SEJARAH PERKEMBANGAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN By: Elget Oktaviani Andalas University
Sejak manusia dilahirkan di dunia ini, secara sadar maupun tidak, sesungguhnya ia telah belajar dan berkenalan dengan hubungan-hubungan sosial yaitu hubungan antara manusia dalam masyarakat. Hubungan sosial out dimulai dari hubungan antara anak dengan orang tua kemudian meluas hingga ketetangga. Dalam hubungan sosial tersebut terjadilah proses pengenalan dan proses pengenalan tersebut mencakup berbagai budaya, nilai, norma dan tanggung jawab manusia, sehingga dapat tercipta corak kehidupan masyarakat yang berbeda-beda dengan masalah yang berbeda pula.
Kenyataan sosial menunjukkan suatu perubahan yang terjadi begitu cepat dalam masyarakat. Perubahan sosial yang cepat tersebut terjadi di abad ke-19, sebagai akibat revolusi industri di Inggris. Akibat perubahan tersebut menurut Mc. Kee menyebabkan terjadinya apa yang dinamakan keterkejutan intelektual kelompok cerdik pandai yang salah satu diantaranya adalah para sosiolog.
Sosiologi lahir dalam abad ke-19 di Eropa karena pergeseran pandangan tentang masyarakat sebagai ilmu empiris Nama sosiologi untuk pertama kali digunakan oleh August Comte (1798-1857) pada tahun 1839 (Umar Tirtarahardja dan La Sulo, 1994: 96). Di Prancis, pelopor sosiologi pendidikan yang terkemuka adalah Durkheim (1858-1917), merupakan Guru Besar Sosiologi dan Pendidikan pada Universitas Sorbonne.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Perubahan sosial Cultural lag (terutama dalam bidang pendidikan) Lembaga pendidikan tidak mampu mengatasi permasalah ini sehingga para ahli sosiologi menyumbangkan pemikirannya untuk memecahkan persoalan maka lahirlah sosiologi pendidikan
Sejarah perkembangan sosiologi pendidikan Sumbangan Karl Marx Emile Durkheim Max Weber George Herbert Mead
KONFLIK DAN KESADARAN KELAS SUMBANGAN KARL MARX KONFLIK DAN KESADARAN KELAS
Menurut kebanyakan ahli selain alam pikirnya, Marx dalam berkarya dan menelurkan karya-karyanya berpijak pada tiga “sila dasar”: 1. Teori Materialisme Historis menjelaskan sejarah dengan memposisikan material manusia sebagai dasar sejarah dan memandang produksi mental, intelektual seseorang dan kehidupan budaya sebagai efeknya. 2. Teori Perjuangan Kelas Menurut hasil analisa dan pengamatan Antoni Gidden terhadap teori Perjuangan Kelas Marx bahwa di dunia ini di belahan manapun masyarakat terbagi menjadi dua golongan besar, yaitu Golongan Borjuis (pemilik modal) dan Golongan Proletar (kaum buruh, tani). 3. Teori Nilai Lebih Konsep ini menjelaskan keuntungan kaum kapitalis dan eksloitasi buruh. Marx mendefinisikan nilai lebih sebagai perbedaan antara nilai upah yang diterima buruh dan nilai dari apa yang mereka hasilkan. Artinya, perbedaan antara upah yang harus dibayar kaum kapitalis kepada buruh dan produk hasil kerja kaum buruh yang bisa dijual kaum kapitalis untuk kepentingan kaum kapitalis.
Secara garis besarnya, Marx menawarkan sebuah teori tentang masyarakat kapitalis berdasarkan citranya mengenai sifat dasar manusia. Marx yakin bahwa manusia pada dasarnya produktif, artinya untuk bertahan hidup manusia perlu bekerja di dalam dan dengan alam, dengan bekerja seperti itu maka menghasilkan makanan, pakaian, peralatan perumahan, dan kebutuhan lainnya yang memungkinkan mereka hidup.
Produktivitas mereka bersifat alamiah, yang memungkinkan mereka mewujudkan dorongan kreatif mendasar yang mereka miliki, dan dorongan ini diwujudkan bersama-sama dengan orang lain, dengan kata lain bahwa manusia pada hakikatnya adalah mahluk sosial, mereka perlu bekerja sama untuk menghasilkan segala sesuatu yang mereka perlukan untuk hidup.
