Membawa Orang Lapangan Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, sering kali saya bertemu dengan Bung Hatta dalam rangka tugas pekerjaan saya di Kementrian PPPK. Saya sering pula diajak beliau untuk melakukan perjalanan peninjauan ke daerah-daerah di Indonesia. Jika beliau membuat perjalanan peninjauan ke daerah tertentu, selalu beliau membawa suatu rombongan yang bukan hanya terdiri dari pejabat-pejabat. Biasanya atas dasar kedudukan mereka, para pejabat akan menambah semarak pemunculan beliau di muka rakyat, seperti lazimnya kita lihat jika seorang pembesar mengadakan tatap muka dengan rakyat. Tetapi Bung Hatta membawa orang-orang lapangan dalam rombongannya. Bahkan juga beberapa orang mahasiswa, biasanya dari Universitas Gajah Mada, diminta untuk ikut serta di dalam rombongan. Semua mengandung arti dan maksud bagi Bung Hatta. Pada tahun 1954, waktu Bung Hatta mengadakan perjalanan ke Sumatra Selatan dan Lampung, kemudian ke daerah Riau. Rombongan terdiri dari Saudara Ir. Gunung Iskandar, seorang senior dalam bidang pertanian, Saudara Sofyan yang mengenal baik tentang dunia perkoperasian, Saudara Pranyoto dari perikanan laut, dua orang mahasiswa dari Universitas Gajah Mada (seorang diantaranya adalah Saudara Supoyo), dan saya sendiri dari dunia pendidikan yang pada waktu itu menjabat sebagai inspektur jendral dan kepala Jawatan Pengajaran Kementrian PPPK, dan terakhir Saudara Soemarman, Sekretaris Jendral Kementrian Dalam Negeri dan bertanggung jawab atas kelancaran perjalanan peninjauan Bung Hatta. Di hadapan rakyat Lampung, sekonyong-konyong Bung Hatta minta Saudara Sofyan untuk memberikan keterangan tentang koperasi. Karena memang Saudara Sofyan itu adalah orang lapangan, maka ia sangat komunikatif dengan rakyat dan memuaskan. Pada waktu singgah di Bengkalis, rakyat ‘menagih’ pemenuhan UUD 1945 Bab XIII Pasal 31 ayat I yang berbunyi: Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran. Dan tanpa lebih dahulu ada pembicaraan, Bung Hatta melihat ke arah saya dan berkata, “Mas Gardo jawab.” Sebagai pelaksana program pendidikan dan pengajaran Republik Indonesia, memang saya siap menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang demikian itu. Dengan kehadiran Bung Hatta, Wakil Presiden Republik Indonesia, saya dengan mantap mengatakan: “Memang sesuai dengan Pasal 31 ayat I, tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran. Dan Pemerintah sungguh berhasrat memenuhinya sesuai dengan kemampuannya. Karena banyaknya permintaan yang harus dipenuhi, maka Pemerintah terpaksa membuat suatu urutan perioritas. Mana yang lebih mendesak, itulah yang didahulukan. Kita mempunyai guru dan persediaan alat-alat dan perlengkapan yang cukup, tetapi kita tidak mempunyai gedung sekolah dan untuk membangunnya diperlukan banyak waktu. Dan jika Saudara-saudara dapat menyediakan sebuah gedung sekolah atau tempat yang layak untuk dipergunakan sebagai gedung sekolah, maka besok pun sekolah dapat dibuka.” Ketegasan ini diterima dengan tepuk tangan yang riuh dan memang kemudian masyarakat bekerja keras untuk membangun sebuah gedung sekolah. Berita gembira ini segera tersebar di seluruh Indonesia dan di banyak tempat berkembang usaha untuk membangun secara bergotong-royong gedung-gedung sekolah. Tetapi sayang bahwa kemudian timbul suatu tanggapan dari Dewan Perwakilan Rakyat (yang pada waktu itu dikenal sebagai parlemen) yang tidak menguntungkan. Badan legislatif ini melihat dalam usaha ini suatu pemberian beban yang lebih berat kepada rakyat dan menuntut agar Pemerintah membayar kembali semua biaya yang telah dikeluarkan rakyat. Akhirnya Pemerintah menerima baik tuntutan ini dan pelaksanaannya diserahkan kepada Kementrian Pekerjaan Umum. Kementrian Pekerjaan Umum termasuk kementrian yang sangat ketat dalam melaksanakan peraturan-peraturannya. Dan karena menurut peraturan PU gedung- gedung yang didirikan oleh rakyat tidak memenuhi syarat, maka pembayaran kembali biaya yang dikeluarkan rakyat, tidak dapat dilakukan. Tetapi dengan campur tangan DPR ini, usaha pengembangan pendidikan dan pengajaran dengan partisipasi rakyat menjadi terhambat. Soegarda Poerbakawatja, Pribadi Manusia Hatta, Seri 8, Yayasan Hatta, Juli 2002