Hak Ibu
Muwashafat yang ingin dicapai Menyambung silaturrahim (p) Berhati lembut (s) Komitmen dengan adab Islam di rumah (p) Tidak inda (p) Komitmen dengan adab meminta izin (p)
I. TUJUAN UMUM Menguatkan ikatan dengan sunnah Rasulullah Saw, berdasarkan pada landasan fahm (pemahaman), cinta, mengerti akan pikiran-pikiran pokoknya, dan ikatan dengan petunjuk-petunjuknya, beramal dengan hukumnya diiringi dengan pemahaman yang baik, merumuskan sasaran-sasaran yang tepat sebagai petunjuk untuk segala zaman dan tempat, dan kembali kepadanya dalam segala hal lebih-lebih ketika terjadi pertentangan.
II. TUJUAN KHUSUS Menerangkan urgensi seorang muslim memperhatikan halal haram Menerangkan diperbolehkannya berhubungan dengan orang musyrik yang menjadi ayahnya, ibunya, atau saudaranya selama tidak memerangi Islam Menyimpulkan nilai-nilai tarbiyah dari hadits ini Menyebutkan orang-orang yang lebih berhak mendapatkan kebaikan Menerangkan kenapa Nabi Muhammad saw mengkhususkan kebaikan itu kepada ibu sampai tiga kali baru disusul dengan ayah Menyimpulkan nilai-nilai tarbawi yang ada dalam hadits
III. SASARAN AFEKTIF & PSIKOMOTORIK berinteraksi dengan bagus terhadap hadits-hadits Rasulullah Saw tekun menghafal matan (isi) hadits komitmen dengan arti dan arahan hadits tersebut komitmen dengan hak-hak tetangga saling memberi hadiah Mencintai non muslim yang tidak memusuhi Islam Berhati-hati dalam halal haram terutama yang agak samar dalam kehidupan kita Mengusulkan kepada ustadz atau qiyadah (pemimpin) tentang apa yang kita rasa cocok bagi dakwah. Ihsan dan bermuamalah dengan kedua orang tua khususnya ibu.
IV. KEGIATAN PEMBELAJARAN Pilihan kegiatan yang bisa diselenggarakan dalam halaqah adalah: 1. Kegiatan Pembuka Mengkomunikasikan tema dan tujuan kajian Hak Ibu 2. Kegiatan Inti: Kajian tentang tema Hak Ibu Berdiskusi dan tanya jawab tema tersebut ( lihat tujuan Kognitif, afektif dan psikomotor) Penekanan dari Murabbi tentang nilai dan hikmah yang terkandung dalam kajian tersebut 3. Kegiatan Penutup: Tugas mandiri (lihat kegiatan pendukung) Evaluasi (dibuat soal sesuai tujuan khusus, afektif, dan psikomotor)
V. PILIHAN KEGIATAN PENDUKUNG. Memberikan hadiah secara periodik untuk ibu agar membahagiakan hatinya Membantu memenuhi kebutuhannya Banyak mengunjunginya jika berada di rumah yang berbeda Memuliakan ayah dan menghormatinya Menyuruh anak-anaknya mentaati kakek dan neneknya, memberikan peringatan/hukuman jika mendurhakainya. Mengundang seorang ulama (faqih: ahli fiqh) untuk memberikan ceramah tentang dhawabith (rambu-rambu) hubungan sosial antara muslim dan non muslim yang tidak memerangi Islam Menyediakan film atau power point yang menjelaskan sikap Asma’ ra terhadap ibunya Menulis makalah yang menjelaskan keharusan berkomunikasi dengan non muslim selama mereka tidak memerangi kita, berbuat baik kepada mereka sehingga mereka mengakui hakikat Islam dari hubungan itu
VI. TUJUAN TARBIYAH DZATIYAH menerangkan luasnya rahmat Allah Swt menjelaskan maksud dari rahmat itu memberi bukti mengapa Nabi Saw memilih kuda, yang melaluinya dapat menjelaskan betapa luasnya rahmat Allah Swt menyimpulkan hakikat-hakikat dan nilai-nilai tarbawi yang dituju oleh hadits itu Menerangkan pentingnya seorang muslim memperhatikan halal dan haram dalam urusannya Menjelaskan hubungan seorang muslim dengan kerabatnya yang bukan muslim Menyimpulkan hakikat-hakikat dan nilai-nilai tarbawi yang dituju oleh dua hadits mulia tersebut Menerangkan faedah dari hadits tersebut Berbuat baik kepada tetangga sesuai dengan kemampuan seperti memberi hadiah, salam, berwajah cerah ketika berjumpa. Menjelaskan bahwa hak tetangga diukur dengan kedekatan pintu rumah