Marx sendiri mengemukakan konsep dialektika materialistik yang mengacu kepada berbagai struktur sosial yang di dalamnya tercermin konflik sosial dan juga menggambarkan upaya-upaya pembebasan atas eksploitasi para majikan kepada kaum buruh dalam semua proses produksi. Marx, juga menyoroti perkembangan dan kebangkitan kapitalisme, di mana pandangan-pandangannya dianggap identik dengan gerakan pembebasan kaum buruh yang miskin dan tertindas oleh mereka yang memiliki berbagai sarana produksi, yaitu kaum borjuis. Konflik atau pertentangan kelas serta upaya-upaya pembebasan inilah yang menjadi titik sentral ajarannya Marx.
Kelas sosial inilah yang nantinya harus tidak ada karena, menurut Marx, pada suatu saat akan terwujud masyarakat komunisme; yaitu masyarakat sosialis karena runtuhnya kapitalisme, di mana di dalamnya tidak ada lagi kelas-kelas sosial dan tidak ada lagi hak kepemilikan pribadi. Inilah masyarakat yang menjadi obsesi Marx. Untuk mewujudkan hal ini, menurutnya, perlulah dilakukan analisis terhadap sistem ekonomi kapitalis.
INTERAKSIONISME SIMBOLIK EMILE DURKHEIM INTERAKSIONISME SIMBOLIK
David Émile Durkheim lahir di Épinal, Prancis, yang terletak di Lorraine (15 April 1858 – 15 November 1917) dikenal sebagai salah satu pencetus sosiologi modern. Ia mendirikan fakultas sosiologi pertama di sebuah universitas Eropa pada 1895, dan menerbitkan salah satu jurnal pertama yang diabdikan kepada ilmu sosial, L’Année Sociologique pada 1896
Durkheim merupakan seorang ilmuwan yang sangat produktif. Karya-karya utamanya antara lain: The Division of Labor in Society (1968), karya pertamanya yang berbentuk disertasi doktor; Rules of Sociological Method (1968); Suicide (1968); Moral Education (1973), dan The elementary Forms of the Religious life (1966).
Durkheim melihat bahwa setiap masyarakat/ manusia memerlukan solidaritas. Ia membedakan antara dua tipe utama solidaritas, yaitu solidaritas mekanis dan solodaritas organis. Solodaritas mekanis merupakan suatu tipe solidaritas yang didasarkan atas persamaan. Menurut Durkheim solidaritas mekanis dijumpai pada masyarakat yang masih sederhana, yang dinamakan “segmental” pada masyarakat ini tidak ada sistem pembagian kerja. Pada masyarakat ini apa yang dilakukan seseorang dapat pula dikerjakan oleh orang lain, sehingga tidak ada sikap saling ketergantungan dengan orang lain. Tipe solidaritas sosial yang didasarkan atas kepercayaan dan kesetiakawanan ini diikat oleh sesuatu yang oleh Durkheim dinamakan conscience collective (hati nurani kolektif), yaitu suatu sistem kepercayaan dan perasaan yang menyebar merata pada semua anggota masyarakat.
Pada buku Rules of Sociological Method, Durkheim menawarkan definisi mengenai sosiologi. Menurutnya, bidang yang harus dipelajari sosiologi adalah fakta-fakta sosial, yaitu fakta-fakta yang berisikan cara bertindak, berfikir, dan merasakan yang mengendalikan individu tersebut. Di antara contoh-contoh yang dikemukan Durkheim mengenai fakta sosial adalah hukum, moral, kepercayaan, adat istiadat, tata cara berpakaian, dan kaidah ekonomi. Fakta- fakta sosial seperti inilah yang menurut Durkheim yang menjadi pokok perhatian sosiologi.
Kalau Comte membagi sosiologi menjadi statika sosial dan dinamika sosial, maka Durkheim memperkenalkan pembagian berdasarkan pokok bahasannya, yaitu sosiologi umum, sosiologi agama, sosiologi hukum, sosiologi kejahatan, sosiologi konflik, sosiologi ekonomi, morfologi, sosial, dan sejumlah pokok bahasan yang mencakup sosiologi estetika, teknologi, bahasa, dan perang.
Teori sosiologi mengkaji secara sistematik dan objektif tentang tingkah laku sosial, mengkaji dan menerangkan tindakan di kalangan manusia, dan tekanan interaksi di kalangan manusia dalam interaksi timbal balik. Teori sosiologi Makro (mengkaji hubungan di kalangan struktur dan institusi sosial).
Kaitan dengan sosiologi pendidikan….. Pokok bahasan utama dalam sosiologi pendidikan adalah institusi pendidikan formal, Institusi pendidikan formal terpenting dalam masyarakat adalah sekolah yang menawarkan pendidikan formal mulai jenjang prasekolah sampai dengan jenjang pendidikan tinggi, baik yang bersifat umum maupun khusus. Di samping pendidikan formal yang menjadi pokok bahasan utama sosiologi pendidikan, pendidikan non formal dan informal pun tidak luput dari perhatian para ahli sosiologi.
