar dan ide-ide Dasar hukum positif John Austin (1790 -1859) Ajaran hukum analis; Hukum dari Tuhan untuk manusia

Utilitarianism, legal positivism, liberalism Jeremy Bentham (1760 - 1826) Utilitarianism, legal positivism, liberalism “Greatest Happiness principle” John Stuart Mill and Helen Taylor. Herbert Lionel Adolphus Hart (1907–1992) was an influential legal philosopher of the 20th century. He was Professor of Jurisprudence at Oxford University. He authored The Concept of Law and made major contributions to political philosophy.

20th/21st-century philosophy Metaphysics Of David Hume (1711 - 76) Ronald Dworkin (born 1931) 20th/21st-century philosophy Law As Integrity

To be continued by: MARTONO ANGGUSTI Hans Kelsen

Abad Pertengahan 500 – 1400 (hukum + Agama) Peristiwa Roma Barat (476) Peristiwa Codex Iustinianus (543) Agama Islam (622) Eropa Kristiani (900) Peristiwa Akhir kekaisaran Byzantium (1453) Aliran; Skolastik Tokoh; Thomas Aquinas Nominalisme William dari Occam Marsilius dari Padova Zaman Modern 1500 – 1850 (hukum +pribadi; negara; ratio; sejarah; il. Pengetahuan) Zaman Renaissance 1500 – 1600 (hukum + Pribadi) Peristiwa Humanisme (1500) Peristiwa Reformasi (1517) Peristiwa Negara Nasional Zaman Renaissance (hukum + Negara) Peristiwa Hukum Internasional (1600) Erasmus, More Luther,Calvin Macchiavelli Jean Bodin Hugo Grotius Thomas Hobbes

Zaman Aufklaerung 1650 – 1750 (hukum + Ratio) Peristiwa Revolusi Perancis (1789) Aliran; Rasionalisme Empirisme Tokoh; Decartes Locke Pufendorf, Thomasius, Wolff Rousseau Kant Zaman Abad XIX 1800 – 1850 (hukum + sejarah; Il. Pengetahuan) Peristiwa Revolusi Industri (1800) Idealisme Materialisme Historis Mazhab Hukum Historis Positivisme Sosiologis Positivisme Yuridis Ajaran Hukum Umum Hegel Marx, Engels Von Savigny, Puchta Comte, Spencer Von Jhering Merkl, Austin dll

Summary from page 152 to page 175

Tugas Kelompok 1 Utilitarianisme secara utuh dirumuskan oleh Jeremy Bentham dan dikembangkan secara lebih luas oleh James Mill dan John Stuart Mill Hart membedakan antara moral dan hukum, karena sebagai seorang positivis ia tidak percaya bahwa hukum berasal dari moral, Hukum adalah : Perintah;Sanksi; Kewajiban:Kedaulatan ia memisahkan secara tegas antara hukum dengan moral dan agama Tugas Kelompok 1 Liberal kualitas kehidupan tergantung pada sifat komunitas dimana mereka berintegrasi Utilitarianisme adalah sebuah teori yang diusulkan oleh David Hume untuk menjawab moralitas

POSITIVISME, STUDI HUKUM ANALITIS RESUME POSITIVISME, STUDI HUKUM ANALITIS DAN KONSEP HUKUM KEDAULATAN (SOVEREIGNTY) DAN ASAL MULANYA Bahwa konsep kedaulatan satu negara merupakan sebuah doktrin modern yang mulai berkembang pada abad pertengahan. Pada awalnya terjadi dua pemahaman, disatu sisi pemahaman yang muncul adalah sebuah konsep kedaulatan total dan independen dengan mengaitkannya dengan unsur ekonomi dan melepaskan diri dari paham kuasa penuh feodal intervensi Paus. Sehingga pembuatan undang-undang hanya sebagai satu bentuk pendeklarasian eksistensi kebiasaan (custom) baru dimana satu Negara harus menempatkan beberapa kekuatan tertinggi yang mempunyai kapasitas yang tidak terbatas untuk membuat hukum baru dengan mengadopsi teori sebelumnya yaitu rex est imperator in regno suo. Sedangkan pemahaman yang lain masih mengaitkannya dengan unsur keuskupan dan feodal. Paham yang baru ini bersifat sekuler dan masuk dalam kategori hukum positif.

