SOSIOLOGI PENDIDIKAN (SOS 223) Departemen Sosiologi – FISIP Universitas Airlangga
Definisi keadilan sosial secara umum: Wikipedia: suatu kondisi dalam masyarakat di mana para anggotanya mendapat perlakuan yang adil atau mendapatkan pembagian keuntungan dan kesempatan yang tidak memihak. David & Julia Jary (1991): Adalah bagian dari keadilan distributif, di mana hakekat dari keadilan sosial itu sendiri berkaitan dengan alokasi kebaikan atau manfaat yang dibutuhkan untuk kepentingan orang banyak. Courland C. Lee (2007): Terbukanya akses dan kesempatan yang sama disertai dengan jaminan untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan sosial, khususnya pada mereka yang telah dikesampingkan atau diabaikan secara sistematis, seperti karena perbedaan ras/etnisitas, jender, usia, kecatatan, pendidikan, orientasi seksual, status sosial- ekonomi, dll (kelompok nondominan atau minoritas).
Azas keadilan sosial: Bahwa semua orang memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama, sesuai dengan hak-hak azasi manusia, dan mendapatkan alokasi yang adil dari sumber-sumber daya yang tersedia di masyarakat. Teori keadilan: filsafat politik ((John Rawls): Rawls mengembangkan teori keadilan sosial berbasis filsafat politik. Adil atau tidak adil, tidak hanya merupakan domain hukum, tetapi meliputi berbagai hal seperti: institusi, sistem sosial, tindakan-tindakan, keputusan, penilaian, tuduhan atau sikap dan kecenderungan seseorang.
Konteks keadilan sosial: Subyeknya: ada pada struktur dasar masyarakat atau cara lembaga- lembaga sosial utama mendistribusikan hak dan kewajiban mendasar serta menentukan pembagian keuntungan dari kerja sama sosial. Mengatur pembagian beban dan nikmat dari suatu kerja sama sosial yang termanifestasi dalam lembaga yang disebut negara. Prinsip-prinsipnya: 1. Keadilan distributif: bahwa keadilan lebih didasarkan pada aspek-aspek kesamaan dan kesetaraan (equality) untuk mendapakatn kebutuhan –kebutuhan primer, pendapatan, kekayaan, hak-hak, kemerdekaan dan kesempatan. 1. Bahwa setiap warganegara harus memiliki hak yang sama, dan setiap pendasaran hukum yang berpihak pada etnis, agama, atau kelompok status tertentu berarti sudah menciptakan institusi sosial yang tidak adil.
2. Keadilan prosedural: tidak membiarkan pengorbanan yang dipaksakan pada sekelompok orang yang tidak beruntung dan diperberat oleh sebagian besar keuntungan yang dinikmati oleh sedikit orang. ketidasetaraan sosial-ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga dari keadaan tersebut keuntungan juga ditujukan bagi yang paling tidak beruntung. o menjadi dasar keberpihakan kepada yang miskin, terpinggirkan, korban yang kalah dalam persaingan atau secara struktural dalam posisi lemah (siapa korban dan dan siapa yang diuntungkan). o Merupakan hasil persetujuan melalui prosedur tertentu yang didasarkan atas peraturan-peraturan, hukum-hukum dan undang-undang dibutuhkan pelaksana yang mempunyai integrasi moral.
Keadilan sosial terbangun di dalam institusi sosial yang adil. Membangun institusi sosial yang adil diperlukan dialektika di antara pelaku (agen) dan struktur-struktur sosial. Artinya: Struktur-struktur itu hanya bisa diciptakan, dilanggengkan dan diubah oleh pelaku-pelaku (agen) sosialnya melalui prosedur yang memenuhi rasa keadilan; pelaku-pelaku sosialnya meskipun dapat dikatakan bebas, tetapi mereka tetap dikondisikan oleh struktur-struktur tersebut.