MAX WEBER STRATIFIKASI
Menurut ahli teori konflik, ahli fungsionalis sedang mendukung status quo dengan menguraikan masyarakat seolah-olah adalah dalam keadaan yang terbaik sama dengan yang diharapkan. Dalam arti perubahan tidaklah selalu berjalan secara normatif. Sebaliknya dalam setiap masyarakat apapun, konflik senantiasa ada dalam masyarakat, dan konflik merupakan bagian integral dalam dinamika kehidupan, serta tidak selalu negatif.
Sebagai implikasinya, mereka berasumsi bahwa kapan saja suatu keuntungan kelompok, suatu kelompok yang berbeda besar kemungkinan akan menguasai kelompok lain. Walaupun sebagian besar para ahli teori konflik mengakui betapa besar pengaruh Karl Marx dalam teori konflik tersebut, namun juga tidak sedikit peranan ahli teori konflik non-Marxis lainnya seperti Georg Simmel (teori superordinasi dan subordinasi, maupun konlik dengan out-group), Ralf Dahrendorf (teori otoritas dan konflik sosial, maupun teori kepentingan laten dan manifest), Lewis Coser (tentang fungsi-fungsi konflik dan macam konflik realistik dan non-realistik), maupun Randal Collins (teori konflik makro dan mikro).
Teori Konflik yang didalamnya tidak mengakui kesamaan dalam suatu masyarakat. Menurut Weber, stratifikasi merupakan kekuatan sosial yang berpengaruh besar. Seperti halnya dalam sekolah, pendidikan merupakan variabel kelas atau status. Pendidikan akan mengantar sesorang untuk mendapatkan status yang tinggi yang menuju kearah konsumeris yang membedakan dengan kaum buruh. Namun tekanan disini bukan pada pendidikannya melainkan pada unsur kehidupan yang memisahkan dengan golongan lain. Menurut Weber, dalam dunia kerja belum tentu mereka yang berpendidikan tinggi lebih trampil dengan mereka yang diberi latihan-latihan, namun pada kenyataanya mereka yang berpendidikan tinggi yang menduduki kelas penting. Jadi pendidikan seperti dikuasai oleh kaum elit, dan melanggengkan posisinya untuk mendapatkan status dan kekuasaannya.
GEORGE HERBERT MEAD (interaksionisme simbolik)
Istilah interaktionisme simbolis diciptakan oleh Herbert Blumer, figur yang terkemuka dalam mempromosikan modelnya sejak 1930-an (Spencer dan Inkeles, 1982: 16). Tokoh lainnya adalah George Herbert Mead, yang mengatakan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk berinteraksi dengan pihak- pihak lain, dengan perantaraan lambang-lambang tertentu yang dipunyai bersama. Dengan perantaraan lambang-lambang tersebut, maka manusia memberikan arti pada kegiatan-kegiatannya. Mereka dapat menafsirkan keadaan dan perilaku dengan mempergunakan lambang-lambang tersebut.
George Herbert Mead mengembangkan teori atau konsep yang dikenal sebagai Interaksionisme Simbolik. Berdasar dari beberapa konsep teori dari tokoh – tokoh yang mempengaruhinya beserta pengembangan dari konsep – konsep atau teori – teori tersebut, Mead mengemukakan bahwa dalam teori Interaksionisme Simbolik, ide dasarnya adalah sebuah symbol, karena symbol ini adalah suatu konsep mulia yang membedakan manusia dari binatang. Simbol ini muncul akibat dari kebutuhan setiap individu untuk berinteraksi dengan orang lain. Dan dalam proses berinteraksi tersebut pasti ada suatu tindakan atau perbuatan yang diawali dengan pemikiran.
Manusia juga membentuk perspektif-perspektif tertentu, melalui suatu proses sosial di mana mereka memberi rumusan hal-hal tertentu, bagi pihak-pihak lainnya. Selanjutnya mereka berperilaku menurut hal-hal yang diartikan secara sosial. Mead menyatakan bahwa lambang-lambang, terutama bahasa, tidak hanya merupakan sarana untuk mengadakan komunikasi antar pribadi, tetapi juga untuk komunikasi dengan dirinya sendiri khususnya untuk berpikir (1934: 136). Manusia mungkin saja berbicara dengan dirinya sendiri, dan menjawab pertanyaan-pertanyaannya sendiri. Dengan cara demikian seseorang dapat menyesuaikan perilakukna dengan pihak lain.