BENTHAM DAN PAHAM UTILITARIANISME Bentham yang dikenal sebagai pencipta negara persemakmuran modern (kolektifitas) atau federal menegaskan bahwa hukum adalah sebuah standard yang didasarkan pada kepentingan dan kepuasan manusia, dia menyediakan apa yang mungkin belum dipikirkan banyak orang. Sebagai penganut paham utilitarian, Bentham mengatakan bahwa tujuan hukum adalah memberikan kebahagian sebesar-besarnya bagi masyarakat. Bentham membedakan studi ilmu hukum (jurisprudence) menjadi dua kategori yaitu censorial jurisprudensi (studi hukum sensorial) atau ilmu pengetahuan pembentukan undang-undang, dan expository jurisprudence (studi hukum ekspositori), yang terakhir ini berhubungan dengan hukum apa adanya, tanpa mempertimbangkan karakter moral dan immoralnya. Ilmu Hukum Sensorial merupakan studi kritis tentang hukum (dikenal juga sebagai deontology) untuk meningkatkan efektifitas hukum dalam pengoperasiannya Ilmu Hukum Ekspositor ini tidak lebih dari studi hukum sebagaimana adanya. Objek studi ini adalah menemukan dasar-dasar dari asas-asas hukum melalui penganalisaan sistem hukum sebagaimana ia ada.

HUKUM BENTHAM SECARA UMUM Untuk studi hukum analitis, Bentham memiliki kontribusi utama dan sangat berpengaruh. Pemikiran Bentham juga merupakan isolasi dari teori hukum sensorial (censorial jurisprudence). Bentham adalah pembuat hukum sepanjang masa, dia yakin (Austin juga penganutnya) bahwa tidak ada pembentukan hukum yang berdiri sendiri yang dapat disampaikan tanpa satu pembentukan bentuk dan strukturnya. Jadi, kerangka konsep ilmiah berlaku dalam pembentukan hukum itu sendiri. Disini Bentham menekankan arti penting censorial jurisprudence atau science of legislation (ilmu pengetahuan pembentukan undang-undang). Teori kekuasaan menurut Bentham sama dengan teori Austin yang menyatakan bahwa kekuasaaan itu adalah sebuah entitas yang tidak terbatas, tidak dapat terbagi. Akan tetapi Bentham lebih menekankan kepada keinginan sosial dan kebutuhan logis. Lebih jauh lagi dia membahas batas legal yang dapat dibebankan pada kekuatan kekuasaan. Bentham berfikir bahwa sebuah kekuasaan dapat mengikat penggantinya.

Teori kedaulatan Austin disampaikan sebagai sebuah entitas yang tidak terbatas, tidak terlihat : tidak demikian halnya dengan teori Bentham. Mungkin ada bunyi alasan-alasan praktis untuk mendapatkan satu kedaulatan dengan kekuatan penuh (dengan alat-alat negara/paksaan), tetapi Bentham melihat perbedaan antara kepentingan sosial dan kebutuhan logika. Bentham disini menekankan arti penting kedaulatan untuk mensejahterakan masyarakat banyak, dengan mengedepankan cara berpikir yang realistis. Tetapi Austin tidak melihat perbedaan ini. Menurut Bentham, tidak ada kebutuhan untuk mempertahankan pendapat bahwa kedaulatan adalah sesuatu yang tidak terbatas.

AUSTIN Austin dikenal sebagai seorang penganut paham positivisme. Dia menyatakan bahwa hukum bertentangan dan atau tidak bisa dihubung-hubungkan dengan konsep moral sebagaimana yang menjadi pemikiran mazhab hukum alam. Sedangkan pandangan Bentham terhadap hukum positif adalah bahwa kita secara logika bebas untuk memaksakan pemisahan hukum dari moral, selagi menolak teori perintah. Pandangan Bentham positivisme kelihatannya membutuhkan penjelasan empiris yang sederhana menghindari metafisik atau ilmu kebatinan. KECAMAN Banyak kecaman yang diarahkan pada Austin berhubungan dengan ketidak alamiahan cara berpikir deduksinya, dimana Austin membuat kesalahan fundamental dengan cara menyetujui konsep kedaulatan yang tidak terbatas dan tidak dapat dibagi , yang sangat ditentang oleh Bentham.

