UKURAN KAPING SEKAWAN UKURAN KEEMPAT MANUSIA TANPA CIRI Ki Prasetyo Atmosutidjo Ir. MM. Sekolah kawruh Jiwa ki ageng suryomentaram ANGKATAN KE-2 FAKULTAS PSIKOLOGI UGM, 14-16 NOVEMBER 2014 KERJASAMA BAGIAN SOSIAL FAKUlTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS GAJAH MADA KOMUNITAS PELAJAR KAWRUH JIWA KI AGENG SURYOMENTARAM JOGJA
Ki ageng suryomentaram ( kas ) Ukuran Keempat adalah salah satu piranti dalam rasa seseorang yang dapat dipergunakan untuk memahami rasa orang lain. Seperti yang pernah diucapkannya bahwa Ukuran Keempat adalah: “Salah satunggaling pirantos wonten ing raosing tiyang ingkang kangge ngraosaken raosing sanes,” yang maksudnya kurang lebih adalah bahwa Ukuran Keempat merupakan salah satu piranti di dalam rasa seseorang yang gunanya untuk merasakan rasa orang lain. Adapun wujud keempat ukuran tersebut berada dalam rasa orang, tidak berada di luar rasa orang (Prawirawiwara, 1953).
Menurut KAS, dalam diri manusia ada perangkat-perangkat yang jika tidak mengalami gangguan serius, secara alamiah umumnya akan tumbuh dengan baik tanpa harus dikelola secara khusus. Perangkat tersebut misalnya adalah mata, tangan, kaki, telinga, dan sebagainya. Namun selain dari perangkat tersebut, dalam diri seseorang juga ada perangkat tertentu yang jika tidak dikelola atau tidak dilatih secara benar maka tidak dapat tumbuh secara baik. Perangkat tersebut adalah pikiran, perasaan, dan “Ukuran Keempat “. perlu dilatih kepekaannya ?
Tahapan ukuran menurut kas Hidup dalam Ukuran Pertama ibarat bayi yang baru lahir, sudah mampu merasakan apa-apa, namun tubuh dan anggota badannya belum dapat atau belum bersedia bereaksi menurut keinginan dan perasaannya. Jadi jika misalnya ada nyamuk yang menggigit, maka reaksinya hanya menangis, dan tidak menghalau nyamuk tersebut dengan tangan.
Hidup dalam Ukuran Kedua seperti kehidupan anak-anak yang tubuh dan anggota badannya telah mampu bereaksi menurut keinginan dan perasaannya, namun anak tersebut belum paham benar akan hukum-hukum alam, sehingga seringkali salah dalam melakukan tindakan. Misalnya saja ketika seorang anak tertarik melihat api yang menyala, karena belum memahami benar hukum-hukum alam, maka si anak ini kemudian memegang api tersebut dengan tangan telanjang, sehingga terlukalah tangannya.
Hidup dalam Ukuran Ketiga seperti kehidupan seseorang yang mulai beranjak dewasa, tubuh dan anggota badannya bersedia untuk melayani keinginan dan perasaannya, dan dirinya pun telah paham benar akan hukum-hukum alam. Misalnya ketika ada api menyala, begitu tertarik maka akan disentuhlah api tersebut dengan alat bantu sehingga tangannya tidak terbakar. Namun orang tersebut belum mampu memahami “rasa” dan keinginan orang lain,sehingga jika orang tersebut memegang pisau misalnya, orang tersebut tidak akan terluka oleh pisau tersebut karena memegangnya telah benar, tetapi orang tersebut belum memahami “rasa” dan keinginan orang lain, sehingga bisa terjadi pisau tersebut dipergunakan untuk melukai atau merugikan orang lain. Kramadangsa ? Si tukang mikir ? Mau enaknya sendiri ?
Hidup dalam Ukuran Keempat, Menurut KAS adalah hidup dalam pergaulan dengan benda-benda hidup yang memiliki perasaan, sehingga kita pun perlu memahami benar ilmu tentang ‘rasa’ atau perasaan agar dapat mengerti keinginan dan perasaan orang lain.