Perspektif untuk memahami keadilan sosial menggunakan interpretasi kesetaraan demokratis, bukan kesetaraan liberal. Kesetaran demokratis: prinsip perbedaan (entah karena ketimpangan ekonomi atau perbedaan lainnya) lebih ditolerir dibandingkan dengan kesetaraan liberal yang lebih menekankan pada prinsip-prinsip pasar bebas yang mementingkan efisiensi, di mana prinsip efisiensi itu sendiri tidak bisa dijadikan dasar dari prinsip keadilan sosial.
Prinsip keadilan sosial yang didasarkan atas kesetaraan demokratis: Harapan yang lebih tinggi dari orang-orang yang mempunyai situasi lebih baik adalah jika, dan hanya jika, mereka bekerja sebagai bagian dari skema yang memperbaiki harapan anggota-anggota masyarakat yang paling tidak beruntung. Tatanan atau struktur sosial bukan untuk mengukuhkan dan menjamin prospek yang lebih menarik dari orang-orang yang diuntungkan, tetapi juga menguntungkan juga bagi mereka yang kurang beruntung. Konsekuensinya, misalnya dalam relasi antara pengusaha dan buruh: Keuntungan besar yang didapat pengusaha, seharusnya mendorong pengusaha itu untuk melakukan hal-hal yang memunculkan prospek jangka panjang bagi keuntungan kaum buruh/klas pekerja perlu dilakukan inovasi, dll agar diperoleh hasil akhir yang menguntungkan serta tersebar ke seluruh sistem dan orang-orang yang kurang beruntung keuntungan yang besar tidak hanya untuk sipengusaha/pemillik modal.
Rawls menjelaskan ilustrasi sederhana tentang prinsip keadilan sosial dalam bidang pendidikan: Bahwa sumberdaya (modal) yang lebih banyak bisa diberikan kepada kaum lemah yang sedang menempuh pendidikan daripada kaum yang lebih pintar/beruntung, setidaknya pada umur-umur tertentu di tahun-tahun awal sekolah. Peran pendidikan yang lebih penting adalah memberi kemampuan pada seseorang untuk menikmati budaya masyarakatnya dan mendorong untuk ambil bagian dalam berbagai urusan (berpartisipasi) sehingga dengan cara ini memberikan rasa aman pada masing-masing individu.
Maurianne Adams dkk (1997): Keadilan sosial selalu melibatkan suatu visi/pandangan masyarakat di mana melalui pandangan itu sumberdaya yang ada dapat didistribusikan secara wajar/tidak berat sebelah semua masyarakat secara fisik dan psikologis merasa aman dan terjamin dengan tersedianya sumberdaya tersebut. Masyarakat yang berkeadilan sosial dicirikan dengan: anggota-anggotanya mampu mengembangkan kapasitas yang mereka miliki secara penuh, dan mampu berinteraksi secara demokratis dengan orang-orang lain kesetaraan partisipasi
Prinsip-prinsip menegakkan keadilan sosial: para anggota masyarakat harus memiliki kemampuan: 1. Berpartisipasi secara penuh dan setara di semua kelompok, di mana dengan partisipasi itu akan saling terbentuk kesadaran untuk memenuhi kebutuhan para anggotanya; 2. Mampu mengembangkan kapasitas yang dimilikinya secara penuh; 3. Berinteraksi secara demokratis antara satu dengan lainnya,serta memiliki pemahaman dan tanggung jawab sosial kepada orang lain atau masyarakat secara keseluruhan. 4. Menciptakan kehidupan sosial yang demokratis, partisipatoris, inklusif dan mampu bekerja sama menciptakan perubahan yang lebih adil.
Terdapat tiga dimensi keadilan sosial: Keadilan distributif; Keadilan budaya; Keadilan asosiasional. Keadilan distributif: sama seperti yang diungkapkan Rawls. Keadilan budaya dan keadilan asosiasional diturunkan dari pemikiran Fraser mengenai keadilan pengakuan (recognition) dan kesetaraan partisipasi (participatory parity).