VI. SARANA EVALUASI DAN MUTABA’AH. dialog dan diskusi pencatatan untuk menegaskan ketelitian membaca nash hadits, memahami dan mempraktekkannya berbaur melalui kunjungan-kunjungan, rihlah dan aktifitas yang berbeda-beda menyiapkan formulir untuk menegaskan tercapainya sasaran wirid muhasabah pada bidang yang dituju oleh hadits
VIII. Referensi Buku-buku hadits yang terpercaya (mu`tamad) ( Shahih Bukhari – Shahih Muslim-Riyadhus Shalihin) Buku-buku syarah hadits ( Fathul Bari – an Nawawi dalam syarah Muslim – Dalilul Falihin fi Syarhi Riyadis Shalihin ) Taujihat Nabawiyah karya Dr. Sayyid Nuh. Riyadhus Shalihin Karya Imam Nawawi Targhib dan Tarhib Karya Mundziri
Al-Muhtawa: HAK IBU
HAK IBU
Hubungan dengan orang tua yang musyrik عن أَسْمَاءَ بنتَ أَبِي بَكْرٍ، تَقُولُ:أَتَتْنِي أُمِّي وَهِيَ رَاغِبَةٌ فِي عَهْدِ قُرَيْشٍ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَصِلُهَا؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ ابْنُ عُيَيْنَه : فَأَنْزَلَ اللهُ فِيْهَا : لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ . Dari Asma’ bintu Abu Bakar ra berkata: Ibuku datang kepadaku yang belum suka Islam pada masa Rasulullah saw. Lalu aku bertanya kepada Nabi Muhammad saw apakah aku boleh berhubungan dengannya? Jawabnya: Ya boleh. Ibnu Uyainah berkata: maka turunlah ayat Allah dalam hal ini: ” Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (Al Mumtahanah: 8) (Al Bukhari, Muslim dan Abu Daud)
Penjelasan: Dari Asma’ bint Abu Bakr Ash Shiddiq ra, dialah yang dijuluki ذَاتُ النِّطَاقَيْنِ pemilik dua ikat pinggang. Mendapatkan gelar ini karena perannya dalam hijrah Rasulullah saw yang merobek ikat pinggangnya untuk menjadi pengikat bekal Rasulullah saw dan Abu Bakar dalam perjalanan hijrah itu. Inilah peran besar yang dilakukan Asma’; membantu perjalanan hijrah pada situasi yang sangat sulit itu. Dalam kamus مُخْتَارُ الصَّحَاحِ ـ : kata النِّطَاقُ bermakna شِقَةً : sobekan dari pakaian wanita. Asma berkata: ”Ibuku” bernama Quatailah bint Abdul Uzza bin Asad. Menurut Az Zubair bin Bakkar, namanya adalah Qiylah ( dengan ya’ bertitik dua di bawah setelah qaf). Ibu Asma yang disebutkan itu adalah juga ibunya Abdullah bin Abu Bakar –saudara sekandung Asma’. Abu Bakar telah menceraikannya di masa jahiliyah. Kedatangannya menemui anaknya –Asma’- dengan membawa hadiah (zabib, keju, kulit yang telah disamak) lalu Asma’ tidak mau menerima hadiah ini, atau tidak mau memasukkannya ke dalam rumahnya, dan mengutus orang ke rumah Aisyah: Tanyakan kepada Rasulullah saw ? lalu Rasulullah menyuruhnya untuk menerima dan memasukkan hadiah itu ke dalam rumah Asma’. Peristiwa ini terjadi pada masa damai antara Rasulullah dan Kafir Quraisy, setelah peristiwa Hudaibiyah sampai peristiwa fathu Makkah. " وَهِيَ رَاغِبَةٌ " Dia senang dengan kebaikanku dan hubunganku dengannya –padahal ia masih musyrik- atau maknanya: ia tidak suka Islam. Menurut riwayat Abu Daud berbunyi: وَهِيَ رَاغِمَةٌ dengan mim yang berarti: Tidak suka Islam. Lalu aku bertanya kepada Rasulullah saw : " آصِلُهَا "hamzah dibaca panjang, berbentuk kalimat Tanya: Bolehkah aku berhubungan. Dalam riwayat lain: " أَفَأَصِلُ أُمِّيْ " bolehkah aku bersilaturrahim dengan ibuku? Rasulullah saw menjawab: " نَعَمْ " dalam riwayat lain: " نَعَمْ صِلِى أُمَّكَ " ya, bersilaturrahimlah dengan ibumu. Rasulullah saw memperbolehkan Asma’ untuk berhubungan dengan ibunya dan tidak mensyaratkan untuk bermusyawarah dulu dengan suaminya; padahal saat itu Asma’ menjadi isteri Az Zubair bin Al Awwam.