HUKUM SEBAGAI Satu PERINTAH Austin memiliki pemahaman bahwa hukum adalah perintah yang memaksa orang atau badan untuk patuh, dan Austin menganggap bahwa perintah adalah sebuah bentuk latihan keinginan orang-orang tertentu. Tetapi justifikasi untuk penyebutan hukum sebagai satu perintah benar-benar cukup berbeda yang menunjukkan bahwa klasifikasi dalil logika yang benar sebagai “perintah” adalah pernyataan normatif yang meletakkan peraturan sebagai pedoman tingkah laku manusia yang dibedakan dari pernyataan fakta. Teori Austin menyampaikan bahwa ada satu perintah dimana beberapa organ kedaulatan (negara) diperintahkan. Namun harus diakui bahwa seluruh dalil negara atau kedaulatan tidak mampu untuk memerintah sendiri (tanpa organ-organnya) adalah satu hal yang tidak realistis kacamata hukum publik modern.

kedaulatan Kecaman yang paling tajam lebih diarahkan melawan teori Austin daripada pandangan yang kaku tentang kedaulatan alami. Jadi dalilnya bahwa kedaulatan tidak dapat dibagi atau tidak terbatas. Kesalahannya adalah bahwa kedaulatan mempunyai satu kealamian yang melekat yang tidak dapat dihindari. Kedaulatan yang tidak terbatas hanya dapat ditujukan pada satu badan yang menjadi superior dalam struktur negara. Austin gagal membedakan antara kedaulatan de jure (wewenang untuk membuat hukum ) dan kedaulatan de fakto (kekuatan untuk memaksakan kepatuhan). Usaha Austin untuk mendasarkan kedaulatan pada kepatuhan alamiah telah dikritisasi, sebagai penolakan yang sah atas kedaulatan de facto atau kekuasaan politik. Austin dikenal seperti Kelsen bahwa hukum tidak dapat dengan sendirinya didasarkan pada hukum tetapi harus didasarkan pada sesuatu diluar hukum. Oleh karena itu dia mendasarkannya pada fakta, kepatuhan alamiah masyarakat. Austin dalam hal ini tidak pernah membayangkan bahwa badan pemilih (lembaga pemilihan umum, penulis) sendiri adalah kedaulatan de facto negara.

HUKUM DAN MORAL Aspek positivisme Austin yang terpenting adalah pada pemisahan hukum dan moral yang kaku. Pendekatan lain adalah klaim bahwa hukum adalah sejenis perintah yang memiliki struktur moral internal yang harus menyesuaikan diri pada perintah untuk menjadi hukum. Banyak pemikiran jenis ini dihidupkan oleh versi yang kuat pada pengenalan beberapa hasil dari sistem hukum sebagai “hukum”. Hal ini untuk mendirikan jenis hukum moral objektif sebagai bagian yang natural dan melibatkan penolakan pembedaan teori Hume diantara keberadaan proposisi objektif (“is“) dan penafsiran (“ought to”) dan menyatakan bahwa kebenaran nilai keputusan pada moral dapat ditetapkan sebagai kebenaran fakta fisik.  

SANKSI Teori Austin tentang sanksi sebagai satu tanda hukum sering ditolak sebagai penyembunyian atau penyimpangan karakter yang sebenarnya dan fungsi hukum dalam masyarakat. Sanksi tidak dapat menjelaskan mengapa hukum dirubah dan menempatkan satu penekanan yang tak pantas pada ketakutan pada ketakutan. Inti sebuah sistem yang sah adalah fakta yang melekat berdasarkan pada berbagai faktor psikologi bahwa hukum diterima oleh masyarakat sebagai keseluruhan sebagai ikatan, dan dasar sanksi bukanlah satu inti atau barangkali satu elemen penting dalam fungsi sistem. Karena satu aturan dianggap sebagai kewajiban karena ukuran paksaan yang dilekatkan padanya; bukan kewajiban karena ada paksaan. Terdapat dua kesalahan pada konsepsi teori sanksi Austin. Pertama, pertanyaan yang sarat psikologi yang menjelaskan mengapa orang mematuhi hukum. Ini adalah masalah psikologi sosial bukan hukum. Kedua, walaupun individu tertentu dapat mematuhi hukum tanpa memikirkan sanksi, pada prakteknya pasti hukum berhenti untuk mengaplikasikan sanksi (masyarakat patuh pada hukum karena sanksi), bukan karena akibat adanya kepatuhan alamiah.

KONSEP HUKUM TEORI HART DAN AUSTIN Kecaman yang paling dicari pada posisi Austin di tahun-tahun belakangan ini berasal dari Profesor Hart, yang menghubungkan kecamannya pada konsep hukum asli dilihat dari sudut pandang positivis. Hart menolak satu model hukum yang hanya berbasis pada perintah paksa, yang hanya berasal dari pola hukum kriminal dan tidak dapat diterapkan pada sebagian besar sistem hukum moderen yang melahirkan kekuasaan hukum pribadi dan publik, misalnya, dalam kasus hukum yang berkenaan dengan keinginan, kontrak, mandat kuasa pengadilan atau kekuatan badan pembuat undang-undang.