Keadilan pengakuan: Keadaan di mana setiap orang membutuhkan pengakuan meskipun memiliki perbedaan posisi atau status sosial. Tujuan dari ditegakkannya keadilan pengakuan: masyarakat dapat menciptakan ‘dunia yang lebih ramah terhadap perbedaan’ (difference- friendly-culture/world). Jika salah satu dimensi itu tidak terpenuhi, maka keadilan sosial tidak akan terwujud.
Penjelasan lebih detail tentang keadilan pengakuan: Fraser mengaitkannya dengan konsep status sosial (social status) atau status budaya (cultural status) dipinjam dari pemikiran Max Weber. Yang butuh diakui sebagai individu penuh dalam berinteraksi sosial, bukan saja kelompok-kelompok yang memiliki identitas khusus (seperti kelompok homoseksual, lesbian, penyandang cacat, atau gender), tetapi beragam status sosial dan budaya lainnya yang ada di masyarakat. Tidak ada pengakuan bukan berarti hilangnya identitas kelompok tetapi merupakan diskriminasi sosial yang membuat orang tidak dapat berpartisipasi di dalam kehidupan sosial secara maksimal.
Diberinya pengakuan kepada semua kelompok masyarakat dapat diartikan sebagai suatu sikap untuk mengakui semua orang, lepas dari apapun kelompoknya, sebagai bagian dari keseluruhan masyarakat yang mampu berpartisipasi secara maksimal di dalam kehidupan sosialnya dalam perspektif Psikologi, disebut juga sebagai keadilan interaksional. Jika beberapa kelompok masyarakat mengalami diskriminasi dan subordinasi oleh kelompok lain (tidak diakui sepenuhnya dalam relasi sosial), sehingga mereka tidak dapat berpartisipasi secara maksimal di dalam kehidupan sosialnya keadaan ini disebut sebagai misrecognition (tidak diberinya pengakuan) dan subordinasi status (status subordination).
Oleh Fraser, Keadilan pengakuan disebut juga dengan keadilan budaya, yaitu: Tidak adanya dominasi budaya atau pengaruh dari pola-pola interpretasi dan komunikasi yang diasosiasikan dengan budaya lain yang bertentangan dengan budayanya. Tidak adanya sikap atau perilaku tidak mengakui (non- recognition) dianggap seolah-olah seseorang itu tidak ada; Tidak adanya sikap tidak hormat atau meremehkan dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip dasar dari dimensi keadilan pengakuan/kedilan budaya: harus didasarkan atas kesamaan atau kesetaraan partisipasi (participatory parity).
Agar kesamaan partisipasi dapat terwujud, maka diperlukan dua kondisi: Kondisi obyektif: Setiap distribusi kekayaan atau sumberdaya harus dijamin oleh negara agar setiap warganya dapat berpartisipasi secara merdeka dan memiliki ‘suara’ atau kesempatan untuk beropini. Kondisi intersubyektif: Ada pola-pola budaya yang terlembaga dan memiliki ungkapan penghormatan yang setara untuk semua warga yang berpartisipasi, serta menjamin kesempatan yang sama untuk mencapai penghargaan sosial (social esteem). Menolak adanya diskriminasi sistematik atas kualitas-kualitas budaya yang berkaitan dengan kelompok yang ada di masyarakat. Menolak diskriminasi status yang membuat seseorang tidak bisa ikut berpartisipasi langsung secara maksimal di dalam interaksi sosial (melalui stigma, menyingkirkan, atau tidak mengakui adanya keunikan yang justru menjadi ciri khas dan identitas di dalam kelompok tersebut).
Keadilan yang bertumpu pada kesetaraan partisipasi ini oleh Fraser diperluas sebagai keadilan asosiasional. Keadilan asosiasional: Sebagai ketiadaan pola-pola asosiasi (penyatuan) antarindividu atau antarkelompok yang dapat menghalangi orang-orang untuk berpartisipasi penuh dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kondisi tempat mereka tinggal atau berada. Artinya: 1. bersikap/bertindak adil: tidak perlu dibentuk atau diberlakukan pola-pola yang menyatukan kebutuhan atau kepentingan semua kelompok, karena masing-masing kelompok memiliki kebutuhan yang berbeda-beda, di mana kebutuhan mereka itu perlu juga disuarakan melalui pemberian ruang partisipasi bagi mereka. 2. Sesuatu yang dianggap ‘baik’ bukan berarti baik untuk semua kelompok masyarakat, atau berfungsi sama baiknya di semua sektor dalam kehidupan masyarakat, tetapi ‘baik’ bagi suatu kelompok adalah relatif sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya.