Sufyan bin Uyainah mengatakan: Maka Allah turunkan ayat dalam kaitan ini: لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Al Mumtahanah:8) Inilah kemudahan dari Allah swt dalam berhubungan dengan orang-orang yang tidak memusuhi kaum mukminin dan tidak memeranginya. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan sekelompok kaum musyrikin yang sikapnya lunak dan akhlaqnya baik. Al Hafiz Ibnu Hajar berkata: Tidak ada yang bertentangan antara kedua penjelasan di atas. Karena sababunnuzul bisa khusus, dan kalimat Al Qur’annya umum; sehingga dapat mencakup semua orang yang memiliki kesamaan sikap dengan ibunya Asma’; yaitu semua orang musyrik laki-laki atau wanita yang tidak memerangi kaum muslimin.
Dari hadits ini dapat diambil pelajaran: Bahwa ibu yang masih kafir, tetap dijalin hubungan silaturahim sebagaimana dengan ibu yang sudah muslimah, baik dengan harta dan sejenisnya. Demikian juga ayah yang masih kafir dan orang-orang yang sejenisnya seperti saudara yang masih musyrik. Seorang muslim berhati-hati dalam masalah agamanya, sebagaimana kehati-hatian Asma’ dalam masalah agamanya. Ia tidak menjalin hubungan dengan ibunya yang masih musyrik kecuali setelah mendapatkan izin dari Rasulullah saw.
Hubungan dengan Saudara yang masih musyrik عن عَبْدِ اللَّهِ بْنُ دِينَارٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ رَأَى عُمَرُ حُلَّةً عَلَى رَجُلٍ تُبَاعُ فَقَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ابْتَعْ هَذِهِ الْحُلَّةَ تَلْبَسْهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَإِذَا جَاءَكَ الْوَفْدُ فَقَالَ إِنَّمَا يَلْبَسُ هَذَا مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ فِي الْآخِرَةِ فَأُتِيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا بِحُلَلٍ فَأَرْسَلَ إِلَى عُمَرَ مِنْهَا بِحُلَّةٍ فَقَالَ عُمَرُ كَيْفَ أَلْبَسُهَا وَقَدْ قُلْتَ فِيهَا مَا قُلْتَ قَالَ إِنِّي لَمْ أَكْسُكَهَا لِتَلْبَسَهَا تَبِيعُهَا أَوْ تَكْسُوهَا فَأَرْسَلَ بِهَا عُمَرُ إِلَى أَخٍ لَهُ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ قَبْلَ أَنْ يُسْلِمَ. Dari Abdullah bin Dinar ra berkata: Aku mendengar Ibnu Umar ra berkata: Umar melihat hullah saira’ (jaket bergaris-garis terbuat dari sutera) yang dijual. Lalu berkata: Ya Rasulullah, belilah jaket ini dan pakailah di hari jum’at, dan jika ada tamu”. Rasulullah saw menjawab: Sesungguhnya yang memakainya adalah orang yang tidak mendapatkan bagian di akhirat. Lalu dibawakanlah untuk Rasulullah saw beberapa jaket, termasuk jaket hullah saira’ tadi. Maka Rasulullah berikan kepada Umar. Umar bertanya: Bagaimana saya memakainya? Sedangkan Engkau telah mengatakan seperti yang pernah Engkau katakan? Jawab Rasulullah: Sesungguhnya aku memberikannya tidak untuk kamu kenakan, akan tetapi untuk kamu jual, atau kamu berikan kepada orang lain. Maka Umar kirimkan jaket itu kepada saudaranya yang ada di Makkah yang masih belum masuk Islam. (Al-Bukhari).