Interaksi simbolik dalam sosiologi pendidikan juga menunjang dan mewarnai aktifitas akademik riset kualitatif. Bagian penting dalam interaksi simbolik adalah konstruksi antara diri pribadi (self). Dalam membentuk atau mendefinisikan diri, orang berusaha melihat dirinya sebagaimana orang- orang lain melihat dirinya dengan menafsirkan gerak isyarat dan perbuatan yang ditunjukkan kepadanya dan dengan jalan menampatkan dirinya pada peranan orang lain.
Dalam tinjauannya di buku Mind, Self and Society, Mead berpendapat bahwa bukan pikiran yang pertama kali muncul, melainkan masyarakatlah yang terlebih dulu muncul dan baru diikuti pemikiran yang muncul pada dalam diri masyarakat tersebut. Dan analisa George Herbert Mead ini mencerminkan fakta bahwa masyarakat atau yang lebih umum disebut kehidupan social menempati prioritas dalam analisanya, dan Mead selalu memberi prioritas pada dunia social dalam memahami pengalaman social karena keseluruhan kehidupan social mendahului pikiran individu secara logis maupun temporer. Individu yang berpikir dan sadar diri tidak mungkin ada sebelum kelompok social. Kelompok social hadir lebih dulu dan dia mengarah pada perkembangan kondisi mental sadar – diri.
Dalam teorinya yang dinamakan Interaksionisme Simbolik ini, George Herbert Mead mengemukakan beberapa konsep yang mendasari teori yang ada, yaitu: Impuls Persepsi Manipulasi Konsumsi Gestur Simbol Mind Self
..SELF..(DIRI) Mead menganggap bahwa kemampuan untuk memberi jawaban pada diri sendiri layaknya memberi jawaban pada orang lain, merupakan situasi penting dalam perkembangan akal budi. Dan Mead juga berpendapat bahwa tubuh bukanlah diri, melainkan dia baru menjadi diri ketika pikiran telah berkembang. Dalam arti ini, Self bukan suatu obyek melainkan suatu proses sadar yang mempunyai kemampuan untuk berpikir,
Misalnya:.. -Mampu memberi jawaban kepada diri sendiri seperti orang lain yang juga memberi jawaban. Mampu memberi jawaban seperti aturan, norma atau hokum yang juga memberi jawaban padanya. Mampu untuk mengambil bagian dalam percakapan sendiri dengan orang lain. mampu menyadari apa yang sedang dikatakan dan kemampuan untuk menggunakan kesadaran untuk menentukan apa yang harus dilakukan pada fase berikutnya.
Bagi Mead, Self mengalami perkembangan melalui proses sosialisasi, Ada tiga fase dalam proses sosialisasi tersebut. Pertama adalah Play Stage atau tahap bermain. Dalam fase atau tahapan ini, seorang anak bermain atau memainkan peran orang – orang yang dianggap penting baginya.
Contohnya: ketika seorang anak laki – laki yang masih kecil suka akan bermain bola, maka dia meminta dibelikan atribut yang berhubungan dengan bola dan bermain dengan atribut tersebut serta berpura – pura menjadi pesepak bola idolanya.
Fase kedua dalam proses sosialisasi serta proses pembentukan konsep tentang diri adalah Game Stage atau tahap permainan, dimana dalam tahapan ini seorang anak mengambil peran orang lain dan terlibat dalam suatu organisasi yang lebih tinggi.
Contohnya: Anak kecil yang suka bola yang tadinya hanya berpura – pura mengambil peran orang lain, maka dalam tahapan ini anak itu sudah berperan seperti idolanya dalam sebuah team sepak bola anak, dia akan berusaha untuk mengorganisir teamnya dan bekerjasama dengan teamnya. Dengan fase ini, anak belajar sesuatu yang melibatkan orang banyak, dan sesuatu yang impersonal yaitu aturan – aturan dan norma – norma.
Sedang fase ketiga adalah generalized other, yaitu harapan-harapan, kebiasaan-kebiasaan, standar-standar umum dalam masyarakat. Dalam fase ini anak-anak mengarahkan tingkah lakunya berdasarkan standar-standar umum serta norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
CONTOHNYA… Anak tadi dalam fase ini telah mengambil secara penuh perannya dalam masyarakat. Dia menjadi pesepak bola handal dan dalam menjalankan perannya sudah punya pemikiran dan pertimbangan. Jadi, dalam fase terakhir ini, seorang anak menilai tindakannya berdasarkan norma yang berlaku dalam masyarakat.
THANK YOU