Agar keadilan distributif dan kultural dapat dicapai, maka kelompok-kelompok yang direndahkan perlu diberi ruang untuk berpartisipasi secara penuh dalam pengambilan keputusan mengenai bagaimana distribusi sumberdaya itu dapat menjangkau kepentingan mereka juga. Dalam prakteknya sulit untuk kelompok minoritas cenderung direndahkan/tidak dapat terlibat di dalam pengambilan keputusan, bahkan ketika kesempatan itu memang ada di depan mereka. Keadilan sosial, dengan demikian tidak lagi dipandang sebagai satu-satunya tanggung jawab pemerintah, tetapi seluruh komponen masyarakat bertanggung jawab atas kemajuan keadilan sosial karena keadilan sosial membutuhkan pengakuan atas identitas individu maupun kelompok.
Ketidakadilan sosial di dalam dunia pendidikan terkait dengan kebijakan dan model pendidikan eksklusif: 1. Kurikulum dan iklim/kultur akademik di sekolah cenderung lebih mudah diakses/dipahami oleh murid-murid dari kelompok masyarakat klas sosial dominan, dan menyingkirkan murid-murid dari kelompok masyarakat minoritas. 2. Kurikulum terlalu kaku (rigid) disertai dengan target-target pencapaian hasil belajar tertentu yang harus dicapai oleh murid-murid diukur melalui soal-soal ujian yang distandarkan. 3. Sikap guru cenderung diskriminatif, terkadang disertai dengan kekerasan terhadap murid. 4. Kurangnya dukungan dari orangtua murid karena peran mereka dibatasi oleh sekolah;
Problem dalam pendidikan eksklusif Sikap guru diskriminatif Metode belajar kaku Lingkungan belajar tidak adaptable Murid putus sekolah/ mengulang kelas; Dukungan guru dan sekolah rendah Tidak melibatkan orangtua Kurang sarana- prasarana pendidikan Guru-guru tidak mendapat pelatihan memadai
1. Availability: kewajiban pemerintah untuk menyediakan berbagai jenis dan jenjang sekolah bagi semua anak usia wajib belajar upaya mendistribusikan dan memfasilitasi hak masyarakat untuk mendapatkan pendidikan & membebaskan biaya pendidikan untuk semua anak usia wajib belajar. 2. Access: memberikan kesempatan kepada semua warga masyarakat untuk mengakses layanan pendidikan yang layak di SD layak dan gratis (tanpa pungutan biaya)
Acceptability: memberikan jaminan pendidikan yang berkualitas (minimal sesuai standar minimimal) yang memenuhi aspek: kesehatan & keamanan bagi anak didik; guru-guru profesional yang terus dibina oleh pemerintah Hak-hak azasi manusia Adaptability: kemampuan memberikan layanan pendidikan demi kepentingan terbaik bagi anak
Anak-anak berhak mendapatkan pendidikan yang berkeadilan sesuai dengan prinsip-prinsip: 1. Non diskriminatif: tidak mendiskriminasi/mengeksklusi anak (penyandang cacat, miskin, perempuan, jalanan/bekerja, pedesaan, terpencil, etnik/kelompok minoritas). 2. Memenuhi kepentingan terbaik bagi anak:program pendidikan ditujukan untuk memenuhi hak dan kebutuhan anak, disertai dengan fasilitas yang layak dan memadai. 3. Memenuhi hak untuk kelangsungan hidup & perkembangan anak: program pendidikan untuk membekali anak dengan keterampilan & kecakapan hidup; 4. Menghargai pendapat anak: anak harus didengar pendapatnya dan dihargai partisipasinya di dalam proses belajar.