Penjelasan hadits " عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ دِيْنَارٍ " Abdullan bin Dinar, Al Madani adalah mantan budak Abdullah bin Umar. Umar bin Al Khaththab melihat kata hullah digabungkan dengan kata saira, ada yang meriwayatkannya dengan membaca tanwin kata hullah. Saira’ adalah sejenis mantel dingin bergaris-garis terbuat dari sutera. " مَنْ لاَ خَلاَقَ لَهُ " Orang yang tidak memiliki agama, atau tidak memiliki bagian di akhirat. Hal ini jika ia menganggapnya halal. Atau kalimat ini untuk memberatkan hukumnya. فَأتَىَ النَّبِيُّ Hamzah dibaca dhammah, tak bertitik dua di atas di baca kasrah. Lalu Rasulullah saw mengirimkan jaket itu kepada Umar. Umar bertanya: Bagaimana memakainya, sedangkan Rasulullah telah mengatakan bahwa pemakainya tidak memiliki bagian agama, atau bagian di akhirat. " قَالَ " عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ " إِنِّيْ لَمْ أُعْطِكُهَا لِتَلْبِسَهَا ، وَلَكِنْ لِتَبِيْعَهَا " فَتَنْتَفِعُ بِثَمَنِهَا " أَوْ تَكْسُوْهَا " أَيْ تُعْطِيْهَا غَيْرَكَ ، فَيَلْبِسُهَا ، إِذَا كَانَ يَحِلُّ لَهُ ذَلِكَ . وَالْحَرِيْرُ حَلاَلٌ لِلنِّسَاءِ ، Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya aku memberikannya tidak untuk kami pakai, akan tetapi agar kamu jual sehingga mendapatkan uangnya, atau kamu berikan kepada orang lain, yang boleh mengenakannya. Karena sutera itu halal bagi wanita. Kemudian Umar mengirimkannya kepada saudaranya –seibu yang bernama Utsman bin Hakim,- ibunya adalah Asma’ bin Wahb, agar ia jual atau dikenakan bagi isterinya, atau Utsman yang disebutkan itu masih berada di Mekkah dan belum masuk Islam. Hadits ini dapat diambil pelajaran tentang diperbolehkannya berhubungan dengan suadara yang masih musyrik.
Orang yang lebih berhak mendapatkan kebaikan عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ Dari Abu Hurairah ra berkata: Ada seseorang yang datang menghadap Rasulullah dan bertanya: Ya Rasulullah, siapakah orang yang lebih berhak dengan kebaikanku? Jawab Rasulullah: Ibumu. Ia bertanya lagi: Lalu siapa? Jawabnya: Ibumu. Ia bertanya lagi: Lalu siapa? Jawabnya: Ibumu. Ia bertanya lagi: Lalu siapa? Jawabnya: Ayahmu. (Al Bukhari, Muslim, dan Ibnu Majah).
Penjelasan: Ada seseorang yang datang, disebutkan namanya Muawiyah bin Haydah ra, bertanya: يَا رَسُوْلَ اللهِ ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِيْ : Ya Rasulullah, siapakah orang yang lebih berhak dengan kebaikanku? Kata الصَّحَابَةُ ، وَالصُّحْبَةُ adalah dua kata masdar yang memiliki satu makna yaitu: الْمُصَاحَبَةُ persahabatan. Jawab Rasulullah saw: أُمُّكَ ibumu. Dengan diulang tiga kali pertanyaan dan jawaban ini menunjukkan bahwa ibu lebih berhak atas anaknya dengan bagian yang lebih lengkap, seperti al bir /kebajikan, ihsan/pelayanan.