Hart mendukung keberadaan dua tipe peraturan Hart mendukung keberadaan dua tipe peraturan. Ini dia gambarkan dengan sebutan primary dan secondary rules. Primary rules lebih menekankan kepada kewajiban manusia untuk bertindak atau tidak bertindak. Hal ini akan ditemukan dalam seluruh bentuk dari hukum (forms of law). Primery rules akan eksis bila dipenuhi syarat-syarat yaitu: (1) adanya suatu keteraturan perilaku di dalam kelompok sosial; dan (2) aturan itu harus dirasakan sebagai suatu kewajiban oleh sebagian anggota kelompok sosial. Hart melihat aturan diatas sebagai satu kesatuan seperti dua muka dalam satu mata uang, dimana setiap aturan memiliki aspek internal dan aspek eksternal. Bagi Hart kedua-duanya penting. Kewajiban sebagai sesuatu jelmaan dari hal yang bersifat internal dan perilaku yang sesuai merupakan jelmaan dari aspek eksternal. Sedangkan; Secondary rules, atau yang sering juga disebut dengan rules about rules (aturan tentang aturan). Secondary rules ini meliputi rules of recognition (aturan yang menetapkan aturan yang dapat dianggap sah), rules of change (bagaimana dan oleh siapa dapat diubah), dan rules of adjudication (bagaimana dan oleh siapa dapat ditegakkan/dipaksakan).

ASPEK INTERNAL HUKUM Pada tahap ini referensi perlu dibuat pada penghapusan pembahasan teori professor Hart dengan apa yang disebut “aspek internal” atau “sudut pandang dalam” bahwa manusia dibawa menuju aturan satu sistem hukum. Hukum Hart menunjukkan tidak hanya tergantung pada tekanan sosial eksternal yang dibawa untuk memikul umat manusia pada pencegahan penyimpangan dari peraturan, tetapi juga pada sudut pandang internal bahwa manusia dibawa menuju satu aturan yang dikandung sebagai penetapan sebuah kewajiban. Dalam hal satu masyarakat yang tidak memiliki lebih dari sekumpulan peraturan pokok perlu untuk warga negara pada umumnya untuk mematuhi aturan pokok tetapi juga dengan sadar melihat peraturan tersebut sebagai standart umum tingkah laku.

HART TENTANG KEDAULATAN Hart juga mempunyai beberapa kecaman yang tepat terhadap pandangan kedaulatan Austin. Jadi dia menunjukkan bahwa “kepatuhan alamiah/kebiasaan“ atau kepatuhan yang terbentuk karena kebiasaan tidak dapat menjelaskan keberlanjutan hukum untuk menyatakan fakta bahwa kepatuhan tidak hanya ada pada saat pengaturan awal tetapi kepatuhan itu sudah terbentuk dan berlangsung pada pendahulunya (nenek moyang) yang merupakan mewariskan aturan tersebut. Ini tidak dapat dijelaskan hanya dengan istilah “kebiasaan” tetapi berkaitan dengan penerimaan (masyarakat) terhadap sebuah aturan, sebagaimana yang telah kita lihat pada teori analisa Hart bahwa sebuah peraturan (rules) adalah peraturan, sebagaimana telah kita lihat pada teori analisa Hart yang menyebut peraturan sebagai undang-undang.  

BEBERAPA KOMENTAR PADA PENDEKATAN TEORI HART Uraian teori Hart pada pengembangan sistem hukum dalam hal perjanjian utama dan aturan tambahan yang benar-benar bernilai, sebagaimana Hart sendiri, sebagai alat untuk analisa banyak teka-teki hukum dan teori politik. Professor Hart sendiri mengakui sistem ini bukan kebutuhan komprehensif, dia menunjukkan ini karena dia menyarankan bahwa ada elemen lain dalam satu sistem hukum, dan khususnya “textur terbuka” (sifat terbuka) dari peraturan hukum yang dibedakan dengan moralitas dan keadilan.

Lebih mendasar dari ini adalah pertanyaan apakah mungkin untuk mengurangi semua aturan sistem hukum - pada peraturan yang menyatakan tugas peraturan yang bersifat menaklukkan kekuasaan. Ini kelihatan sebagai sesuatu yang sangat disederhanakan. Contohnya dapat dikatakan bahwa banyak yang disebut peraturan yang diakui yang tidak banyak menaklukkan kekuasaan tetapi kriteria khusus yang diterapkan dalam hal-hal tertentu sebagaimana aturan prosedur (acara) dan pembuktian. Juga sangat diragukan apakah semua peraturan tambahan (secondary rules) dapat benar-benar diberlakukan sebagai satu kesatuan, kelihatannya ada sedikit perbedaan antara satu peraturan dengan peraturan lain mengenai validitas formal. Satu aturan menginginkan adanya batasan konstitusional dari sebuah undang-undang. Professor Hart sendiri kelihatannya mengakui ini ketika dia menyampaikan bahwa “taksonomi rinci yang penuh berbagai hukum masih tetap dilaksanakan.”

