PERSPEKTIF KRIMINOLOGI KRITIS Kuliah 10
Dikenal juga sebagai : kriminologi radikal, kriminologi marxis, interaksionisme simbolik, kriminologi baru (the new criminology)
Radical & Conflict Criminology Berbeda dengan Consensus Model dalam hal Arti kejahatan Patologisasi penjahat Berbeda dengan Interactionist Model dalam hal Kecenderungan menerima ‘status quo’ Penggunaan kekuatan guna mengontrol ‘status quo’
Asumsi dasar Apabila berbagai teori sebelumnya berangkat dari suatu kondisi tertata (order) atau kesepakatan tentang hal-hal tertentu (konsensus), pendekatan konflik melihat adanya pertentangan terkait kebutuhan dan nilai antar berbagai kelompok Kebutuhan dan nilai yang dianggap benar, baik dan berlaku (termasuk caranya) adalah milik kelompok yang “menang” dalam konflik tersebut.
Dengan kata lain, Tidak ada kebenaran yang hakiki. Juga tidak ada hukum maupun kebenaran hukum. Sekaligus, tidak ada orang jahat atau kejahatan yang permanen. Semuanya tergantung pada kepentingan kelompok yang berkuasa (menurut kebutuhan dan nilai-nilainya) Kekuasaan umumnya diasosiasikan dengan kekuasaan dan posisi politik, namun dapat pula secara ekonomi, sosial dll.
Labelling Lemert & Becker. Setiap masyarakat menciptakan penyimpangan sosial dan orang yang melakukannya, menerapkan aturan, memberi label bagi yang melanggar aturan serta mengharapkan ‘ketaatan’ dari pihak yang dilabel Tidak berlaku komprehensif. Hanya pada hal-hal yang disepakati secara meluas dan membawa akibat yang terlihat. Yang terpenting adalah cara bagaimana suatu perilaku yang dianggap jahat dan menyimpang ditindak dan dikendalikan
Marx, Engels & Bonger Menolak ide ‘social order’ karena konflik itu inheren dalam kapitalisme. Jika kapitalisme tidak ada lagi, konflik lenyap. Bagi Marx, kejahatan adalah suatu bentuk perlawanan yang belum sempurna terhadap sistem kapitalis. Bagi Bonger: determinisme ekonomis.
Conflict of Conduct Norms Thorsten Sellin Dalam masyarakat yang sehat, hukum dihargai oleh masyarakat yang melihat hukum sebagai benar. Jika itu tidak terjadi, konflik antar budaya terjadi dalam bentuk primary dan secondary. Primary conflict terjadi antara dua budaya. Secondary conflicts terjadi dalam satu budaya, yakni terhadap subculture-nya.
Culture Conflict Vold Melihat konflik antar berbagai kelompok kepentingan yang terdapat dalam budaya yang sama. Kejahatan tidak terlalu terkait dengan siapa yang benar atau salah, tetapi siapa yang akhirnya memenangkannya Terdapat sejumlah kejahatan yang dapat ‘dibenarkan’ guna mencapai kebaikan (baca: perubahan) tertentu
Dahrendorf dan Turk Ralph Dahrendorf: power is the crucial factor. Austrin T. Turk: power is based on social status. Menurut Dahrendorf, kekuasaan itu berjenjang dan tidak harus berupa kekuasaan material. Menurut Turk, konflik sosial itu baik. Masyarakat yang terlalu banyak konsensus tidak sehat.
Realitas Sosial Kejahatan Quinney : realitas kejahatan yang dikonstruksikan bagi kita cenderung kita terima sebagai seharusnya. Selanjutnya, kita memberikan ‘hak’ kepada pihak yang berkuasa untuk melakukan tindakan yang sebenarnya lebih mencerminkan kepentingannya. Realitas sosial kejahatan dalam masyarakat yang diorganisir secara politis pada dasarnya adalah tindakan politis juga 6 Proposisi dari realitas sosial kejahatan
Chambliss & Seidman Dalam masyarakat yang makin kompleks, terdapat kebutuhan yang membesar akan organisasi birokratik untuk menerapkan sanksi bagi pelanggar hukum. Birokrat itu memiliki kepentingan sendiri yang mungkin berbeda dengan pencipta hukum. Pandangan dari kelompok kepentingan dan kelompok penekan (baca: paling kaya dan berkuasa) yang paling banyak diakomodasikan, bukan kepentingan publik.