Ibnu Al Baththal mengatakan: أَنْ يَكُوْنَ لَهَا ثَلاَثَةَ أَمْثَالٍ مَا لِلأَبِ : مِنَ الْبِرِّ فَقَدْ ذَكَرَ الأَبَ فِي الْحَدِيْثِ مَرَّةً وَاحِدَةً ، وَكَأَنَّ ذَلِكَ لِصُعُوْبَةِ الْحَمْلِ ، ثُمَّ الْوَضْعُ ، ثُمَّ الرَّضَاعُ ، فَهَذِهِ الأُمُوْرُ الثَّلاَثَةُ تَنْفَرِدُ بِهَا الأُمُّ ، وَتَشْقَى بِهَا ، ثُمَّ تَشَارَكَ الأَبُ فِي التَّرْبِيَةِ . Bahwa ibu memiliki tiga kali hak lebih banyak daripada ayahnya. Karena kata ”ayah” dalam hadits disebutkan sekali sedangkan kata ”ibu” diulang sampai tiga kali. Hal ini bisa difahami dari kerepotan ketika hamil, melahirkan, menyusui. Tiga hal ini hanya bisa dikerjakan oleh ibu, dengan berbagai penderitaannya, kemudian ayah menyertainya dalam tarbiyah, pembinaan dan pengasuhan. Hal ini diisyaratkan pula dalam firman Allah: وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ “Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu”. (Luqman:14) Allah swt menyamakan keduanya dalam berwasiat, namun mengkhususkan ibu dengan tiga hal yang telah disebutkan diatas.
Imam Ahmad dan Al Bukhari meriwayatkan dalam Al Adabul Mufrad, demikian juga Ibnu Majah, Al Hakim, dan menshahihkannya dari Al Miqdam bin Ma’di Kariba, bahwa Rasulullah saw bersabda: إِنَّ اللَّهَ يُوصِيكُمْ بِأُمَّهَاتِكُمْ، إِنَّ اللَّهَ يُوصِيكُمْ بِأُمَّهَاتِكُمْ، إِنَّ اللَّهَ يُوصِيكُمْ بِآبَائِكُمْ، إِنَّ اللَّهَ يُوصِيكُمْ بِالأَقْرَبِ فَالأَقْرَبِ. Sesungguhnya Allah swt telah berwasiat kepada kalian tentang ibu kalian, kemudian berwasiat tentang ibu kalian, kemudian berwasiat tentang ibu kalian, kemudian berwasiat tentang ayah kalian, kemudian berwasiat tentang kerabat dari yang terdekat. Hal ini memberikan kesan untuk memprioritaskan kerabat yang didekatkan dari sisi kedua orang tua daripada yang didekatkan dengan satu sisi saja. Memprioritaskan kerabat yang ada hubungan mahram daripada yang tidak ada hubungan mahram, kemudian hubungan pernikahan. Ibnu Baththal menunjukkan bahwa urutan itu tidak memungkinkan memberikan kebaikan sekaligus kepada keseluruhan kerabat.
Dari hadits ini dapat diambil pelajaran tentang ibu yang lebih diprioritaskan dalam berbuat kebaikan dari pada ayah. Hal ini dikuatkan oleh hadits Imam Ahmad, An Nasa’iy, Al Hakim yang menshahihkannya, dari Aisyah ra berkata: سَأَلْتُ النَّبِيَّ ـ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ـ أَيُّ النَّاسِ أَعْظَمُ حَقاً عَلَى الْمَرْأَةِ ؟ قَالَ : زَوْجُهَا . قُلْتُ : فَعَلَى الرَّجُلِ ؟ قَالَ : أُمُّهُ " Aku bertanya kepada Nabi Muhammad saw. Siapakah manusia yang paling berhak atas seorang wanita? Jawabnya: Suaminya. Kalau atas laki-laki? Jawabnya: Ibunya. Demikian juga yang diriwayatkan Al Hakim dan Abu Daud dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa ada seorang wanita yang bertanya: يَا رَسُوْلَ اللهِ : إِنَّ ابْنِي هَذَا ، كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءٌ ، وَثَدِّي لَهُ سَقَاءٌ ، وَحَجَرِي لَهُ حَوَاءٌ ، وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي ، وَأَرَادَ أَنٍ يَنْزِعَهُ مِنَِي : فَقاَلَ : أَنْتَ أَحَقٌّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكَحِيْ " Ya Rasulullah, sesungguhnya anak laki-lakiku ini, perutku pernah menjadi tempatnya, air susuku pernah menjadi minumannya, pangkuanku pernah menjadi pelipurnya. Dan sesungguhnya ayahnya menceraikanku, dan hendak mencabutnya dariku. Rasulullah saw bersabda: Kamu lebih berhak daripada ayahnya, selama kamu belum menikah. Maksudnya menikah dengan lelaki lain, bukan ayahnya, maka wanita itu yang meneruskan pengasuhannya, karena ialah yang lebih spesifik dengan anaknya, lebih berhak baginya karena kekhususannya ketika hamil, melahirkan dan menyusui.