Prof. Dworkin telah menolak usaha untuk membawa prinsip-prinsip atau kebijakan tersebut dibawah kategori yang sama sebagai aturan hukum yang mengikat pengadilan yang menciptakan kesulitan logis untuk hukum model positivis. Untuk prinsip dan kebijakan yang dengan jelas sesuai kebijaksanaan luar negeri untuk sebuah keputusan dan tidak dapat mengikat satu keputusan, dalam hal peraturan sama (bahwa dia harus mengikuti aturan jika diterapkan).

Prof. Dworkin menyatakan beberapa test pengesahan seperti teori kedaulatan Austin atau teori pengakuan aturan Hart yang menyimpan status hukum prinsip dan kebijakan. Untuk keasliannya sebagai sisa prinsip legal bukan diatas keputusan tertentu atau pengundangan, tetapi dalam hal kecocokan perkembangan pada profesi dan publik lebih dari masa waktu tertentu. Poin argumen tersebut kurang tidak hanya dari analisa hukum secara murni dalam istilah aturan tetapi satu usaha untuk memperluas analisa tersebut dalam istilah peraturan yang dipasangkan dengan prinsip bebas menentukan dan kebijakan. Dworkin berhenti menawarkan satu solusi segar dan kandungan dirinya dengan sebutan satu pertimbangan kembali, beberapa asumsi dasar tesis positifis.

Dalam pembelaan Hart bahwa dapat dikatakan kecaman teori Dworkin berdasarkan pada model positivisme yang membayar kekurangan dengan mempertimbangkan kecanggihan pemikiran teori Hart. Model adalah konstruksi yang berbahaya untuk penyampaian penyederhanaan yang perlu sebanyak kemauan penemu. Akan lebih mudah untuk mengurangi pemikiran teori Dworkin pada model sederhana yang akan melihat gambarnya pada proses yudisial sebagai satu prosedur dua tingkat , dimana peranan aturan dominan masih belum eksklusif dan aplikasi prinsip-prinsip ditambah pada meniadakan masalah yang sulit. Jelasnya proses yudisial bekerja dengan cara ini maupun dengan cara dalil Dworkin yang dipikirkan posistifis. Dworkin belum menghancurkan penjelasan konsep teori Hart. Apa yang telah dia lakukan menghidupkan kembali minat kita dalam melihat konsep hukum dari sudut proses yudisial.

Observasi lain yang dapat dibuat pada pendekatan umum teori Hart adalah sesuatu yang berhubungan dengan banyak usaha untuk mengungkapkan sistem hukum dan hubungannya dengan istilah analisis, tetapi satu kecaman pada Hart khususnya kepekaan sebagaimana dia mengklaim analisanya menjadi “sebuah essay dalam sosiologi deskriptif”. Usaha untuk mengurangi sistem hukum tidak lebih dari sebuah timbunan peraturan yang dihubungkan pada masyarakat yang mengoperasikannya dengan fakta bahwa primary rules diapatuhi atas dasar kebiasaan dan secondary rules diakui sebagai aturan oleh pegawai telihat untuk mengabaikan pondasi sosiologi sistem hukum tertentu tanpa konsep hukum sendiri mampu sepenuhnya dicapai. Jadi telah ditunjukkan dengan beberapa paksaan bahwa satu ciri sistem hukum yang nampak tertinggal dari analisa teori Hart adalah konsep sebuah institusi. Seorang pemimpin Amerika Liewellyn telah menekankan bahwa satu ciri yang paling penting dari sebuah sistem hukum adalah “cara bekerjanya hukum”. Tidak sekedar menyampaikan aturan tetapi kerangka institusional dalam mengoperasikan aturan sangat penting dikedepankan. Jadi satu sistem hukum mengandung tidak hanya aturan (substansi) tetapi juga satu institusi (kelembagaan) diperlukan seperti profesi hukum, lembaga peradilan, hirarki yudisial, berbagai jenis badan pembuat hukum, administrasi resmi yang dibagi antara kementerian dan seterusnya dan struktur aturan hukum yang terdiri dari sistem tidak dapat dicapai dengan aman berhubungan dengan kerangka institusional.