Bahagia bersama - zaman windu kencana Konsepsi tentang hidup bahagia menurut KAS adalah hidup bahagia bersama, yang diistilahkannya sebagai zaman Windu Kencana, suatu keadaan di mana orang berbahagia bersama (tiyang beja sesarengan). Lebih lanjut KAS mengatakan: “Beja sesarengan punika wohipun mangertos dhateng raos sami, inggih punika tiyang kathah sami kraos mangertos yen sedaya tiyang punika raosipun sami”, keadaan bahagia bersama terjadi sebagai akibat dari timbulnya pengertian bersama bahwa semua orang memiliki “rasa” yang sama, wujudnya berbeda-beda, ada yang kaya ada yang mikin, ada yang pintar ada yang kurang pintar, ada yang besar dan ada yang kecil, tapi semua manusia “rasa” nya sama, ingin hidup kepenak dan bahagia, oleh karena itu tidak semestinya dibeda-bedakan (Suryomentaram, 1989).
KJ sangat mementingkan pengertian hidup bahagia bersama KJ sangat mementingkan pengertian hidup bahagia bersama. Salah satu ungkapan yang sangat terkenal dalam komunitas pelajar KJ adalah: “Sapa wonge golek kepenak liyane ngepenake tanggane, iku padha karo gawe dhadhung sing kanggo njiret gulune dhewe,” barangsiapa yang mencari kenyamanan diri sendiri dan mengabaikan kenyamanan orang lain bagaikan menyiapkan tali untuk menjerat lehernya sendiri (Prawirawiwara, 1953). Jika Ukuran Keempat dapat muncul, maka akan lahir pergaulan yang sehat, yang berlandaskan pada kasih sayang dan sikap saling menghormati (love and mutual respect). Orang menjadi mudah memahami pihak lain, mudah ngraosaken raosing tiyang sanes (feel what others are feeling), dan mampu menganggap orang lain sebagai ‘dudu kowe’ (bukan kamu), yang berarti juga telah muncul pengertian akan ‘raos sami’ (rasa sama), yang berakibat pada tumbuhnya rasa damai. Keadaan tersebut pada akhirnya akan memudahkan seseorang memperoleh kebahagiaan (Bonneff, 1993).
Syarat dan hambatan tumbuhnya ukuran keempat Sarat megaring ukuran kaping sekawan punika boten sanes kajawi pangertos, yen sakecaning lelawanan kaliyan tiyang sanes punika namung sarana ngraosaken raosing tiyang sanes. Syarat berkembangnya ukuran keempat tidak lain hanya adanya pengertian bahwa enaknya berhubungan dengan orang lain adalah dengan cara merasakan/memahami rasa/perasaan orang lain. Salah satunggaling rintangan ingkang ngalang-alangi megaring ukuran kaping sekawan punika ‘raos tatu’. Lelampahan boten sakeca ingkang sampun kelampahan punika nabet wonten ing manah dados tatu. Yen lelawanan kaliyan tiyang sanes, tatu wau awujud ngingkit-ingkit (dendam ). Salah satu hambatan untuk lahirnya ukuran keempat adalah ‘raos tatu’ (rasa luka hati ). Jika berhubungan dengan orang lain maka rasa luka hati tersebut dapat muncul dalam bentuk dendam. kead tsb menghalangi kemampuan kita utk merasakan rasa orang lain ukuran keempat sulit bisa berkembang.
Kramadangsa dan ukuran keempat
Pamanggih leres – merasa benar Penghalang untuk sampai ke ukuran keempat Dalam gambar Kramadangsa ada “jalan simpang tiga”, margi pratigan, disitu ada penghalang yang menyebabkan kita tidak bisa sampai pada Ukuran Keempat, manungsa tanpa tenger, manusia tanpa ciri. Wonten aling-aling ingkang ngalang-alangi awakipun piyambak anjok dhateng “ukuran kaping sekawan”. Aling-aling punika mbela diri ingkang wujudipun “pamanggih” leres. Dados aling-aling ingkang ngalang-alangi awakipun piyambak dhateng ukuran kaping sekawan wujud “pamanggih leres”. Ada penghalang yg merintangi kita masuk ke ukuran keempat, penghalang tersebut adalah “merasa” diri kita benar. Pada jln simpang tiga jika kita merasa benar sendiri, maka kita tdk akan sampai ke ukuran keempat, dan kembali ke posisi ukuran ketiga/kramadangsa, krn kita tdk akan mampu memahami ‘rasa’ /perasaan orang lain.